kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terlindungi


Selasa, 08 Mei 2018 / 13:18 WIB
Terlindungi


| Editor: Tri Adi

Sebagai pemakai uang elektronik, minimal untuk transaksi di pintu tol, gardu parkir, atau membayar tiket commuter line dan Trans Jakarta, Anda pasti tahu bahwa Bank Indonesia merevisi aturan tentang hal ini.

Nah, aturan itu memuat 15 pokok kebijakan tentang prinsip penyelenggaraan uang elektronik. Tujuannya agar tidak menimbulkan risiko sistemik bagi dunia keuangan di Indonesia. Makanya, yang diatur oleh Bank Indonesia adalah hal-hal terkait dengan jalur instrumen pembayaran (secara luas atau di dalam skala penerbit uang elektronik sendiri), lantas ada ketentuan modal yang harus disetor, komposisi saham penerbit, peningkatan limit uang elektronik, dan sebagainya.

Soal modal, misalnya, penerbit uang elektronik non bank harus menyiapkan minimum modal disetor Rp 3 miliar saat pengajuan izin. Atau 70% floating fund (dana mengendap yang belum digunakan oleh konsumen) yang harus ditempatkan di SBN atau disimpan di rekening Bank Indonesia. Ini agar duit masyarakat tidak hilang, seandainya perusahaan penerbit uang elektronik ternyata bangkrut. Batas nilai uang elektronik yang tidak diregistrasi dinaikkan jadi Rp 2 juta dari Rp 1 juta sebelumnya.

Sebagai media pembayaran yang relatif baru dikenal, uang elektronik memang langsung naik daun. Tengok saja, sampai April 2017 lalu, menurut catatan Bank Indonesia, tercatat 57,7 juta uang elektronik yang beredar di Indonesia. Nah, hingga Maret 2018, jumlahnya mencapai 109,7 juta, mengalami kenaikan 90%. Sampai sekarang ada 27 perusahaan penerbit uang elektronik dan 20 perusahaan sedang menanti izin.

Pamor uang elektronik mengalami kenaikan signifikan setelah pengguna jalan tol wajib menggunakannya sebagai alat pembayaran. Hanya saja, sampai kini konsumen uang elektronik belum mendapatkan perlindungan secara maksimal. Bank sentral mengeluarkan aturan baru sebatas untuk pihak penerbit, walau buntutnya memang untuk melindungi konsumen.

Tapi, dengan kondisi sebagian besar kartu tidak terdaftar, bagaimana jika konsumen kehilangan kartu bersaldo miliknya? Bukankah dengan begitu ia kehilangan uangnya? Seyogyanya Pemerintah segera cari cara melindungi nasabah ini.

Selain itu, fasilitas dan sosialisasi top up di lapangan juga kurang, sehingga masyarakat pilih beli kartu baru, ketimbang sulit menambah saldo. Kita jadi ingat churn rate yang dulu marak di industri telko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×