kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tenaga kerja asing, kenapa harus bising


Jumat, 11 Mei 2018 / 15:39 WIB
Tenaga kerja asing, kenapa harus bising


| Editor: Tri Adi

Peringatan Hari Buruh tahun ini agaknya tidak semonoton tahun sebelumnya yang berkutat mengenai upah minimum pekerja. Tahun ini, isu tenaga kerja asing menjadi salah satu poin yang dikeluhkan para pekerja. Pasalnya, Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres 20/2018) dituduh mempermudah penggunaan tenaga kerja asing oleh pemberi kerja di dalam negeri. Apakah pemerintah salah?

Perlu untuk dilihat dalam konsiderans Perpres 20/2018, urgensi dari lahirnya aturan mengenai penggunaan tenaga kerja asing ini sejalan dengan semangat pembangunan investasi yang sedang digalakkan Presiden Joko Widodo. Hampir mustahil kegiatan investasi yang melibatkan modal asing tidak berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing, Keterlibatan tenaga kerja asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah suatu keniscayaan.

Maka, dengan adanya Perpres 20/2018 ini sesungguhnya pemerintah tengah membangun sebuah ekuilibrium baru antara kemudahan investasi yang sedang digalakkan pemerintah dengan persoalan teknis di lapangan. Persoalan alih teknologi, biaya, dan kepastian bahwa proyek yang sedang dikerjakan di Indonesia berjalan sesuai dengan jadwal merupakan akibat tidak langsung dari pengaturan penggunaan tenaga kerja asing yang baik. Oleh karena itu, tidak sepatutnya pemerintah dipersalahkan karena memikirkan gambar besar dari pembangunan ekonomi Indonesia.

Polemik penggunaan tenaga kerja asing dihubungkan dengan masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia sebenarnya adalah simplifikasi persoalan. Padahal, faktor tingginya pengangguran di Indonesia tidak sekedar ditentukan oleh adanya kehadiran tenaga kerja asing yang meramaikan pasar tenaga kerja di Indonesia. Namun memang, yang paling mudah dalam suatu permasalahan adalah menyalahkan orang lain, dan dalam hal ini tenaga kerja asing adalah korban dari kesesatan berpikir yang dibalut dengan dalih nasionalisme.

Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), dalam lima tahun terakhir, sekalipun fluktuatif, namun tren pengangguran di Indonesia menurun. Pada Agustus 2014, jumlah pengangguran terbuka yang dicatat BPS sebanyak 7,224 juta jiwa, sementara di Agustus 2017, pengangguran terbuka turun jadi 7 juta.

Sementara dari data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan bagi pekerja asing semakin meningkat setiap tahunnya, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Pada 2015, ada 111.536 izin, tahun 2016 sebanyak 118.088, dan tahun lalu sebanyak 126.006 izin.

Maka, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang berbanding terbalik dengan penggunaan tenaga kerja asing menunjukkan bahwa asumsi tingginya tingkat pengangguran disebabkan oleh banyaknya tenaga kerja asing di Indonesia adalah tidak tepat. Oleh karena itu, sudah saatnya mengakhiri polemik penggunaan tenaga kerja asing dan berfokus pada meningkatkan kapasitas.

Jika kapasitas tenaga kerja Indonesia tidak kalah, maka tentunya hal ini lebih menguntungkan secara ekonomi bagi pemberi kerja untuk mempekerjakan tenaga kerja lokal daripada memboyong tenaga kerja asing untuk aktivitas usaha di Indonesia. Maka, tingginya tingkat pengangguran itu bukanlah kesalahan siapa-siapa, selain kegagalan kita untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing. Kehadiran tenaga kerja asing, justru akan menjadi booster baik terhadap pembangunan profesionalitas, kapabilitas, maupun etos kerja pekerja lokal.

Revolusi mental

Buya HAMKA, dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, pernah berujar bahwa Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan. Maka, cinta kita pada negara ini, janganlah membawa keputusasaan atau mengasihani diri dalam persoalan tenaga kerja asing ini. Justru harus menimbulkan semangat berjuang agar kualitas tenaga kerja kita tidak kalah dengan asing. Itulah cinta tanah air dan nasionalisme yang sebenarnya.

Maka, Perpres 20/2018 seharusnya membawa implikasi bagi pembenahan mind-set kita dalam memandang permasalahan tenaga kerja. Oleh karena itu, inisiatif pemerintah dengan membuat terobosan melalui regulasi itu seharusnya dilihat secara positif. Bahkan, semangat itu seharusnya juga menjalar dan menular ke regulasi lainnya serta pada pemerintah daerah yang adalah ujung tombak pembangunan. Kita seharusnya menjalankan negara dengan semangat egaliter dan bukan chauvinistik.

Polemik tenaga kerja asing ini menunjukkan bahwa semangat nasionalisme yang terbangun selama ini adalah semangat nasionalisme sempit. Kita lupa bahwa apa yang kita pakai untuk mengukur orang lain, cepat atau lambat, akan dipakai untuk mengukur diri kita sendiri. Dalam hal ini, bagaimana kita memperlakukan warga negara asing yang mencari penghidupan di Indonesia akan digunakan untuk mengukur warga negara Indonesia yang juga mencari penghidupan di luar negeri.

Indonesia, seharusnya dimaknai sebagai rumah bagi semua kaum dan bahasa, dimana menjadi Indonesia bukan lagi dimaknai hanya sebatas lahir dan tinggal di Indonesia tetapi memiliki semangat Pancasila di dalam dirinya. Jika pendekatan ini yang digunakan, kita tidak akan lagi terancam dan mudah ditakut-takuti dengan hadirnya tenaga kerja asing. Selama tenaga kerja itu dapat digunakan untuk membangun Indonesia, asing maupun lokal seharusnya tidak dipertentangkan.

Kini persoalannya tinggal apakah para stakeholder tenaga kerja di Indonesia mampu untuk menyikapi gebrakan yang dimiliki oleh pemerintah ini. Sudah bukan saatnya berprestasi dengan cara menjegal jalan orang lain, ataupun keberpihakan negara diukur dari banyaknya aturan-aturan yang mempersulit hidup. Tidak ada yang perlu dibanggakan dari aturan yang mempersulit hidup orang, baik itu bagi warga negara asing bahkan lokal.

Sejarah menunjukkan, negara yang kerap menutup diri dan anti dengan interaksi global akan tertinggal dari pembangunan. Dan tidak pantas bagi bangsa ini untuk mengulangi kesalahan yang dilakukan bangsa di lain tempat dan abad, sepanjang sejarah. Seharusnyalah kita semakin fokus berkarya dan mengakhiri kebisingan soal tenaga kerja asing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×