Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Sebagai salah satu negara emerging yang bersifat bank-based economy, tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi negara kita sudah pasti tidak lepas dari pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan ekonomi yang belum beranjak dari kisaran 5% sejatinya sejalan dengan pertumbuhan kredit yang masih satu digit. Maka itu, pertumbuhan kredit harus terus didorong agar ekonomi dapat tumbuh lebih tinggi. Sampai-sampai, Presiden Jokowi pada beberapa waktu lalu turun tangan memanggil seluruh pengurus bank untuk membicarakan masalah tersebut.
Masih belum menggeliatnya pertumbuhan kredit dapat dilihat dari data perkembangan uang beredar posisi Maret 2018 yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Pada posisi itu, pertumbuhan kredit baru mencapai 8,45% (year on year/yoy) menjadi Rp 4.769 triliun, menurun dibandingkan Maret 2017 yang tumbuh 9,26% (yoy). Bila ditelisik lebih dalam dengan men-dekomposisi kredit menjadi kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi, maka pada Maret 2018, kredit investasi tumbuh paling rendah 5,31% (yoy). Padahal porsi kredit investasi mencapai kisaran 25% dari total kredit. Sementara kredit modal kerja dan konsumsi masih tumbuh lumayan tinggi masing-masing 8,39% (yoy) dan 11,37% (yoy).
Selain mencatat paling rendah, pertumbuhan kredit investasi ternyata juga menunjukkan kecenderungan menurun. Sebagai gambaran, bila pada Desember 2015, kredit investasi tumbuh cukup tinggi mencapai 14,61% (yoy), lalu di Desember 2016 turun hampir separuh menjadi 8,65% (yoy), maka pada Desember 2017, kredit investasi kembali terjun bebas hanya tumbuh 4,82% (yoy). Penurunan pertumbuhan kredit investasi tersebut dialami secara merata seluruh kelompok bank, baik itu bank BUKU I, BUKU II, BUKU III maupun BUKU IV. Meski begitu, ada juga beberapa individu bank yang mencatat pertumbuhan kredit investasi yang cukup tinggi, diantaranya Bank BCA dan BRI.
Tentu gejala penurunan kredit investasi tersebut perlu diwaspadai. Pasalnya, turunnya pertumbuhan kredit investasi bisa jadi mengindikasikan gairah investasi mulai berkurang. Investasi yang menurun mengakibatkan pendapatan menurun, imbasnya konsumsi masyarakat menurun. Konsumsi menurun berarti permintaan terhadap barang konsumsi juga menurun. Akibatnya gairah terhadap investasi tambah menurun lagi dan begitu seterusnya. Selanjutnya terjadilah spiral ke arah menurunnya seluruh kegiatan ekonomi yang pada akhirnya berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Beberapa penyebab
Setidaknya ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pertumbuhan kredit investasi terus menurun. Pertama, belum kuatnya keyakinan dari para pengusaha akan kondisi ekonomi kita. Kombinasi faktor eksternal seperti kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate sebanyak empat kali dan perang dagang AS dan China; dan faktor internal seperti kekhawatiran utang pemerintah yang menerus meninggi, kenaikan harga minyak dunia yang dapat berdampak pada ketahanan fiskal (subsidi BBM) serta adanya pilkada di 2018 dan pilpres di 2019, tampaknya mendorong mereka berperilaku wait and see.
Alhasil, pengusaha sangat berhati-hati dalam mengambil kredit investasi. Sikap hati-hati ini dapat dilihat dari tingginya kredit yang menganggur atau undisbursed loan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia posisi Februari 2017, jumlah kredit yang menganggur naik 8,74% (yoy) menjadi Rp 1.472,28 triliun atau sekitar 31,5% dari total penyaluran kredit Rp 4.662,34 triliun. Angka ini naik Rp 118,27 triliun (yoy) atau naik Rp 64,02 triliun (year to date/ytd).
Kedua, ada kecenderungan korporasi besar menggunakan instrumen pasar modal melalui penerbitan obligasi untuk membiayai investasinya. Faktor suku bunga yang lebih rendah dan jangka waktu yang lebih panjang membuat mereka lebih memilih opsi menerbitkan obligasi ketimbang mengambil kredit di bank. Apalagi rating investasi negara kita semakin membaik dan telah berada dalam investment grade sebagaimana hasil penilaian oleh lembaga pemeringkat dunia seperti Fitch Ratings, Moodys maupun Standard and Poors.
Jika kita melihat data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang 2017 lalu saja, total penerbitan obligasi mencapai Rp 150,21 triliun, naik 25,5% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 111,86 triliun. Sedangkan obligasi syariah (sukuk) mencapai Rp 6,50 triliun atau naik 50% dari tahun sebelumnya 4,32 triliun. Adapun pada posisi April, Minggu ke-3 2018, total penerbitan obligasi dan sukuk masing-masing telah mencapai Rp 41,54 triliun dan Rp 1,19 triliun.
Ketiga, kemungkinan imbas dari standar internasional yakni net stable funding ratio (NSFR) yang baru dikeluarkan OJK pada April 2018. Aturan ini intinya mewajibkan bank menyesuaikan jangka waktu kredit dengan sumber dananya sehingga bank dapat meminimalkan risiko likuiditas (funding risk) yang ditimbulkan oleh adanya ketidaksesuaian tenor (maturity mismacth).
Bila kredit tersebut berjangka waktu yang panjang, maka bank harus menggunakan dana yang berjangka panjang pula. Karena sumber dana bank masih dominan berasal dari dana pihak ketiga (DPK) yang berjangka waktu pendek, Sementara penyaluran kredit investasi berjangka waktu panjang, maka bank akan mengurangi porsi kredit investasi agar dapat memenuhi ketentuan NSFR tersebut sebagai salah satu strategi.
Keempat, bank masih berhati-hati dan lebih selektif dalam menyalurkan kredit investasi. Hal ini beralasan mengingat jumlah kredit bermasalah (NPL) kredit investasi yang masih cukup tinggi mencapai 2,99%, walaupun menurun ketimbang periode yang sama di tahun lalu yang mencapai 3,44%. Bank tampaknya masih ingin memperbaiki kualitas aset kredit dan bersih-bersih NPL terlebih dahulu sebelum meningkatkan penyaluran kreditnya.
Selain itu, mulai banyaknya intervensi pemerintah pada sektor swasta sehingga memberikan ketidakpastian dalam berusaha di tanah air dan mengganggu iklim investasi. Sampai-sampai Bank Dunia pun memberikan kritik atas kebijakan intervensi pemerintah tersebut. Salah satu bentuk intervensi anyar adalah adanya keinginan pemerintah yang mewajibkan badan usaha swasta meminta persetujuan dulu pada pemerintah sebelum menaikkan harga BBM non subsidi.
Untuk mengatasi lambatnya pertumbuhan kredit investasi tersebut, tidak ada cara lain selain mengoreksi kembali berbagai kebijakan yang menghambat dan mengganggu iklim investasi. Tidak hanya itu, tentu sebagai pemilik, pemerintah, termasuk pemerintah daerah harus mengandalkan bank miliknya (termasuk BPD) dalam pemberian kredit investasi.
Karena bagaimanapun bank Pemerintah tersebut merupakan salah satu agen pembangunan. Maka itu, perannya amat dinantikan. Lagipula, dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang stagnan, hanya bank milik pemerintah saja yang dapat diandalkan (Brei dan Schclarek, 2013). •
Ardhienus
Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News