kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45934,63   6,99   0.75%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Surplus Tidak Sehat


Senin, 01 Februari 2021 / 13:19 WIB
Surplus Tidak Sehat
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Di tengah kondisi bisnis dan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19, datang pengumuman mengejutkan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Baru-baru ini, lembaga tersebut merilis data terkait kondisi neraca perdagangan sepanjang 2020 yang pecah rekor dalam sejarah Indonesia.

Surplus yang dicatat memang fantastis, mencapai US$ 21,74 miliar. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 yang mengalami defisit US$ 3,59 miliar.

Angka statistik yang demikian besar harusnya membuat bangga para pemangku kepentingan di sektor ini, khususnya Menteri Perdagangan. Tapi kenyataannya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi secara terang-terangan menyatakan surplus neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2020 tidak sehat. Bahkan, ia mengaku surplus tersebut cukup mengganggu dirinya.

Syukurlah kalau ia tahu diri dan tidak jemawa dengan rekor neraca dagang tersebut. Faktanya, surplus tersebut memang bukanlah surplus yang sehat. Pasalnya, surplus tersebut didapatkan karena ekonomi yang melemah.

Indikasinya jelas. Penurunan nilai impor yang jauh lebih dalam ketimbang penurunan angka ekspor. Tercatat ekspor turun sebesar 2,6%, sementara impor turun lebih dalam lagi yang mencapai 17,3%.

Dan, itu berbahaya, mengapa? Sekitar 70,3% atau hampir tiga per empat impor Indonesia dipakai untuk bahan baku dan bahan penolong industri di dalam negeri.

Dengan kata lain, turunnya impor bahan baku dan penolong membuat laju industrialisasi dalam negeri turun. Turunnya aktivitas itu disebabkan melemahnya konsumsi masyarakat. Kondisi itulah yang sebenarnya terjadi di balik rekor surplus neraca dagang tersebut.

Maka, yang harus menjadi prioritas pemerintah saat ini adalah membangkitkan kembali daya beli masyarakat agar konsumsi kembali pulih. Setelah konsumsi berjalan, bahan baku kembali normal, kredit perbankan akan kembali bergairah, sehingga perekonomian bisa mulai normal.

Kuncinya di konsumsi karena memang menguasai 54% dari pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto. Jadi tak masalah impor meningkat, karena itu menunjukkan aktivitas industri tengah menggeliat. Dan, di sisi lain, laju ekspor, khususnya non migas juga meningkat.

Bila menghasilkan surplus neraca dagang, maka itulah surplus yang sehat. Artinya, kondisi bisnis dan ekonomi kita sedang kuat, tidak lemah seperti sekarang. Semoga.

Penulis : Havid Febri

Redaktur Pelaksana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×