kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tax morale dan kepatuhan pajak


Senin, 21 Mei 2018 / 14:30 WIB
Tax morale dan kepatuhan pajak


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.618 triliun. Sekitar 88% dari target tersebut dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Target tahun ini 24% lebih tinggi daripada realisasi yang dibukukan oleh DJP di tahun 2017. Dengan mengamati tingkat pertumbuhan penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir yang rata-rata di bawah 10%, peningkatan kepatuhan pajak yang tinggi sangat diperlukan untuk mencapai target itu.

Pertimbangan wajib pajak untuk patuh tidak hanya didasarkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor non-ekonomi (Torgler, 2007). Faktor ekonomi dapat berupa besarnya penghasilan, tarif pajak, sanksi, dan kemungkinan terdeteksinya suatu pelanggaran. Dalam hal ini, wajib pajak akan memperhitungkan untung dan rugi yang akan diperoleh dari sebuah pelanggaran.

Sementara faktor non-ekonomi merupakan faktor intrinsik berupa keinginan yang muncul dari dalam diri wajib pajak untuk patuh. Faktor intrinsik tersebut dikenal dengan istilah tax morale.

Pendekatan tax morale merupakan alternatif kebijakan di tengah keterbatasan pendekatan ekonomi. Otoritas perpajakan di banyak negara memiliki kemampuan terbatas untuk mengawasi wajib pajak. Hal ini ditandai dengan jumlah wajib pajak yang diperiksa (audit rate) yang rata-rata di bawah 1% dari total wajib pajak yang menyampaikan SPT (Alm dan Torgler, 2012). Untuk itu, kepatuhan pajak didorong tidak hanya sebagai akibat dari tindakan pengawasan, tetapi juga hasil dari internalisasi pajak sebagai norma sosial di masyarakat.

Dalam penerapannya, tax morale dipengaruhi tiga faktor utama. Masing-masing adalah aturan moral, sistem pajak yang adil, dan hubungan wajib pajak dengan pemerintah (Torgler, 2007).

Pertama, aturan moral. Tax morale akan semakin baik pada kondisi di mana masyarakat merasa sangat bersalah apabila tidak membayar pajak. Hal ini antara lain disebabkan oleh kesadaran bahwa ketidakpatuhan pajak akan menyebabkan masalah dalam penyediaan kebutuhan publik. Di samping itu, perasaan malu (shame) apabila ketidakpatuhan tersebut terdeteksi oleh otoritas perpajakan juga menjadi alasan wajib pajak untuk patuh.

Menurut Pope dan McKerchar (2011), faktor ini memiliki keterkaitan dengan ketaatan beragama. Adapun kaitannya dengan tax morale, semakin seseorang taat beragama maka akan semakin baik tax morale-nya. Dalam hal ini, ketaatan membayar pajak sebagai suatu bentuk peraturan merupakan salah satu wujud ketaatan beragama.

Selain itu membayar pajak sebagai wujud tanggung jawab sosial mempunyai kesamaan dengan salah satu tujuan membayar zakat atau sumbangan wajib keagamaan lainnya sebagai wujud tanggung jawab sosial umat beragama.

Kedua, sistem pajak yang adil. Faktor ini dipengaruhi oleh besarnya beban pajak dan manfaat yang dirasakan. Dari sisi beban pajak, aturan pajak seharusnya menghasilkan beban pajak yang proporsional dengan kemampuan ekonomi wajib pajak. Sementara itu, dari sisi manfaat, perlu adanya keseimbangan antara pajak yang dibayarkan dan manfaat yang dirasakan (Cowell, 1992). Manfaat itu dapat berupa ketersediaan fasilitas umum, infrastruktur, layanan kesehatan dan pendidikan.

Ketiga, hubungan dengan pemerintah. Hal ini terkait dengan kepuasan terhadap pemerintah yang antara lain dipengaruhi oleh perlakuan timbal balik (reciprocity) dan sistem demokrasi.

Dalam hal reciprocity, pemerintah harus memunculkan trust bahwa uang pajak dimanfaatkan dengan tepat sasaran dan terjaga akuntabilitasnya. Sementara itu, terkait dengan sistem demokrasi, tax morale akan lebih tinggi pada negara yang masyarakatnya dapat berpartisipasi langsung dalam memilih pemimpinnya.

Untuk menjadikan pajak sebagai aturan moral, perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran pajak. Salah satu caranya adalah membuat keterkaitan antara uang pajak dengan pemanfaatannya (OECD, 2013). Informasi ini perlu disebar di tiap tempat pelayanan publik.

Dengan pendekatan ini, membayar pajak tidak hanya dirasakan sebagai tanggung jawab pribadi. Tetapi juga tanggung jawab sosial sebagai warga negara.

Komitmen pemerintah

Dalam kaitannya dengan tax morale, membayar pajak bukan hal yang bertentangan dengan ketaatan beragama. Untuk itu, nilai-nilai taat peraturan, termasuk kewajiban membayar pajak, perlu diinternalisasi dalam pendidikan agama. Upaya ini diharapkan bisa membuat masyarakat sadar sejak usia dini bahwa membayar pajak merupakan salah satu wujud ketaatan beragama.

Di samping itu, otoritas perpajakan dapat memberikan label "wajib pajak patuh" yang dapat dilihat publik bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria itu. Hal ini dimaksudkan untuk memunculkan kebanggaan bagi wajib pajak patuh dan beban psikologis bagi wajib pajak yang tidak patuh, terutama risiko sosial apabila terdeteksi melakukan pelanggaran.

Aspek keadilan dari sisi beban pajak perlu menjadi perhatian mengingat schedular system yang dianut pada sistem pajak penghasilan di Indonesia. Berdasarkan sistem tersebut, jenis penghasilan tertentu dikenakan pajak dengan cara yang berbeda.

Sistem tersebut terlihat pada rezim Pajak Penghasilan (PPh) Final yang berlaku saat ini di Indonesia, yang pengenaan pajaknya berbeda dengan aturan pajak penghasilan yang bersifat umum. Hal ini memungkinkan adanya perbedaan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak dengan jumlah penghasilan sama tetapi jenis penghasilannya berbeda.

Terakhir, pentingnya peran pemerintah juga menjadi salah satu alasan membayar pajak. Untuk itu, pemerintah harus terus berkomitmen menyediakan fasilitas umum yang memadai, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, serta menciptakan pemerintahan bebas korupsi.

Sebagai negara yang menganut sistem pemilihan langsung, peranan wajib pajak sangat penting dalam menentukan pemimpin yang mampu menggunakan uang pajak dengan tepat dan akuntabel.

Calon pemimpin pun seharusnya memiliki program yang jelas terkait pajak dan pemanfaatannya. Dalam hal ini, kepatuhan pajak bukan hanya menjadi tanggung jawab otoritas perpajakan, tetapi seluruh instansi pemerintahan.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan dari aspek moral dapat dijadikan alternatif meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan pendekatan ini, membayar pajak bukan hanya untuk memenuhi kewajiban pribadi, tetapi sebagai perwujudan rasa memiliki negara.

Pada tahap ini, pajak menjadi norma sosial yang terinternalisasi dalam masyarakat. Semoga dengan semakin baiknya sistem perpajakan dan penyelenggaraan pemerintahan, semakin tinggi pula tax morale di setiap wajib pajak negeri ini.


Asrul Hidayat
Pemerhati Kebijakan Perpajakan & Alumnus Master of International Tax University of Melbourne

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×