kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UX Versus Customer Value


Selasa, 20 Februari 2018 / 15:44 WIB
UX Versus Customer Value


| Editor: Mesti Sinaga

Selama beberapa dekade kita hampir dibuat percaya bahwa pasar memiliki kekuatan absolut untuk mempengaruhi semuanya. Akibatnya, setiap menyiapkan strategi bisnis untuk setahun atau lima tahun mendatang, kita selalu memasukkan variable ‘apa kata pasar.’

Hal tersebut wajar karena tampaknya siapa sih yang bisa mengalahkan pasar?

Dengan kekayaan miliaran dolar pun, seseorang tak mendapat jaminan bisa mengalahkan kekuatan pasar. Karena tak jelas siapa sebenarnya yang dihadapi di pasar. Dan, secara kolektif, tak ada yang namanya super-businessmen.

Sayang sekali, kisah itu menjadi tak relevan lagi saat ini. Pasar ternyata masih bisa didikte sedemikian rupa hingga pebisnis yang cerdas bisa menciptakan kebutuhan baru di pasar.

Disrupsi? Mungkin. Hanya para pebisnis kreatif yang tahu betul bagaimana mendikte pasar, bukan soal disrupsinya.

Siapa yang tak kenal Uber, “perusahaan taksi” terbesar di dunia yang tak memiliki armada taksi ini? Apakah sepuluh tahun yang lalu ide ‘men-taksikan’ mobil-mobil pribadi melalui aplikasi bakal diterima begitu saja dengan akal sehat? Ojek online? Meng-hotelkan rumah-rumah pribadi selayaknya hotel konvensional? Gila apa!

Saat mengisi satu sesi business gathering di Jakarta baru-baru ini, saya membuat survei singkat. Isinya, satu pertanyaan sederhana: bila ojek atau taksi online ditiadakan saja di Jakarta, apakah Anda rela?

Secara random ada lima orang yang menjawab. Dan semua mengatakan tidak rela. Saat saya tanya balik, “Lo dulu tidak ada ojek online kan juga tidak apa-apa.” Jawaban mereka sangat polos, “Dulu saya tidak tahu bahwa ojek online itu nyaman, murah dan praktis. Tapi sekarang saya sekarang berubah pikiran.”

Kata ‘dulu’ dan ‘sekarang’ telah mengubah cara pandang orang. Bahwa yang dulu tidak ada, tidak terpikirkan, ternyata sekarang bisa ada, dan sangat dibutuhkan. Ada serentetan pengalaman yang memvalidasi perubahan cara pandang itu.

Di sinilah faktor ‘user experience’ mampu melawan mitos bahwa pasar adalah maharaja penentu dinamika ekonomi.

Dalam dunia bisnis, value tetaplah penting. Bisnis kita bisa sukses karena memberikan value. Ada nilai tukar yang dianggap adil atas uang yang kita belanjakan. Semakin besar value yang kita terima, semakin laris bisnis si penjual barang atau jasa itu.

Sekali lagi, value tetaplah penting. Tapi, bukankah setiap pebisnis melakukan hal yang sama? Kalau semua melakukan hal yang sama, bagaimana kita akan memenangkan persaingan? Di sini, user experience  ikut bermain dalam kompetisi.

Dampak UX
User Experience – untuk selanjutnya saya singkat dengan inisial populernya, UX - lebih dari sekedar berbicara soal value dari sebuah produk barang atau jasa. UX memberi kesempatan kepada pengguna atau pelanggan untuk menciptakan sensasinya sendiri secara bebas atas barang atau jasa yang ditawarkan kepada mereka. UX melampaui wacana atas value itu sendiri.

Barangkali test drive yang lazim dilakukan pabrikan otomotif merupakan bentuk paling awal dari UX yang dikenal masyarakat.

Meski dengan cara sangat sederhana, calon pembeli diberi kesempatan memegang kemudi, menjalankan mobil sekian kilometer, melakukan manuver layaknya sedang di tanjakan, tikungan, jalan berliku, aspal basah, dan lainnya. Tujuannya jelas, mencari tahu secara langsung pendapat calon pembeli tentang mobil.

Beberapa agen properti eksentrik di Amerika bahkan lebih gila lagi memaknai UX. Mereka membiarkan calon pembeli tinggal sehari–dua hari di rumah yang ditawarkan. Lalu, menanyakan hal-hal aneh yang kadang iseng seperti, “Apakah hantu garasi mengganggu Anda dua hari ini? Apakah Anda mendengar tetangga bertengkar?”  

Berbeda dengan value creation, UX memberikan dampak yang lebih lama. Seolah UX ingin mengatakan kepada pelanggan, “Anda sudah melihat, mendengar dan merasakannya sendiri.

Sekarang relakah Anda bila saya yang melakukannya untuk Anda. Lalu, saya rekomendasikan ke Anda untuk membeli produk ini?” Tentu saja setelah mereka mengalami efek UX, mereka tak akan rela experience itu diambil alih oleh penjual atau pebisnis.

Hasilnya sungguh luar biasa, para pelanggan lebih bisa menerima kenyataan bahwa mereka membayar dengan harga premium untuk hal yang sebenarnya sederhana, namun membuat mereka merasa nyaman. 

Atau, sebaliknya, pelanggan ikhlas membeli barang non premium dan mungkin kurang bergengsi, tetapi sangat puas dengan pengalamannya.

Lusinan merek ponsel cerdas dari China sangat jeli menonjolkan faktor UX ini, untuk menjaring calon pembeli.

Produsen ponsel dari Negeri Tembok Raksasa itu sengaja membuat harga yang terjangkau. Tujuannya, jumlah handset yang terjual harus sangat banyak, hingga segera terbentuk komunitas pemakai yang solid, serta brand awareness yang kuat di masyarakat.

Di mana letak UX-nya? Saat customer pelan-pelan menyadari bahwa pada akhirnya tingkat kenyamanan yang terpenting saat memakai ponsel, dan bermain gym.

Cerita soal ponsel cerdas tak berhenti di situ. Mendiang Steve Jobs pendiri Apple mendapat cibiran dari seluruh dunia saat meluncurkan iPhone pertama yang full touch screen alias tanpa tombol fisik.

Namun, siapa sangka UX yang digemakan para pemakai pertama ponsel cerdas iPhone ini di tahun 2007 menjadi wabah baru, bahwa pinch to zoom, layar lega, dan layar sentuh ternyata lebih nyaman dan praktis. Akhirnya bukan iPhone yang menyelamatkan wajah dan bisnis Steve Jobs, tetapi UX yang tepat sasaran dan cerdas.

Beberapa tahun ke depan, faktor UX dalam bisnis tetap akan menjadi faktor penting suksesnya sebuah bisnis. Konsumen ingin dilibatkan dalam beropini. Mereka ingin didengar langsung, dan perbaikan-perbaikan produk barang atau jasa hanya akan dilakukan atas keinginan serta selera konsumen.

Dua raksasa global produsen sepatu sudah mulai mengubah model bisnis mereka dengan menempatkan 3D printer di pasar-pasar utama mereka.

Suatu saat di masa depan, kita akan memakai sepatu bermerek premium dengan harga murah yang dicetak di sebuah ruko dekat rumah kita dengan nama kita ikut tercetak di sol-nya.

Satu pembeli yang puas akan mendatangkan seratus lainnya. Sekali lagi, value tetap penting, tapi jangan lupakan UX.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×