kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dibalik Aksi Perbankan Memborong SBN


Senin, 03 Agustus 2020 / 11:09 WIB
Dibalik Aksi Perbankan Memborong SBN
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pada masa transisi kenormalan baru, industri perbankan nasional masih terus agresif memborong Surat Berharga Negara (SBN). Penempatan dana pada SBN pada April 2020, misalnya, total mencapai Rp 1.115 triliun, naik 8,15% dari periode yang sama tahun lalu. Posisi ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah perbankan Tanah Air.

Kecenderungan di atas masih berlanjut pada triwulan kedua 2020. Selama rentang April-Juli, nilai SBN neto yang dipegang sektor perbankan domestik mencapai Rp 248,68 triliun. Kepemilikan perbankan atas SBN yang bisa diperdagangkan di pasar sekunder saja tercatat Rp 1.001 triliun per akhir Juli 2020, melonjak 72,18% dari posisi awal tahun.

Derasnya aliran dana perbankan ke SBN menjadi indikasi awal kecukupan likuiditas. Tesis ini tampaknya didukung indikator lain. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) perbankan per Mei 2020 relatif tinggi, yakni 22,14%. Artinya, modal bank masih cukup tangguh menyerap risiko finansial yang akan muncul.

Longgarnya likuiditas perbankan tercermin pula dari rendahnya suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan tingginya rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK). Suku bunga PUAB pada Juni lalu mencapai 4%, sedangkan posisi rasio AL/DPK per Mei sekitar 24,33% yang jauh di atas ambang batas 10%.

Melimpahnya likuiditas perbankan juga tidak lepas dari kebijakan Bank Indonesia (BI). Pelonggaran kuantitatif yang diracik sejak awal tahun lewat giro wajib minimum, rasio intermediasi makroprudensial, penyangga likuiditas makroprudensial, dan operasi moneter menambah likuiditas sekitar Rp 633,24 triliun.

Ini membawa aura positif bagi pasar finansial lokal. Agresivitas perbankan dalam memborong SBN secara signifikan mendorong penurunan imbal hasil (yield). Imbal hasil SBN bertenor 10 tahun yang selama masa pandemi (Maret-April) mencapai di atas 8%, kini sudah berada di bawah 7%.

Kenaikan porsi kepemilikan perbankan atas SBN turut membantu meringankan peran back stop BI. Mengikuti skema berbagai beban, BI membeli SBN lewat  private placement dan menyerap SBN di pasar perdana tatkala mekanisme pasar tidak mampu menyerap SBN yang diterbitkan pada hari lelang.

Alhasil, BI melalui koridor otoritas yang dimilikinya sejatinya membagi beban kepada industri perbankan dalam memikul beban fiskal dalam membiayai defisit APBN. Beban defisit APBN 2020 termasuk program PEN (pemulihan ekonomi nasional) yang menembus Rp 1.039,2 triliun tidak bisa ditutup tanpa kontribusi dan sinergi antarlembaga.

Dalam lingkup eksternal, kenaikan kepemilikan perbankan atas SBN mampu menyusutkan kepemilikan asing. Porsi kepemilikan asing di SBN berkurang 9% selama tahun berjalan, dari awal tahun 2020 sebesar 38,63% menjadi 29,63% per 23 Juli 2020. Stabilitas pasar keuangan adalah manfaat yang bisa dibidik dari perburuan bank atas SBN.

Dibalik aksi borong SBN

Namun di balik pemborongan SBN oleh perbankan, terbersit juga sebuah kekhawatiran akan fungsi perbankan. Kekhawatiran ini tidaklah mengada-ada. Pasokan SBN masih tetap tinggi. Hingga akhir tahun, pemerintah masih akan menerbitkan SBN Rp 900 triliun guna mengejar target pembiayaan APBN.

Dengan imbal hasil yang tetap atraktif serta pembayaran kupon dan pokok utang yang dijamin pemerintah, bank niscaya merasa nyaman memegang SBN daripada menyalurkan likuiditasnya menjadi kredit. Kredit macet bruto perbankan yang sudah sampai pada rambu-rambu 3% kian meredam hasrat penyaluran kredit.

Alhasil, fungsi intermediasi perbankan dalam menjembatani antara pihak berlebih dana dengan pihak yang perlu dana sangat boleh jadi akan tersendat. Pertumbuhan kredit hingga Mei 2020 yang hanya 3,04% sementara dana pihak ketiga perbankan tumbuh stabil di level 8,8% seakan menjadi bukti konkretnya.

Dengan pasar finansial yang didominasi oleh industri perbankan, fenomena kredit garing (credit crunch) semacam ini akan berdampak buruk terhadap perekonomian. Kesan lazy bank pun muncul dan dana masyarakat hanya berputar-putar pada aset finansial, alih-alih mengalir produktif ke sektor riil.

Aspek lain dari agresivitas berburu SBN adalah potensi efek desakan keluar (crowding out). Dana masyarakat dalam jumlah besar akan beralih ke SBN. Kondisi ini dapat memicu kelangkaan dana. Sektor privat pun akan mengalami kesulitan memperoleh dana dari pasar obligasi lantaran kalah bersaing dengan SBN.

Agar laku, obligasi korporasi harus memberi iming-iming imbal hasil yang lebih tinggi. Kondisi ini mengarah pada perang suku bunga. Permintaan kredit kian tertekan lantaran suku bunga pinjaman yang tersundul naik. Alhasil, upaya BI menurunkan suku bunga acuan guna mendorong penurunan suku bunga kredit bakalan sulit terwujud.

Konfigurasi problematika di atas sejatinya merupakan potret kecil belum sinkronnya antar-kebijakan ekonomi. Pelonggaran kuantitatif baru menyasar sebatas pada sisi pasokan, sementara sisi permintaan belum terjamah. Akibatnya, penyelesaian masalah pokok fungsi intermediasi yang tengah dihadapi industri perbankan tidak tuntas.

Oleh karenanya, menumpuknya dana perbankan di SBN tidak semestinya dipandang secara parsial hanya sebagai persoalan portofolio temporer perbankan semata. Inti masalahnya persis seperti lingkaran yang tak berujung pangkal. Di satu sisi, pandemi Covid-19 mendorong pebisnis menunda ekspansi lewat pencairan kredit perbankan.

Penanggulangan pandemi Covid-19 memerlukan anggaran yang dipenuhi dari penerbitan SBN. Alhasil, dana perbankan yang semestinya menjadi kredit tersalur ke dalam instrumen SBN sebagai kantung parkir. Di sisi lain, perbankan masih takut menyalurkan kredit karena risiko kredit macetnya tinggi.

Guna memutus lingkaran tadi, kontribusi OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) diharapkan bisa segera menyelesaikan urusan internal industri perbankan. Ketuntasan restrukturisasi kredit bagi debitur yang terpapar dampak Covid-19 akan meringankan manuver perbankan dalam menyalurkan kreditnya kembali. Toh, program penjaminan kredit modal kerja bagi industri padat karya baru saja diluncurkan.

Lebih lanjut, peran pemerintah lewat kebijakan fiskalnya diharapkan menjadi pembuka jalan dalam mengalirkan lagi likuiditas yang terserap di SBN kembali ke masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus mempercepat pencairan program PEN sehingga memberi stimulasi awal bagi akselerasi aktivitas ekonomi.

Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah penguatan daya beli masyarakat. Penyaluran stimulus pada masyarakat lapis bawah harus dipercepat, sambil pelan-pelan membuka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penyerapan anggaran stimulus yang baru 10% menjadi lampu kuning agar resesi ekonomi tidak kian dalam.

Penulis : Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×