kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hak Wisata Long Weekend di Masa Pandemi


Sabtu, 31 Oktober 2020 / 14:33 WIB
Hak Wisata Long Weekend di Masa Pandemi
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Beberapa media menyoroti kerawanan long weekend minggu ini di tengah pandemi virus korona baru. Bagi keluarga yang memiliki anak yang sedang sekolah, tentu libur panjang ini saat yang dinanti-nantikan untuk melepas kebosanan.

Memang, liburan, entah liburan sekolah maupun long weekend, memberikan kesegaran bagi anak-anak, tak terkecuali orangtua dan keluarga mereka. Terbersit suatu pengalaman bernilai bagi orangtua, setiap anak mereka memiliki hak untuk berekreasi, dan hak itu sama bernilainya dan karenanya orangtua berkewajiban untuk memenuhinya.

Masa liburan menjadi pemenuhan kebutuhan psikis, psikologis, atau kejiwaan pada anak. Pada saat bersamaan, menjadi momen yang indah dan berharga untuk memperbaiki dan memperkuat relasi batin orangtua-anak.

Banyak anak, baik usia pra-sekolah, TK-SD, ditengarai mengalami tekanan yang lebih berat pada sisi kejiwaan mereka. Peradaban saat ini cenderung menelantarkan hak anak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan kejiwaan dari orangtua dan keluarga khususnya, serta lingkungan sekitar, agar nantinya si anak memiliki karakter kuat (tahan banting) dan mampu menyumbangkan sesuatu yang khas dan unggul di kehidupan.

Mungkin saja, banyak orangtua dewasa ini memiliki pembenaran untuk menelantarkan pemenuhan kebutuhan kejiwaan anak, karena dirasa cukup jika sudah memenuhi kebutuhan fisiknya. Sementara sumber persoalan klise seputar anak, dan nantinya menjadi persoalan remaja juga, jamak diketahui salah satunya bersumber dari faktor ini.

Salah satu media rekonsiliasi sekaligus cara untuk memenuhi kebutuhan kejiwaan anak adalah dengan berwisata keluarga. Kerap dirasakan, masalah di dalam rumah terasa berputar-putar tak berujung. Suasana rumah terasa tidak homey selagi relasi batin tidak terpelihara, apalagi ketika ada masalah yang belum terpecahkan. Sesekali dan mungkin perlu direncanakan secara reguler pada kalangan keluarga di metropolis, untuk berwisata bersama-sama anggota keluarga.

Namun, pada masa pandemi virus korona baru, di mana keluarga menjadi benteng pertahanan dan keselamatan setiap individu, rupa-rupanya, moda relasi di dalam keluarga menjadi semakin penting. Berkaitan dengan itu, hak berwisata di tengah masa pandemi virus korona baru perlu dilihat dalam konteks pemenuhan hak berwisata secara bijaksana, terutama dalam berkontribusi memerangi wabah Covid-19 secara bersama-sama.

Pasal 18 ayat 1 butir a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan, setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata. Karena itu, anak-anak usia pra-sekolah juga memiliki hak berwisata yang wajib dipenuhi orangtua dan keluarganya. Pasal 3 menyatakan, kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Dari segi legislasi, jelas-jelas hak anak usia pra-sekolah untuk berwisata dilindungi. Maka, perlu ada kesadaran baru bagi keluarga, dalam hal ini orangtua, bahwa menyediakan waktu, energi, dan biaya khusus untuk berwisata bersama anak-anak tidak sekadar aktivitas refreshing atau leisure, tetapi juga memenuhi hak anak untuk berwisata dan menjalankan amanat undang-undang. Melalui itu, orangtua dan keluarga dapat memberikan pendidikan kepada anak-anaknya yang berusia pra-sekolah dengan cara yang menyenangkan, dalam kebersamaan dan persaudaraan.

Kota anak

Dengan berwisata, anak dikenalkan dengan penerapan nilai Sapta Pesona Wisata (keamanan, kebersihan, ketertiban, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, serta memberikan kenangan yang mengesankan pada wisatawan) dengan learning by process. Ini manakala berada di area wisata, di tempat-tempat umum, di kehidupan nyata, maupun secara sadar dalam interaksi sehari-hari di rumah dan lingkungan. Misalnya, membentuk karakter dan sikap solider dan peka terhadap lingkungan, memiliki jiwa yang hangat dan ramah, welcome dan helpful ke orang lain.

Mempersiapkan manusia-manusia Indonesia baru yang sadar wisata memerlukan lifelong education for all and curriculum for 21st century yang didasarkan pada empat pilar pendidikan yang digariskan UNESCO. Pertama, learning to be, agar manusia tanpa melihat asal-usulnya mampu dan mau belajar dari setiap peristiwa kehidupan sebagai dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan dan berusaha mandiri sebagai manusia.

Kedua, learning to know. Manusia harus mampu melihat situasi dan kondisi serta memahami makna kehidupan. Ketiga, learning to do. Manusia harus berusaha dan berbuat sesuai kapasitasnya. Keempat, learning to live together. Kemampuan berbuat sesuatu yang dapat dirasakan dan memberi manfaat banyak orang.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak waktu itu Meutia Hatta menyampaikan program brilian penetapan kota anak di berbagai daerah di Tanah Air. Kota anak harus memenuhi hak-hak anak, mulai dari hak kesehatan, pendidikan, keamanan, infrastruktur, lingkungan yang aman, pariwisata bermain. Intinya, kota tersebut dirancang memang untuk anak. Hal ini dilakukan karena melihat perkembangan daerah mulai dari desa hingga kota yang sangat pesat.

Untuk itu, yang mendapatkan hak atas perkembangan ini tidak hanya orang dewasa, namun juga anak-anak yang 25 tahun mendatang akan menjadi penerus bangsa. Kota anak yang dirancang nantinya akan menyediakan segala fasilitas untuk anak. Antara lain, fasilitas belajar, bermain dengan mainan-mainan yang bagus, bahkan mungkin mahal. Ini agar anak-anak dari keluarga tidak mampu juga bisa merasakan bisa bermain dengan mainan yang rata-rata milik anak orang berada.

Diberi pula fasilitas hiburan lainnya, seperti televisi dengan program-program acara yang sesuai. Kota anak juga harus mampu memberikan rasa aman pada mereka. Hak rasa aman diwujudkan dalam bentuk bantuan hukum, rehabilitasi berupa terapi psikologis terutama bagi anak-anak korban kekerasan.

Sebagai akhir dari tulisan ini, perlu kita renungkan sejenak puisi Dorothy Law Nolte berjudul Dari Lingkungan Hidupnya Anak-anak Belajar: "Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki; jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar menentang; jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri; jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar jadi penyabar; jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri; jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai; jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia akan terbiasa berpendirian".

Kiranya, long weekend ini dapat diinovasikan dengan "berlibur" di rumah masing-masing, dengan aneka kegiatan leisure dan yang bermutu bagi pertumbuhan anak serta menyenangkan. Bila terpaksa bepergian, mari saling menjaga, menghormati, dan menghargai keselamatan diri sendiri dan orang lain.

Dewa Gde Satrya

Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×