Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Peringatan hari buruh tahun ini dilaksanakan di tengah kondisi dan situasi politik yang belum stabil pasca Pemilihan Umum (Pemilu). Belum selesainya komisi pemilihan umum (KPU) melakukan penghitungan suara, serta pencoblosan ulang yang masih terjadi di beberapa daerah ditambah respon dari masing-masing kubu atas hasil hitung cepat (quick count) membuat suasana kontestasi belum reda.
Jika agenda hari buruh (Mayday) yang jatuh pada 1 Mei nanti diarahkan pada sekedar menyampaikan tuntutan pada isu-isu yang telah usang, maka agenda Mayday justru menjadi kontraproduktif. Mayday tahun ini harus mengarah pada membangun gerakan rekonsiliasi nasional menuju kondisi perekonomian bangsa yang lebih baik melalui pembentukan hubungan industrial yang dapat mewujudkan sinergi antara pengusaha dan pekerja.
Para pemangku kepentingan perlu untuk menata hubungan industrial yang teduh, pengertian hubungan industrial yang teduh adalah merujuk pada adanya agenda yang oleh masing-masing pihak dipandang perlu diwujudkan. Agenda rekonsiliasi bertujuan mewujudkan situasi yang stabil dan harmonis sebagai dasar hubungan industrial yang teduh. Teduh dapat dimaknai adanya pengertian masing-masing pihak (dalam hal ini buruh dan pengusaha) untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak.
Mantan Presiden RI Abdurahman Wahid (1990), menyatakan rekonsiliasi akan terwujud jika masing-masing pihak saling memahami kepentingan dan kondisi pihak lainnya. Untuk itu, agenda politik harus dikesampingkan, karena agenda politik tentu bersifat subjektif, sebaliknya agenda rekonsiliasi bersifat objektif.
Tampaknya meskipun diselingi berbagai tuntutan rutin seperti penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing) hingga penghapusan sistem kerja kontrak, tapi agenda Mayday 2019 akan dititikberatkan pada tuntutan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Munculnya revisi PP 78/2015 akan menjadi isu sentral, mengingat Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal telah bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara dan menyampaikan perihal usulan revisi PP Pengupahan tersebut, bahkan Presiden bersama Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyetujui revisi PP tersebut.
Persoalan PP 78/2015 yang usulan untuk direvisi adalah terkait formula komponen kenaikan upah adalah tingkat inflasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Memang usulan tersebut logis dan kondisi setiap industri berbeda, dalam artian tidak semua industri kondisinya tergambar dan berkorelasi dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga dalam hal ini formulasi kenaikan upah dalam PP 78/2015 menjadi tidak relevan. Sebaliknya banyak juga industri yang kondisinya berkorelasi dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Terkait dengan konteks hubungan industrial dalam usulan revisi PP 78/2015 adalah penetapan kenaikan upah tidak saja ditentukan komponen yang sudah baku, seperti yang saat ini berlaku tetapi ditentukan berdasarkan perundingan dalam dewan pengupahan. Demikian juga dalam usulan revisi disebutkan bahwa serikat pekerja memiliki hak untuk berunding terkait usulan peninjauan kenaikan upah.
Jika ketentuan sebagaimana diusulkan oleh serikat pekerja tersebut pada akhirnya diakomodasi oleh pemerintah, maka revisi atas PP 78/2015 memiliki dua kemungkinan. Pertama, akan membuat hubungan industrial lebih harmonis mengingat penetapan upah berdasarkan perundingan yang disepakati bersama (pengusaha dan serikat pekerja), artinya besaran upah telah mengakomodasi usulan masing-masing pihak.
Sebaliknya, kemungkinan kedua, justru revisi PP 78/2015 akan menimbulkan gejolak dalam hubungan industrial dan pada akhirnya justru akan mengganggu iklim investasi ke depan.
Potensi gejolak pada hubungan industrial bila revisi PP 78/2015 disahkan dengan memberi kewenangan berunding pada penetapan upah dan peninjauan upah, maka jika perundingan tidak mencapai kesepakatan (deadlock) justru akan berpotensi membuat hubungan industrial tidak harmonis, seperti demonstrasi hingga mogok kerja akan potensial terjadi. Jika situasi ini terjadi, maka dunia industri di Indonesia akan sangat rawan terjadi business interruption dan pada akhirnya sangat mengganggu iklim investasi.
Memang di tahun politik, pemerintah cenderung akan mengambil kebijakan yang populis, mengingat aturan hukum setingkat PP hanya merupakan kewenangan Presiden. Perlu dipertimbangkan oleh pemerintah bahwa bila revisi PP 78/2015 memberi hak untuk berunding, maka komponen kenaikan upah yang telah ditetapkan seperti tingkat inflasi maupun pertumbuhan ekonomi maupun komponen lain menjadi tidak berarti tanpa kesepakatan dari serikat pekerja.
Dalam perspektif pengusaha, tentu revisi PP 78/2015 yang memberikan hak berunding pada penetapan dan peninjauan upah akan menyebabkan ketidakpastian baru (uncertainty), mengingat upah buruh sebagai biaya tetap (fix cost) menjadi tidak pasti besarannya setiap tahun. Rick and Michele (2010), menyebutkan jika fix cost dalam sebuah industri mengalami ketidakpastian, maka akan sangat mempengaruhi kelangsungan industri tersebut dan pada akhirnya akan merugikan semua pemangku kepentingan.
Pemerintah harus melihat persoalan ini dengan jernih, perspektif yang harus dipakai oleh pemerintah adalah adanya hubungan yang saling membutuhkan antara industri dan tenaga kerja. Mengacu pada naskah akademis PP pengupahan, semangat aturan pengupahan adalah menciptakan hubungan industrial yang harmonis karena masing-masing pihak tidak saling mengeksploitasi satu sama lain.
Artinya, kini pemerintah harus melihat duduk persoalannya dengan objektif. Jika dalam hal ini yang harus ditinjau adalah komponen kenaikan upahnya, maka solusinya adalah mengkaji apakah tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi harus dilengkapi dengan variabel lainnya. Akan sangat membahayakan jika revisi PP 78/2015 yang memberikan hak berunding pada penetapan dan peninjauan upah membuka kemungkinan open ended atau sebuah masalah yang solusinya bisa bermacam-macam.
Guna menghindari kemungkinan open ended tersebut, maka bila terpaksa memberikan hak berunding dalam penetapan upah dan peninjauan upah, pemerintah harus membatasi ruang perundingan. Misalnya pemerintah telah menetapkan batas bawah dan batas atas berdasarkan variabel yang telah disepakati bersama, sehingga perundingan hanya diantara batas bawah dan batas atas tersebut.
Hal lainnya yang perlu diatur adalah lama perundingan dan dalam hal tidak tercapai kesepakatan, maka besaran akan ditentukan berdasarkan besaran tertentu diantara batas atas dan bawah tersebut. Dalam hal perundingan terkait peninjauan upah pemerintah harus memberi batasan kualifikasi yang jelas dalam revisi PP 78/2015 tersebut.♦
Rio Christiawan
Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News