kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada ambisi pajak di balik CAD?


Senin, 18 Februari 2019 / 16:18 WIB
Ada ambisi pajak di balik CAD?


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Badan Pusat Statistik (BPS) sudah merilis neraca perdagangan tahun 2018. Nilai impor sepanjang tahun lalu sebesar US$ 188 miliar atau melonjak 20,15% dibanding tahun sebelumnya. Di sisi lain, ekspor hanya mampu US$ 162 miliar atau tumbuh 6,65%. Tak cuma mencetak rekor terburuk, hasil tersebut juga memutus tren kenaikan surplus neraca dagang sejak tahun 2015. Berdasarkan acuan pada tahun sebelumnya, neraca dagang surplus US$ 11,8 miliar: nilai ekspor US$ 168,8 miliar dan impor US$ 156,9 miliar.

Sejarah defisit perdagangan terbesar sebelumnya terjadi pada 2013 dengan nilai US$ 4,08 miliar. Defisit juga terjadi tahun 2012 dan 2014 dengan nilai masing-masing US$ 1,7 miliar dan US$ 2,2 miliar. Sedangkan sejak awal kemerdekaan, sempat terjadi defisit pada 945 sampai 1975, meski nilainya tidak terlalu besar dengan capaian tertinggi pada 1975 sekitar US$ 391 juta. Salah satu penyebab besarnya defisit tahun lalu adalah neraca dagang minyak dan gas (migas). Kebutuhan minyak yang besar memaksa Indonesia harus membayar impor hingga US$ 29,8 miliar. Sedang ekspor hanya mampu membukukan US$ 17,4 miliar.

Alhasil, perdagangan migas mencatatkan defisit US$ 12,4 miliar atau melonjak 45% dibanding tahun sebelumnya. Defisit di bidang migas bukan hal yang baru, bahkan sudah berlangsung setidaknya sejak tujuh tahun lalu. Indonesia sudah menjadi net importir migas pada 2012. Bahkan, setahun berselang defisit minyak (minyak mentah dan BBM) mencapai rekor tertinggi senilai US$ 27,6 miliar.

Jika dilihat lebih detail, tekornya neraca migas disebabkan impor minyak mentah dan hasil minyak yang mencapai US$ 26,6 miliar atau hampir 90% dari impor migas secara keseluruhan. Secara agregat, defisit minyak (minyak mentah dan BBM) menjadi US$ 20 miliar atau membengkak hingga 37% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara untuk komoditas gas, Indonesia masih surplus US$ 7,5 miliar. Selanjutnya, ekspor komoditas pertambangan masih menjadi penolong dengan surplus sebesar US$ 15,7 miliar.

Secara umum, fluktuasi defisit migas sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Dengan kondisi kebutuhan minyak dalam negeri yang semakin meningkat, defisit di sektor migas masih sulit dihindari bahkan hingga beberapa periode ke depan. Adapun penyebab lain yang juga berperan besar terhadap rekor defisit tahun lalu adalah perdagangan non-migas. Sepanjang 2018 sektor non-migas mencatatkan surplus US$ 3,8 miliar. Nilainya anjlok 81,4% dibandingkan dengan tahun 2017 yang membukukan surplus US$ 20,4 miliar.

Merosotnya surplus itu ditandai melesatnya nilai impor yang tidak diimbangi ekspor yang kuat. Total impor non-migas meningkat 19,71% sedang ekspor hanya tumbuh 6,25%. Tak seperti 2013, saat itu ekspor non-migas justru menurun dibanding tahun sebelumnya. Menggeliatnya pembangunan dan investasi pada 2018 memaksa Indonesia harus mengimpor barang sebagai penunjang bahan baku. Besi, baja, mesin, dan peralatan listrik jadi barang yang mendominasi impor non-migas. Barang itu sejalan program prioritas pemerintah untuk memacu proyek-proyek infrastruktur.

Tergantung komoditas

Di sisi lain, ekspor non-migas tertekan karena harga minyak sawit mentah (CPO) dunia masih rendah. Selain itu, penurunan harga batubara selama beberapa bulan terakhir tahun lalu turut menggerus pertumbuhan ekspor non-migas. Alhasil, ekspor tak mampu jadi juru selamat neraca nonmigas Indonesia. Terlihat sekilas, penyebab melebarnya defisit adalah neraca migas yang minus US$ 12,4 miliar, sedang nonmigas cuma membukukan surplus US$ 3,8 miliar. Namun, jika ditelisik lebih dalam, penyebab dominan lainnya adalah surplus nonmigas yang makin menciut.

Sebagai negara importir minyak serta eksportir komoditas batubara dan sawit, Indonesia sangat bergantung pada harga minyak dan komoditas dunia. Secara volume, impor migas turun 2,49%, tapi karena harga minyak naik, nilai impornya ikut meningkat 22,59%. Yang menarik, tahun lalu harga minyak dalam tren kenaikan namun tidak diikuti oleh komoditas batubara dan CPO. Inilah yang menyebabkan kebutuhan impor semakin besar, namun keluaran ekspor tak mampu mengimbangi.

Namun, melonjaknya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) justru jadi peluang bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran untuk memenuhi ambisi pajak 2018 melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sri Mulyani dengan bangga mengatakan, untuk pertama kalinya pendapatan negara melampaui target. Dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun, terealisasi Rp 1.942,3 triliun atau 2,5% di atas target. Tapi bila dikaji lebih dalam, sumber-sumber penerimaan yang surplus adalah imbas yang disengaja dari faktor eksternal, bukan internal karena hasil kerja pemerintah.

Hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan perubahan pada APBN 2018, di saat asumsi makro atas Indonesia crude price (ICP) dan nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melenceng jauh. Padahal jika ditilik lebih detail, penerimaan perpajakan (dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai) masih shortfall Rp 96,7 triliun atau 6% di bawah target APBN. Pada Ditjen Pajak, dari target Rp 1.424 triliun, ternyata hanya terealisasi Rp 1.315,9 triliun atau shortfall Rp 108,1 triliun atau 7,6%.

Shortfall yang "rendah" tadi sebenarnya tertolong karena PPh migas yang sukses menyumbang surplus 69,6% atau surplus Rp 26,6 triliun (dari target Rp 38,1 triliun). Ini karena kenaikan harga minyak dunia, bukan lantaran peningkatan produksi migas yang justru di bawah target.

Jadi sebenarnya, tulang punggung penerimaan negara seperti pajak PPh non-migas dan PPN tercatat masih dibawah target APBN, yaitu dari target sebesar Rp 1,358,8 triliun hanya terealisasi Rp 1.225 triliun atawa tekor Rp 133,8 triliun atau 9,8%. Sehingga, di luar PPh migas, penerimaan Ditjen Pajak dari target mencapai Rp 1.385,9 triliun hanya terealisasi Rp 1.251,2 triliun atau shortfall 9,7%.

Surplus-surplus penerimaan yang lain yang akhirnya mampu menutupi shortfall dari Ditjen Pajak adalah penerimaan yang didorong oleh faktor eksternal, terutama kenaikan harga minyak mentah dan komoditas di pasar dunia. Juga, karena kenaikan hibah sebesar Rp 12,7 triliun atau naik 1.061%.

Pun secara umum, kondisi perpajakan bisa dilihat dari perkembangan tax ratio 2018 yang dilaporkan hanya bertengger di posisi 11,5%. Dengan PDB 2018 sebesar Rp 14.745,9 triliun, berarti diasumsikan penerimaan perpajakan hanya sebesar Rp 1.695 triliun, tapi realisasinya hanya Rp 1.521,4 triliun.•

Ronny P. Sasmita
Direktur Economic Action Indonesia (EconAct)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×