| Editor: Tri Adi
Jika berjalan sesuai dengan rencana, bulan ini Badan Pusat Statistik (BPS) akan mulai merekam data e-commerce di Indonesia. Untuk tahap awal, perekaman data baru berlaku untuk anggota asosiasi Indonesia e-Commerce Association (IdEA) yang berjumlah 320 usaha. Adapun data yang direkam mencakup omzet, investasi asing dan lokal, transaksi, metode pembayaran, tenaga kerja, hingga teknologi.
Pemerintah kini memang serius mendata dan menata e-commerce. Maklum industri baru ini diyakini bakal menjadi mesin ekonomi baru di masa mendatang. Trennya sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Di 2011 nilai transaksi e-commerce di Indonesia baru US$ 1 miliar, di 2015 nilainya sudah menembus US$ 3,5 miliar. Dan di 2017 lalu, idEA memperkirakan nilainya sudah menembus US$ 7,28 miliar.
Ke depan, nilai transaksi online diperkirakan terus meroket. Berdasar kajian Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama konsultan independen, nilai transaksi e-commerce di Indonesia tahun 2020 akan menembus US$ 130 miliar atau sekitar Rp 1.755 triliun!
Dengan potensi perputaran uang sebesar itu, wajar saja jika pemerintah ingin mengatur e-commerce, di antaranya untuk melindungi konsumen dan tentu saja untuk pajak. Sementara para pebisnis, baik pemain lama maupun baru, berlomba-lomba mencuil kue paling banyak dari potensi pertumbuhan e-commerce itu.
Namun bukan berarti e-commerce tak punya hambatan. Memang, internet sudah merambah hingga ke pedesaan. Jaringannya pun semakin baik. Kepemilikan ponsel pintar dan akses internet pun terus tumbuh. Pada 2016, tercatat sekitar 132 orang Indonesia sudah mengakses internet. Semua ini bisa jadi 'bensin' pertumbuhan e-commerce yang kian mudah diakses via telepon seluler.
Namun, kendalanya ada pada proses pembayaran transaksi e-commerce yang umumnya membutuhkan rekening bank. Data terakhir Bank Dunia menunjukkan, pada tahun 2014 jumlah penduduk pemilik rekening di lembaga keuangan formal di Indonesia baru 90 juta atau 36% jumlah penduduk dewasa.
Ini tantangan bagi para pelaku usaha online. Selama ini, mereka menggandeng beberapa pihak non-bank seperti PT Pos dan toko-toko ritel untuk proses pembayaran transaksi e-commerce. Untuk bisa tumbuh lebih cepat lagi, industri ini butuh terobosan baru. Menarik menantikan, disrupsi macam apa lagi yang akan dihasilkan para milenial yang kini mendominasi e-commerce untuk memecahkan masalah ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News