Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Tri Adi
Pemerintah berencana menambah subsidi, terutama untuk bahan bakar jenis solar. Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya menjadi sentimen negatif di pasar. Pasalnya, pasar juga memahami alasan di balik kenaikan subsidi itu.
Alasan pemerintah menaikkan subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat. Justru dengan subsidi tidak dinaikkan, efek domino akan muncul. Jika tidak ada kenaikan subsidi, bukan hanya soal daya beli, harga barang akan tinggi karena harga minyak meningkat.
Akibatnya, inflasi naik dan bisa dorong suku bunga acuan. Ini justru akan menghambat ekspansi perusahaan sehingga pertumbuhan ekonomi melambat.
Memang, subsidi kontradiktif dengan alasan di balik kenaikan rating Indonesia oleh sejumlah lembaga pemeringkat beberapa waktu lalu. Tapi, lembaga pemeringkat juga tidak akan gegabah langsung menurunkan rating karena memiliki pandangan yang hampir sama dengan pasar. Mereka masih menunggu efek kenaikan subsidi itu yang seharusnya akan positif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Efek kenaikan subsidi akan terasa tiga bulan hingga enam bulan ke depan. Apalagi, tidak lama lagi memasuki momentum lebaran. Daya beli akan tinggi.
Lagipula kenaikan subsidi juga tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, kebijakan ini hadir di tengah meningkatnya pemasukan negara dari sektor migas yang dipicu kenaikan harga minyak.
Jika pemerintah berani subsidi, berarti ada surplus. Jadi, ada semacam keuntungan dari surplus itu yang dialokasikan untuk subsidi, sehingga kenaikan subsidi tak membebani APBN. Pemerintah juga pasti memiliki basis perhitungan sendiri supaya kenaikan subsidi tak bebani APBN.
Namun, level harga minyak US$ 80 per barel sudah menjadi lampu kuning. Artinya, subsidi harus mulai dikurangi jika sudah menyentuh level ini. Subsidi harus dikurangi jika ingin pendanaan proyek infrastruktur tidak terganggu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
