kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sumber baru pertumbuhan


Kamis, 16 November 2017 / 17:14 WIB
Sumber baru pertumbuhan


| Editor: Mesti Sinaga

Pada 20 Oktober 2017, tepat tiga tahun Joko Widodo–Jusuf Kalla menjalankan roda pemerintahan. Berbagai perbaikan dilakukan di berbagai lini dan sebagian mulai menampakkan hasil.

Satu penilaian yang cukup positif adalah sektor ekonomi Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah. Saat ini, ada 245 proyek milik strategis pemerintah senilai Rp 4.197 triliun yang telah atau akan dikerjakan hingga tahun 2019.

Mengingat besarnya investasi yang dibutuhkan untuk menghadirkan infrastruktur, maka terobosan fiskal ditempuh, yaitu melakukan reorientasi belanja APBN, dari yang tidak produktif, seperti subsidi energi menjadi belanja yang lebih produktif, seperti infrastruktur. 

Momentum dari rendahnya harga minyak dunia menjadi bleesing in disguise bagi pemerintah, sehingga pencabutan subsidi energi tak memicu inflasi yang berkepanjangan.

Itu sebabnya, dalam tiga tahun terakhir, alokasi belanja infrastruktur mengalami lompatan yang cukup signifikan. Pemerintah juga konsisten memperbesar kue ekonomi daerah melalui alokasi transfer daerah dan dana desa. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, alokasi dana desa naik signifikan.

Selain melalui jalur fiskal, terobosan lain juga dilakukan melalui kehadiran paket-paket ekonomi dan hukum. Sampai kini, 16 paket ekonomi telah dilahirkan. Hasilnya mulai terlihat, meski efektivitas dan implementasinya di lapangan masih butuh perbaikan dan penyesuaian, khususnya dalam masalah kepastian.

Kehadiran paket ini diharapkan akan merangsang masuknya aliran investasi. Bagaimana pun, investasi merupakan kunci dalam mendorong produktivitas, daya beli, dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Indonesia membutuhkan investasi yang besar dari luar sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Apalagi, dengan realitas rendahnya kapasitas tabungan domestik untuk membiayai investasi.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) memperlihatkan, dalam tiga tahun terakhir, nilai investasi langsung mengalami pertumbuhan yang positif, yaitu Rp 463 triliun (2014), Rp 545 triliun (2015), Rp 613 triliun (2016), dan Rp 336,7 triliun (per semester I). Artinya, Indonesia masih menjadi salah tujuan investasi.

Menarik dana global
Semua terobosan ekonomi yang dilakukan pemerintah juga mendapat apresiasi dari dunia internasional.

Pada Mei 2017, misalnya, lembaga pemeringkat International S&P Ratings mengganjar Indonesia dengan peringkat layak investasi. Peringkat ini bisa menjadi marketing tool untuk menarik dana global.

Momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik. Bagaimana pun, kompetisi untuk memperebutkan dana global cukup ketat. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi dunia yang masih rapuh dan mengandung ketidakpastian (IMF, Oktober 2017). Hanya negara yang bisa menyediakan kemudahan dan daya tarik akan disinggahi dana.

Selain itu, indeks daya saing Indonesia secara perlahan mengalami perbaikan. Berdasar laporan World Economic Forum (28/9/2017), Indeks daya saing Indonesia tahun 2017-2018 berada di posisi 36 atau naik 5 level dari tahun 2016.

Terobosan yang dilakukan pemerintah juga berimbas ke perbaikan indikator makroekonomi. Hal ini tecermin dari inflasi yang rendah dan stabil, nilai tukar rupiah yang menguat dan stabil dengan tingkat volatilitas yang terus turun, cadangan devisa yang meningkat, surplus neraca perdagangan yang makin membaik, defisit neraca pembayaran yang makin sehat, dan stabilitas sektor keuangan yang terjaga dengan baik.  

Terjaganya stabilitas makroekonomi ini juga jadi inspirasi bagi Bank Indonesia dalam melakukan penyesuaian kebijakan moneter guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Meski berbagai terobosan di sektor ekonomi telah dilakukan pemerintah dan mendapat apresiasi dari masyarakat dan dunia international, tetapi mandeknya pertumbuhan ekonomi dalam tiga tahun terakhir di level 5% menjadi hal yang banyak disorot dan dikeluhkan.  

Meski jadi yang tertinggi, khususnya di kelompok G-20, tetapi dengan pertumbuhan sebesar itu, belum cukup untuk menciptakan  lapangan kerja dalam jumlah besar.

Apalagi, di tengah kenyataan, makin redupnya peran sektor manufaktur dan pertanian yang notabene selama ini jadi penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Itulah sebabnya, jika pemerintah ‘gagal’ menggenjot pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, maka upaya untuk mereduksi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan

makin terjal. Momentum dari bonus demografi yang sedang terjadi saat ini bisa terlewat.

Disruption era
Pemerintah juga akan dituding gagal mensejahterakan rakyatnya. Dan, ini bisa jadi isu akan digoreng oleh lawan politik untuk menurunkan elektabilitas pemerintah. Apalagi, tahun politik makin mendekat.

Agar tidak dituding hanya berambisi memacu pembangunan infrastruktur dan melupakan ‘perut’ masyarakat, maka pemerintah harus bisa mempercepat perbaikan sektor-sektor yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, khususnya sektor manufaktur dan pertanian.

Bukan itu aja, diversifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru harus terus dimaksimalkan. Jika selama ini didominasi oleh sektor pertambangan dan energi  (tren sektor ini terus turun imbas dari anjloknya harga komoditas dan lesunya kinerja perdagangan global), maka secara perlahan harus mulai digeser ke sektor potensial yang memiliki prospek untuk tumbuh cepat, tapi alpa untuk digarap, seperti kelautan dan maritim, pariwisata dan agrowisata, industri kreatif, industri digital.

Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat mengalirkan investasi ke sektor-sektor potensial itu.

Bagaimanapun, lanskap ekonomi dunia akan terus bergeser. Saat ini, dunia memasuki revolusi industri keempat (disruption era) yang ditandai oleh masifnya pertumbuhan industri digital yang digerakkan oleh internet kecepatan tinggi dan perangkat gawai pintar. Pendidikan, penelitian, dan pelatihan menjadi syarat untuk dapat beradaptasi di era baru ini.  

Pemerintah harus dapat memanfaatkan peluang di era baru ini bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah, kecerdasan dan kejelian Presiden sangat dibutuhkan untuk meramu kebijakan yang tepat. Dan, sepertinya Presiden Joko Widodo dapat melakukannya. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×