kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Memaknai Surplus BPJS Kesehatan


Selasa, 23 Februari 2021 / 10:59 WIB
Memaknai Surplus BPJS Kesehatan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Laporan Keuangan unaudited BPJS Kesehatan di 2020 mencatatkan surplus Rp 18,73 triliun. Bahkan sejak Juli 2020, BPJS Kesehatan juga tak lagi gagal membayar klaim dari rumah sakit. Direksi BPJS Kesehatan 2016-2021 menutup masa kerjanya dengan memberikan kinerja positif sebagai modal bagi kepengurusan direksi selanjutnya.

Sebelum membahas surplus arus kas tersebut, ada baiknya melihat kinerja historis keuangan dana jaminan sosial (DJS) periode 2014-2019. Menurut Laporan Pengelolaan BPJS Kesehatan, DJS Kesehatan sejak 2014 mengalami penurunan aset neto Rp 3,3 triliun. Selama 6 tahun beroperasi, aset neto DJS Kesehatan terus mengalami defisit hingga Rp 51 triliun.

Penurunan aset neto pada DJS ini diakibatkan beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi daripada pendapatan iuran yang dikumpulkan oleh BPJS Kesehatan.

Definisi aset neto di sini adalah perhitungan total aset dikurangi liabilitas dari dana jaminan sosial kesehatan per posisi akhir tahun. Sehingga kenaikan atau penurunan aset neto dihasilkan dari jumlah pendapatan dikurangi seluruh beban termasuk beban jaminan kesehatan dan beban cadangan teknis serta biaya operasional BPJS Kesehatan.

Dari sisi pendapatan, perhitungannya dilakukan berbasis akrual. Ini termasuk kontribusi atau hibah dari BPJS Kesehatan serta bantuan dari pemerintah baik dalam bentuk suntikan dana APBN maupun pendapatan pajak rokok yang direalokasikan dari pendapatan APBN pemerintah.

Akumulasi defisit aset neto tersebut belum termasuk total hibah dan bantuan pemerintah sejak periode 2015-2018 sebesar Rp 24 triliun. Sehingga jika akumulasi penurunan aset neto ditambah jumlah seluruh hibah dan bantuan pemerintah tersebut maka nilainya mencapai hingga Rp 75 triliun. Sedangkan di 2019, pemerintah tidak memberikan kontribusi dalam bentuk hibah, bantuan maupun bagian dari pendapatan pajak rokok. Hal ini yang membuat penurunan aset neto yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Yang perlu diluruskan adalah bahwa surplus arus kas Rp 18,7 triliun bukan nilai aset neto yang dapat mengurangi akumulasi negatifnya yang sebesar Rp 51 triliun atau Rp 75 triliun jika ditambah hibah dan bantuan pemerintah. Lalu bagaimana dampak surplus arus kas tersebut terhadap pelayanan peserta BPJS Kesehatan di rumah sakit?

Aset neto negatif

Menurut PP Nomor 53/2018 tentang tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan bahwa aset bersih DJS Kesehatan paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan. Dari siaran pers BPJS Kesehatan, nilainya sebesar Rp 13,93 triliun. Artinya jika nilai surplus arus kas Rp 18,7 triliun sama dengan besaran nilai aset neto maka ketentuan PP tersebut telah dipenuhi.

Namun kenyataannya, aset neto DJS Kesehatan masih minus Rp 6,35 triliun meskipun besaran iuran peserta sudah mengalami kenaikan. Artinya arus kas yang surplus tetap menyisakan defisit aset neto.

Jadi jika arus kas surplus namun aset neto masih negatif maka bisa jadi masih ada beban jaminan Kesehatan yang belum dibayar ditambah beban cadangan teknis yang masih tinggi. Jika itu yang terjadi maka Direksi yang baru masih harus bekerja keras untuk memenuhi postur keuangan DJS agar sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu 1,5 bulan nilai estimasi pembayaran klaim ke depan.

Selain faktor kenaikan iuran, arus kas yang surplus itu juga tidak lepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat enggan mengunjungi rumah sakit. Padahal, arus kas yang surplus tersebut belum memasukkan faktor penyesuaian tarif INA-CBGs yang seharusnya disesuaikan setiap periode tertentu.

Dapat dibayangkan jika dilakukan penyesuaian tarif INA-CBGs akibat tekanan dari mitra provider pelayanan kesehatan yang terjadi karena berita mengenai surplusnya arus kas DJS, lalu ditambah dengan berangsur pulihnya situasi pandemi sehingga masyarakat mulai berani datang lagi ke rumah sakit. Bukan saja arus kas menjadi defisit lagi, aset neto pun tak urung bertambah besar negatifnya. Sementara penyesuaian iuran sulit dilakukan karena kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih sehingga daya beli masyarakat belum kembali normal.

Oleh karena itu, paling tidak ada tiga langkah yang harus diperhatikan guna menjaga keberlangsungan program dan peningkatan mutu JKN ini. Pertama, perlu pembenahan kembali terhadap standar tarif INA-CBGS. Banyak rumah sakit yang mengeluh bahwa tarif yang ditetapkan kurang layak sehingga menyebabkan kerugian bagi pengelolanya.

Namun jumlah rumah sakit meningkat terus. Ketidakseimbangan perspektif ini dapat dijembatani dengan cara mewajibkan setiap rumah sakit untuk melampirkan laporan keuangannya sebagai bagian dari credential link yang dilakukan setiap tahun.

Dengan demikian, BPJS Kesehatan dapat mengetahui secara agregat berapa rata-rata unit cost yang menjadi beban rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sehingga akan terbentuk tarif baru yang sesuai dengan harapan rumah sakit yang berdampak pada kualitas dan mutu pelayanan kesehatan bagi para peserta.

Kedua, sejalan dengan usulan persyaratan transparansi keuangan dari rumah sakit maka perlu juga adanya peningkatan transparansi atas pengelolan program dari BPJS Kesehatan. Sebagai badan hukum publik, sudah seharusnya BPJS Kesehatan mempublikasikan laporan keuangan audit, layaknya perusahaan keuangan atau publik lainnya setiap tahun.

Salah satu yang dipublikasikan adalah laporan pengelolaan program, seperti publikasi laporan tahunan manajemen perusahaan publik. Masyarakat Indonesia, yang notabene merupakan pesertanya, juga seharusnya bisa mengakses laporan tersebut.

Dengan keterbukaan informasi tersebut diharapkan akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat atas bagaimana pengelolaan program setiap tahunnya. Sehingga jika harus dilakukan penyesuaian iuran lagi akan secara mudah dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Yang terakhir adalah percepatan optimalisasi analisis big data. Upaya ini dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu dari sisi kepesertaan dan dari sisi jaminan pelayanan. Untuk sisi kepesertaan, upaya ini dilakukan dalam rangka melakukan identifikasi pola pembayaran iuran secara agregat maupun per wilayah terutama karakteristik dari peserta individu/mandiri yang menunggak. Sehingga solusi dari permasalahan iuran tertunggak ini dapat dipecahkan.

Sementara dari sisi jaminan pelayanan adalah perihal karakteristik dan pola penyakit secara agregat maupun per wilayah. Meskipun bidang ini merupakan ranah Kementerian Kesehatan, namun paling tidak BPJS Kesehatan dapat memberikan masukkan yang berharga dari hasil analis big data tersebut. Dengan harapan biaya pelayanan kesehatan secara umum maupun yang masuk dalam kategori penyakit katastropik bisa turun secara optimal.

Penulis : Fadhul Imansyah

Praktisi Pasar Modal dan Pengamat Kebijakan Publik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×