kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Simalakama harga minyak


Senin, 30 April 2018 / 13:33 WIB
Simalakama harga minyak


| Editor: Tri Adi

Agaknya pemerintah seperti memakan buah simalakama dalam memilih solusi kenaikan harga minyak internasional menjelang pemilu dan Pilpres 2019.  Kalau pemerintah bertahan tidak mengiringinya dengan menaikkan harga minyak domestik, maka anggaran negara bakal tekor.

Sebaliknya, jika konsisten mengurangi subsidi, mengikuti kenaikan harga minyak internasional, dan tidak lagi membebani Pertamina dengan kewajiban menyediakan premium dengan harga murah, popularitas pemerintah bakal tekor menjelang pemilu dan pilpres 2019 nanti. Meski pun kebijakan tersebut merupakan kebijakan terbaik untuk menyelamatkan keuangan negara.

Simalakama kebijakan energi nasional ini bagai kutukan abadi bagi pemerintah di negeri ini. Semua presiden pasti mengalami hal yang sama. Dulu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) paling tidak bisa menaikkan harga BBM. Apalagi harus mengerek harga BBM sesuai dengan fluktuasi harga minyak dunia. Dengan harga minyak dunia yang saat itu mencapai US$ 110 per barel, harga BBM Indonesia menjadi salah satu termurah di dunia

Hasilnya, meskipun manis di lidah para pengendara kendaraan bermotor, terasa pahit bagi ketahanan anggaran negara. Setiap tahun anggaran defisit akibat menyubsidi para pengguna BBM. Bolak balik anggaran negara di rubah agar defisit tidak terus melebar, yang ujungnya bisa berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.

Kebijakan Presiden Jokowi yang melepaskan harga BBM sesuai dengan harga internasional sebenarnya kebijakan langka di tengah kebutuhan popularitas dan elektabilitas pemerintah di mata konstituen pemilu dan pilpres. Kebijakan tidak populis tersebut mendapat momen yang tepat di awal karena harga minyak internasional anjlok hingga mencapai US$ 40 per barel. Jadi, meskipun harga BBM dalam negeri tidak mendapat subsidi, masyarakat tetap bisa menjangkau.

Apalagi, alokasi dari subsidi BBM tersebut diarahkan pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, jembatan, bandara, bendungan, irigasi, dan lainnya, membuat kebijakan harga BBM  tidak membuat kecewa masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang masif mendapat respon positif, bahkan warga Papua bagai bermimpi medapatkan jalan mulus di tengah belantara hutan.

Namun, di tengah progres pembangunan tersebut, tiba-tiba harga minyak dunia melambung. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menjadi US$ 67,39 per barel pada Sabtu (21/4). Padahal, asumsi makro, harga minyak mentah hanya US$ 48 per barel. Jadi, ada lonjakan pagu harga hampir 50%. Inilah yang membuat pemerintah kembali limbung dengan kebijakan BBM

Perlu strategi energi

Dengan kondisi harga minyak dunia yang terus menerus mengalami kenaikan,  ditambah dengan depresiasi rupiah terhadap dollar AS belakangan ini, membuat  Pemerintah Jokowi kelabakan jika bertahan dengan kebijakan energinya. Bayangkan, jika harga BBM terus dinaikkan di pasar domestik, pasti menimbulkan gejolak di tengah rakyat.

Atas dasar itulah, kemudian Jokowi  kembali mewajibkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jawa, Madura, dan Bali untuk menjual premium. Padahal, sebelumnya, prioritas premium adalah untuk pasokan di luar Pulau Jawa. Pemerintah juga ingin intervensi dalam penetapan harga untuk kategori BBM non-subsidi. Padahal selama ini harga BBM non-subsidi ditetapkan operator berdasarkan harga minyak mentah dunia.

Agar kebijakan tersebut memiliki dasar hukum, presiden memerintahkan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar segera mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM. Hal tersebut hampir sama dengan kebijakan energi pemerintah yang lampau.

Bisa dibayangkan: permintaan presiden agar Pertamina kembali berjualan premium di Jawa, Madura, dan Bali pasti membuat badan usaha milik negara makin pailit. Sulit membayangkan Pertamina dapat berkembang dengan menanggung kerugian besar setiap tahun. Di sisi lain, mengembalikan subsidi premium ke APBN jelas bukan opsi yang masuk akal. Ruang fiskal di APBN kita tak cukup longgar untuk menyokong kebijakan itu tanpa membahayakan kondisi perekonomian secara umum.

Pemerintah bagai pucuk eru, tidak tetap pendirian, dan tak konsisten dengan kebijakan yang diambil. Politik subsidi kembali dihidupkan menjelang perhelatan politik nasional. Kenyataan tersebut sekaligus menandakan bahwa pemerintah tidak memiliki grand strategy mengeluarkan Indonesia dari krisis energi. Hanya ingin beda sesaat dengan kebijakan pemerintah lalu, tapi tak diiringi dengan strategi yang mampu melepaskan Indonesia dari ketergantungan BBM impor.

Fakta berbicara bahwa Indonesia sudah lama menjadi net importir minyak. Berbagai penyebab yang seharusnya bisa melepaskan bangsa ini ke luar dari krisis minyak tetap dibiarkan menjadi akar masalah.

Pertama, pemerintah masih membiarkan mobil pribadi mengonsumsi paling banyak BBM. Kenapa pemerintah tidak membatasi jumlah mobil yang berseliweran di jalan? Kemacetan telah menjadi  rutinitas kota, terutama di Jakarta. Toh, pemerintah tak pernah serius mengatasinya.

Kedua, proses diversifikasi minyak bumi menjadi bioenergi tak pernah tuntas. Berkali-kali pemerintah berwacana akan membangun kilang minyak non fosil, seperti menggunakan pohon jarak, jagung, dan lainnya, namun sampai sekarang hanya sebatas wacana.

Ketiga, pemerintah tak berkemauan mendesain ulang (redesign) sistem transportasi dengan secara khusus menempatkan kepentingan publik untuk mendapatkan pelayanan cepat, nyaman, dan aman.  Implikasi luas dari perubahan ini tentu menyangkut pada penyediaan infrastruktur perhubungan dan transportasi, industri otomotif dan sejenisnya yang mampu menunjang berbagai perubahan dalam moda transportasi tersebut. Pengurangan subsidi BBM harus dilakukan untuk menunjang strategi besar ini.

Inilah kesalahan fatal pemerintah Jokowi! Kebijakan beliau yang awalnya sudah bagus, namun tidak didukung kebijakan strategis melepaskan Indonesia dari ketergantungan BBM impor. Sehingga memakan buah simalakama: harga minyak naik bikin sengsara rakyat, tidak dinaikkan anggaran negara rakyat pun jeblok. Akhirnya pusing tujuh keliling, lalu bagaimana rakyat menggantungkan harapan kepada rejim yang linglung?                            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×