kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terlena indeks daya saing


Jumat, 06 Oktober 2017 / 15:42 WIB
Terlena indeks daya saing


| Editor: Tri Adi

World Economic Forum (WEF) telah merilis hasil indeks daya saing (The Global Competitiveness Index) 2017-2018. Indonesia berhasil naik lima peringkat dari urutan 41 menjadi 36 dari keseluruhan 138 negara. Hasil ini membuat pemerintah mengklaim sebagai buah kerja keras selama ini.

WEF mencatat naiknya peringkat Indonesia tidak lepas dari semakin besarnya ukuran pasar dan faktor makroekonomi yang kuat. Selain itu Indonesia juga mencatatkan kenaikan aspek inovasi dan kecanggihan bisnis.

Apakah betul hasil tersebut murni kerja pemerintah atau memang sudah seharusnya didapat Indonesia. Untuk itu, perlu kita bedah dari ukuran pasar.  

Adalah Adam Smith (1776) yang mengenalkan ukuran pasar sebagai aspek daya saing yang menyebut spesialisasi bisa membuat ukuran pasar jadi efisien. Artinya, ukuran pasar yang besar akan menguntungkan dari segi skala ekonomi produksi barang dan jasa. Dari sisi pemerintah, barang publik akan semakin murah karena semakin banyak wajib pajak yang dapat membiayainya.

Dari sisi perusahaan, ukuran pasar bisa membuat output produksi jadi lebih banyak yang bisa menekan faktor biaya. Ukuran pasar juga bisa membuat eksternalitas positif dalam akumulasi modal manusia (Jones, 1999).

Tidak perlu jumawa

Dari segi ukuran pasar, Indonesia menempati peringkat 9 dunia, tidak berbeda dengan tahun lalu. Adapun ukuran pasar yang menjadi pilar ke 10 dari 12 pilar pembentuk indeks daya saing terdiri dari indeks ukuran pasar domestik, indeks ukuran pasar luar (foreign market size index), PDB dan rasio ekspor terhadap PDB.

Namun kenyataannya, Indonesia hanya unggul dalam aspek indeks ukuran pasar domestik dan PDB. Aspek indeks ukuran pasar domestik merupakan penjumlahan dari PDB dan nilai impor dikurangi ekspor. Aspek ini justru meningkat dan sebaliknya, indeks ukuran pasar luar yang menggambarkan nilai ekspor barang dan jasa dan nilai rasio ekspor terhadap PDB semakin turun.

Hal tersebut menggambarkan bahwa sebetulnya keunggulan pilar ukuran pasar disumbang jumlah penduduk dan semakin pesatnya pertumbuhan porsi kelas menengah dan konsumen kaya yang semakin rajin mengonsumsi produk impor. Sangat jelas, bahwa kita, memang lebih kompetitif dalam mengonsumsi barang dan jasa impor. Namun tentu hal ini bukanlah sesuatu yang baik dan patut dibanggakan.

Faktor makroekonomi yang dipandang baik didasari pada aspek semakin meningkatnya rating kredit yang pada tahun ini telah dikeluarkan oleh beberapa lembaga pemeringkat kredit dunia. Inflasi yang juga relatif stabil juga berperan meningkatkan porsi nilai faktor makroekonomi Indonesia lebih baik daripada negara Asia Timur dan Pasifik. Aspek lain yang tidak kalah penting seperti anggaran pemerintah terhadap PDB yang minus dan utang pemerintah justru semakin meningkat menggambarkan bahwa Indonesia tidak cukup unggul dalam konteks ini.

Mungkin dua pilar seperti kecanggihan bisnis dan inovasi yang mulai merangkak naik perlu diapresiasi. Berbagai start up yang dikenal dan mendapatkan pendanaan besar menjadi salah satu indikator. Namun pilar lain yang berhubungan seperti pilar kesiapan teknologi masih menjadi pekerjaan rumah. Pilar ini lah yang menjadi syarat inklusivitas teknologi mampu terwujud.

Dari segi metodologi, pengambilan sampel negara untuk mewakili dunia menurun dari tahun lalu yaitu dari 140 negara menjadi 138 negara sehingga memberikan peluang bagi negara lain untuk naik peringkat.

Peringkat beberapa negara Asia mengalami kenaikan akibat kondisi global yang membaik dan beberapa negara maju masih stagnan dan cenderung turun peringkat menjadi modal Indonesia untuk bangkit.

Jangan salah, kita masih di bawah negara Asia seperti Thailand dan Malaysia yang sama-sama naik dua peringkat. Dua negara tersebut merajai seluruh pilar indeks daya saing. Tidak hanya merajai Asia Timur dan Pasifik, Malaysia bahkan unggul dalam pengendalian inflasi, kekuatan proteksi investor dan produktivitas tenaga kerja.

Indonesia sepantasnya tidak perlu jemawa atas prestasi yang tidak signifikan ini. Apalagi menjadi terlena dan melupakan aspek lain yang perlu ditingkatkan bersama. Kita patut melihat ke atas karena negara tetangga ternyata sudah lebih kompetitif dan berlari lebih cepat meninggalkan kita.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×