kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Uang dan politik


Jumat, 10 Agustus 2018 / 09:16 WIB
Uang dan politik


Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Tri Adi

Di usianya yang mencapai 74 tahun, Indonesia akan kembali memilih presiden dan wakilnya di tahun 2019. Pemilihan di tahun mendatang merupakan pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat di negeri ini.

Jika membandingkan berapa kali negara ini menggelar pemilihan pemimpinnya secara langsung dengan usianya, banyak pakar politik di luar negeri menyebut kita sebagai bangsa yang masih belajar demokrasi.

Kesimpulan itu pun menjadi permakluman saat ada hiruk pikuk yang muncul menjelang, atau di saat, hajatan demokrasi terbesar negeri ini berlangsung. Tema yang kerap mengundang kontroversi adalah keterlibatan uang.

Keributan semacam itu terdengar saat penentuan calon kepala daerah tahun ini. Dan, hiruk pikuk bernada sama lagi-lagi terdengar menjelang penentuan pasangan yang akan turun ke gelanggang pemilihan presiden tahun depan.

Bak jalan cerita sinetron kejar tayang yang itu-itu saja, demikian juga berita tentang adanya uang di panggung politik. Biasanya, sinyalemen tentang keterlibatan uang dalam proses penentuan kandidat diungkap oleh orang, atau kubu dari kandidat, yang tidak jadi. Sinyalemen itu lantas dikonter oleh mereka atau kubu yang dituduh. Begitu ajang pemilihan berlalu, usai juga isyu tentang money politic.

Di masa kini, memang rakyat tak tinggal diam jika mendengar tentang sinyalemen itu. Namun umpan balik dari pihak di negeri ini, yang dalam mazhab demokrasi merupakan pemegang kekuasaan tertinggi itu, sebatas menggelar debat kusir. Media sosial, sejenis Twitter dan Facebook, menjadi sarana yang populer bagi rakyat untuk bersuara.

Namun apa rakyat di negeri ini harus puas dengan sekadar bersuara di media sosial? Karena jika demikian, berarti kita tidak pernah naik kelas dalam berdemokrasi.

Jika kita ingin menjadi bangsa yang lebih cerdas dalam berdemokrasi, isyu atau sinyalemen itu seharusnya berujung ke perbaikan mekanisme dalam pemilihan eksekutif atau legislatif di negeri ini. Memang, tindak lanjut semacam ini baru bisa kita ambil jika kita sepakat bahwa proses demokrasi memang tak mungkin terlaksana tanpa biaya.

Namun jika calon eksekutif atau legislatif tak diikat oleh aturan penerimaan dan penggunaan dana yang ketat, ajang demokrasi memang sangat rawan diselewengkan. Dan, misi utama demokrasi yaitu memungkinkan rakyat untuk berkuasa, melalui wakil yang dipilihnya, jelas tidak akan terpenuhi.•

Thomas Hadiwinata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×