kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,33   -6,02   -0.65%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Vonis Medan


Senin, 20 November 2017 / 12:53 WIB
Vonis Medan


| Editor: Tri Adi

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya menjatuhkan vonis terhadap Perusahaan Gas Negara (PGN) terkait monopoli distribusi gas di Medan, Sumatra Utara, PGN dinyatakan terbukti melanggar Pasal 17 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

PGN dinilai terbukti memanfaatkan posisi tawar yang lebih kuat dalam penyusunan dokumen kontrak yang tertuang dalam perjanjian jual beli gas (PJGB), terutama terkait penetapan harga. Hal itu menyebabkan harga gas di Medan pada periode 2014-2015 jauh lebih mahal. Atas putusan tersebut, PGN didenda Rp 9,92 miliar untuk disetor ke kas negara.

Jalan menuju vonis itu cukup panjang. Dimulai dari investigasi KPPU soal dugaan praktik monopoli distribusi gas di Medan pada tahun 2014, sejak awal, sejumlah indikasi menunjukkan PGN telah menyalahgunakan posisinya. Selain secara sepihak menentukan harga jual tanpa mempertimbangkan daya beli konsumen, penetapan harga juga dinilai sangat jauh dari wajar. Selain itu, klausul dalam perjanjian jual beli cenderung tidak memberi pilihan pada konsumen.

Mungkin saja banyak dalih yang bisa dipakai untuk mematahkan argumentasi KPPU itu. Faktanya, gara-gara kondisi itu, selama periode 2014–2016, industri pengguna gas di Medan rontok. Banyak yang tutup gara-gara tak mendapat pasokan gas. Padahal, industri sudah beralih dari sumber energi diesel atau listrik. Sektor industri memberikan kontribusi terbesar (90%) terhadap pelanggan PGN di Medan. Ada 45 perusahaan yang jadi pelanggan.

Kementerian Perindustrian juga gemas melihat persoalan gas industri di Medan. Pertama, kontinuitas ketersediaan gas yang tidak stabil. Industri seringkali bukan menerima pasokan gas, melainkan angin. Kedua, infrastruktur gas minim sehingga sebagian besar industri tergantung pipa distribusi milik PGN. Ketiga, karena tak ada pilihan itu, harga gas menjadi mahal dan pelanggan tak punya pilihan.

Sampai tahun ini, rata-rata harga gas di Medan adalah di atas US$ 10,2 per million metric british thermal unit (MMBTU). Padahal, sesuai aturan terbaru, batas atas harga gas di Medan adalah US$ 9,95 per MMBTU. Bisa naik menjadi US$ 10 per MMBTU jika ada permintaan penambahan kapasitas. Karena itulah, vonis KPPU ini seolah menjewer PGN untuk lebih peduli ke pelanggannya.

Kasus PGN di Medan menunjukkan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) perlu menemukan pola yang pas untuk menjalankan fungsi sebagai perusahaan komersial yang harus untung, di satu sisi, dan misi sebagai agen pembangunan di sisi lain. Dengan posisi yang dominan, baik secara infrastruktur maupun basis pelanggan, godaan untuk mengail untung sebesar-besarnya cukup besar. Dalih umumnya adalah biaya produksi dan operasional tinggi.

Namun, sebagai pemilik 56,97% saham, pemerintah selalu mendorong PGN untuk menurunkan harga gas industri dan rumah tangga. Selain supaya tidak memberatkan, langkah itu sekaligus memacu industri. Risikonya, jika harga terus turun, pendapatan PGN juga akan turun. Otomatis target bisnis tak tercapai.

Kembali ke Medan, dengan memaksakan mematok harga tinggi karena tak ingin marginnya tergerus, PGN terbukti menanggung risiko tidak kecil. Konsumsi pelanggan turun drastis. Pendapatan juga tergerus. Ujung-ujungnya dampaknya juga tidak bagus. Moral cerita, meski dalam posisi dominan, perusahaan tetap tergantung pada pelanggan.                  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×