kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OTT dan Kedaulatan Siber


Kamis, 18 Februari 2021 / 09:30 WIB
OTT dan Kedaulatan Siber
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Salah satu ketertinggalan pembuat kebijakan telekomunikasi di Indonesia adalah kegagapan untuk memenuhi Janji Kemerdekaan yang pertama pada konteks kekinian, yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Ini adalah janji pertama dan harus dipenuhi, sebelum masuk tiga janji selanjutnya.

Janji pertama dalam konteks kekinian adalah perlindungan dalam dua ranah: ranah fisikal dan ranah digital. Hari ini hampir seluruh warganegara Indonesia telah hidup di jaman digital, kecuali yang tidak tersentuh oleh teknologi komunikasi digital. Di era digital, semua ibarat "buku yang terbuka lebar", dan dapat dibaca oleh mereka yang memerlukannya, khususnya untuk kepentingan politik dan komersial.

Upaya mewujudkan janji Negara tersebut dilakukan melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (RPP Postelsiar). Dengan semangat nasionalisme dan kualitas kebangsaan yang tinggi, Menteri Kominfo Johny G. Plate mencanangkan pengaturan terhadap pelaku usaha Over The Top (OTT) utamanya pelaku usaha OTT asing, guna menegakkan kedaulatan bangsa.

Pada RPP Postelsiar, dengan segera diamanatkan bahwa penyelenggara plaform dan aplikasi digital dari negara lain yang beroperasi memanfaatkan ruang siber Indonesia harus dikendalikan. Prinsip ini dinyatakan dalam (hanya) salah satu pasal, yaitu bahwa Pemerintah mewajibkan kerja sama antara OTT asing dengan operator telekomunikasi di Indonesia. OTT tidak hanya seperti definisi Wikipedia yaitu layanan media siaran yang menggunakan internet, namun setiap platform dan aplikasi yang menggunakan penambangan data dan komersialisasi layanan melalui internet.

Tentu saja pemilik usaha OTT, yang sebagian besar berasal dari AS, menolak. Tanpa regulasi, mereka dapat "menambang" data dan laba yang tidak terlacak. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar dunia no 15 dari ukuran PDB dan Nomor 7 dari ukuran purchasing power parity, jelas Indonesia sangat "seksi". Apalagi, ekonomi digital Indonesia pada 2019 mencapai US$ 40 miliar, dan diperkirakan menjadi US$ 130 miliar pada 2025. Ekonomi digital Indonesia adalah yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sudah masuk kriteria "super seksi".

Ironisnya, ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dikeruk dengan tanpa membayar pajak ke Pemerintah. Perjuangan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar Indonesia mendapatkan hak tersebut selalu menemui jalan buntu. Pemilik OTT melancarkan upaya dan lobi untuk menggagalkannya.

Pemilik usaha OTT asing juga memberikan berbagai pernyataan yang keliru dan menyesatkan kepada pemerintah. Mereka mengatakan bahwa kewajiban kerja sama akan menurunkan kualitas layanan, menjadikan Indonesia negara yang diasingkan dunia, menghilangkan lapangan kerja, dan bertentangan dengan net neutrality yang bahkan di Amerika Serikat sendiri telah dicabut pengaturannya. Kerja sama sebagai perwujudan semangat gotong royong Pancasila jelas akan menimbulkan kemanfaatan bagi semua pihak.

Tantangannya, apa agenda dari kelompok di lingkungan Pemerintah yang saling tawar-menawar tersebut, terutama setelah mendapatkan masukan, yang kadang juga berupa tekanan, bahkan dapat terjadi "tusukan" dari kelompok yang menginginkan kebijakan yang disiapkan Pemerintah. Kasus yang lazim terjadi di negara-negara berkembang yang biasanya Pemerintahnya lemah kepada investor internasional, seperti banyak terjadi di kawasan Afrika Tengah.

Mengontrol

Terlepas dari tekanan pemilik usaha OTT, Pemerintah perlu melihat besarnya risiko jika pengaturan kewajiban kerja sama pemilik usaha OTT tidak diatur. Konten yang disebarkan oleh pemilik usaha OTT tanpa melalui pengaturan Pemerintah, sebagian berbau pornografi dan radikal tentu bertentangan dengan nilai-nilai agama dan Pancasila. Sebagai contoh, Netflix menayangkan film kontroversial seperti Messiah dan Cuties.

Lebih berbahaya lagi, pemilik usaha OTT besar telah menjadi gate keeper yang menguasai alur informasi di ranah digital. Melalui pengaturan informasi, mereka bisa menentukan arahnya demokrasi di berbagai negara. Sebagai contoh, Facebook melakukan pengaturan konten politik di Amerika Serikat, Kanada, Brazil, dan Indonesia untuk menggiring opini serta meningkatkan traffic, sehingga mereka mendapatkan keuntungan. Tidak berbeda dengan Facebook, Twitter juga melakukan hal yang relatif sama. Bahkan keberadaan mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump di ruang digital juga bisa dihapus oleh Twitter selaku pemilik usaha OTT. Penghapusan ini tanpa didasari keputusan pengadilan.

Kebijakan publik bukanlah masalah teknis pasal-pasal, namun masalah etika atau moral kebangsaan. Memang, pengajar-pengajar dari negara maju, menuturkan bahwa kebijakan adalah masalah praktis, cepat, dan lupakan pertimbangan etik. Sebuah cara yang cerdas, yang masuk dalam kategori smart power dari Joseph S. Nye (The Future of Poer, 2011). Pemahaman yang membutakan tidak sedikit pembuat kebijakan, bahwa kebijakan adalah tentang kebajikan (virtue), suatu kualitas yang memenuhi kebaikan moral sebagai pondasi prinsip dan moral kebaikan.

Komentar leceh yang mungkin muncul adalah, mengapa jadi seruwet itu? Pertanyaan yang merendahkan jati diri kebangsaan dari pembuat atau pengambil kebijakan. Karena, ada di mana pun mereka, maka tugas pertama adalah membuat kebijakan yang memenuhi janji kemerdekaan mereka, melampaui hal-hal yang lain. Kedaulatan adalah janji pertama, kemerdekaan Indonesia, yang menjadi pertimbangan setiap pengambil kebijakan.

Pada kasus pewajiban kerjasama OTT dengan penyelenggara telekomunikasi nasional, bukan tentang pembagian keuntungan, namun prinsip perlindungan kepada segenap tumpah darah Indonesia. Bukan sekadar perlindungan data, namun perlindungan siber nasional. Tidak ada satu negara merdeka dan berdaulat pun yang up-date pemikirannya, yang tidak memerlukannya sebagai prioritas utama dan pertama.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres konferensi pers pada Kamis (28/1/2021) mengemukakan bahaya dari dunia di mana terlalu banyak kekuasaan diberikan kepada sejumlah kecil perusahaan yang pada saat ini mendominasi dunia siber.

Indonesia perlu didukung untuk melanjutkan pewajiban bagi OTT dari luar negeri untuk bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi nasional. Konsekuensinya, Pemerintah Indonesia, apapun lembaga atau kementeriannya, perlu melanjutkan kehendak kebijakannya tersebut.

Tentu harus dipikirkan insentif bagi OTT internasional sampai pada kondisi win-win. Karena pada dasarnya, internet menjadikan dunia menjadi satu, menjadi milik semua, namun bukan berarti tanpa sekring kendali.

Penulis : Riant Nugroho

Direktur Rumah Reformasi Kebiajakn, Pengajar FISIP Universitas Achamd Yani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×