kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agenda Pengurangan Bahaya Merokok


Jumat, 28 Mei 2021 / 09:06 WIB
Agenda Pengurangan Bahaya Merokok
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Indonesia terus bergulat dengan epidemi merokok. Saat ini, terdapat 60 juta perokok di Indonesia dan 220.000 kematian yang terkait secara langsung dengan kebiasaan merokok terjadi setiap tahunnya. Angka tersebut kira-kira setara dengan lima kali lipat jumlah kematian terkait pandemi Covid-19. Hal ini tentu menyebabkan beban besar bagi sistem perawatan kesehatan dan ekonomi.

Kalau melihat kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pertanian tembakau dan industri rokok saat ini tampak tidak terkoordinasi. Di satu sisi, rokok ialah salah satu sumber penting pendapatan pemerintah, sehingga hal ini mempersulit upaya pengurangan konsumsi rokok karena dampak ekonomi dan politiknya.

Sejumlah intervensi telah diimplementasikan di berbagai negara untuk mengurangi prevalensi merokok. Intervensi tersebut meliputi peningkatan harga rokok, peringatan kesehatan pada bungkus rokok, larangan merokok di tempat umum, pelarangan iklan dan sponsor acara olahraga serta penetapan usia legal konsumen rokok.

Selain itu, terdapat layanan konseling untuk membantu orang berhenti merokok dan intervensi farmakologi yang sering disebut sebagai terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy atau NRT). Misalnya saja ada koyo nikotin, permen karet, obat semprot hidung, serta obat-obatan oral seperti varenicline.

Namun, intervensi-intervensi tersebut tidak berhasil. Contohnya, di Malaysia, kenaikan harga rokok tidak menurunkan prevalensi merokok, tetapi justru meningkatkan konsumsi rokok ilegal. Di Australia, meski menjadi negara dengan harga rokok tertinggi di dunia dan menerapkan kemasan polos, jumlah perokok tidak menurun secara signifikan dalam satu dekade terakhir.

Juga di Indonesia, kenyataannya adalah banyak dari intervensi yang disebutkan di atas telah terbukti kurang berhasil karena berbagai alasan. Penerapan gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok terbukti tidak efektif karena jumlah perokok stagnan dalam beberapa tahun terakhir, bukannya menurun.

Inovasi pengurang bahaya

Lantas, dalam menghadapi tantangan tersebut, apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi prevalensi merokok di tanah air? Selain sejumlah intervensi yang sudah diterapkan, pada akhirnya kita juga harus mempertimbangkan adopsi dan implementasi inovasi baru dalam pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction atau THR) dalam bentuk produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik (vaping), produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product atau HTP), dan kantong nikotin atau tembakau (nicotine/tobacco pouch). Produk-produk ini harus dianggap sebagai pelengkap dari intervensi dan strategi yang ada seperti NRT, dan bukan sebagai pengganti.

Produk tembakau alternatif telah berada di garis depan gerakan global pengurangan bahaya tembakau (THR) selama hampir dua dekade. Produk tersebut pun telah terbukti secara signifikan lebih tidak berbahaya daripada rokok, efektif dalam membantu orang berhenti merokok, dan menghasilkan penurunan drastis dalam penjualan rokok saat diperkenalkan ke pasar, misalnya di Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Mengapa kita mengalami situasi seperti ini? Secara keseluruhan, ini adalah cerminan dari perbedaan agenda dari berbagai pemangku kepentingan, kurangnya pemahaman tentang sains terkait produk tembakau alternatif, kekuatan ekonomi dan politik yang beradu dengan pertimbangan kesehatan, dan kurangnya koordinasi yang efektif dalam membentuk kebijakan yang diperlukan untuk mendorong THR.

Kementerian Kesehatan, misalnya, mengkhawatirkan efek gateway atau gerbang yang dapat menyebabkan anak muda menjadi perokok, meskipun hal ini terbukti tidak terjadi di negara lain, seperti Inggris. Selain itu, Kementerian Keuangan masih memiliki kekhawatiran yang tercermin dari posisi WHO, bahwa penurunan risiko kesehatan yang signifikan dibandingkan dengan rokok dianggap belum konklusif.

Pentingnya data dan fakta disoroti oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), yang menekankan pada perlunya dilakukan lebih banyak penelitian di Indonesia dari berbagai aspek terkait produk tembakau alternatif sebagai referensi bagi pembuat kebijakan.

Menurut saya ada beberapa yang perlu dilakukan untuk mendorong penerapan THR ini. Pertama, dibutuhkan lebih banyak penelitian lokal yang lebih berkualitas. Kemenristek menyatakan perlu mempertimbangkan melakukan riset untuk mendalami produk tembakau alternatif sebagai prioritas BRIN (Badan Riset & Inovasi Nasional) pada 2021 meski dana yang tersedia terbatas. Kemenristek juga menyarankan agar skema pendanaan penelitian untuk produk tembakau alternatif harus melibatkan lembaga akademik, dan dapat juga mempertimbangkan kontribusi dari perusahaan tembakau dengan pernyataan yang jelas tentang independensi penelitian, serta tanpa konflik kepentingan komersial.

Kedua, koordinasi yang lebih efektif dan dialog terbuka antara pemangku kepentingan. Hal ini diperlukan guna menimbang masalah secara objektif dan menunjukkan jalan menuju rangkaian kebijakan yang berimbang, rasional, dan dapat terlaksana dengan baik.

Terakhir, dukungan dari pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan. Dalam hal mendorong koordinasi dan dialog yang efektif antar kementerian, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dapat berperan penting dalam mendorong dialog antar kementerian. Komitmen untuk tujuan tersebut juga dibutuhkan dari Menteri Koordinator lainnya, seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, atau bahkan Presiden Joko Widodo sendiri.

Komitmen dan kepemimpinan yang solid dari lapisan teratas sangat penting. Ini mengingat adanya kepentingan yang saling bertentangan dari berbagai pemangku kepentingan, serta sulitnya mencapai konsensus atas langkah-langkah yang diperlukan untuk tindakan mitigasi masalah epidemi merokok.

Penulis : Tikki Pangestu

Guru Besar Yong Loo Lin School of Medicine National University of Singapore (NUS)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×