kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ahmad Redi, Pengamat Hukum SDA: Freeport Menang Banyak


Senin, 13 Agustus 2018 / 17:29 WIB
Ahmad Redi, Pengamat Hukum SDA: Freeport Menang Banyak


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga

Pemerintah dan Freeport-McMoRan baru saja menandatangani head of agreement (HoA) divestasi saham Freeport Indonesia.

Kelak, pemerintah lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) akan mendekap 51,23% saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu, dari semula hanya sebesar 9,36%.

Bisa jadi, impian negara kita dari zaman ke zaman untuk mengambil alih Freeport Indonesia benar-benar akan terwujud. Meski begitu, pro dan kontra tetap muncul atas langkah pemerintah yang sarat berbalut nasionalisme tersebut.

Di mata pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi, divestasi saham Freeport menyimpan banyak borok. Apa saja? Lalu, sebaiknya harus pemerintah melakukan apa?

Pemilik gelar Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini membeberkannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho, Rabu (19/7) lalu. Berikut nukilannya:

KONTAN: Langkah pemerintah mengakuisisi 51% saham Freeport sudah tepat?
AHMAD:
Memang, divestasi saham terhadap perusahaan asing termasuk Freeport, dalam konteks sejarah dan hukum merupakan harapan besar bangsa ini. Makanya, di setiap kontrak karya (KK) dituliskan kewajiban divestasi saham untuk perusahaan asing.

Karena memang, di masa lalu pertambangan sifatnya high cost, high tech, juga high risk. Alhasil, negara tidak mampu mengelola sendiri tanpa kekuatan asing. Tapi dengan catatan, perusahaan asing harus melakukan transformasi kepemilikan saham setelah 10 tahun mereka menambang. Maka itu, skema divestasi saham lahir.

Silakan asing menambang, setelah jangka waktu tertentu secara perlahan-lahan mengalihkan sahamnya. Ini berlaku umum di setiap negara dan untuk seluruh perusahaan asing yang ada di Indonesia.

Freeport sendiri, di Pasal 24 Perjanjian KK tertulis jelas, setelah 10 tahun menambang mereka wajib divestasi saham menjadi 25% milik Indonesia. Sebesar 20%-nya melalui initial public offering (IPO) di bursa efek.

Tapi, jika mereka tidak melakukannya, maka di tahun ke-20 otomatis saham milik Pemerintah Indonesia menjadi 51%. Cuma, tetap lewat mekanisme jual beli saham.

Artinya, sejak perpanjangan pertama di 1991, seharusnya pada 2011 Freeport sudah harus memberikan saham hingga 51% ke Pemerintah Indonesia.

Faktanya, Freeport tidak melakukan itu dan hanya memberikan 9,36% hingga sekarang. Saat itu juga, sebanyak 9,36% saham lainnya dimiliki PT Indocooper namun akhirnya juga dibeli Freeport. Sehingga praktis, sisanya dimiliki oleh Freeport.

Divestasi ditegaskan lagi dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), semua tambang yang dimiliki asing harus segera mulai melepas kepemilikan sahamnya.

Jadi, semangat negara ini untuk mandiri dan mengelola sendiri pertambangannya tentu harus diapresiasi. Masalahnya sekarang, tinggal pada implementasinya.

Hambatannya ada di ketidakpatuhan perusahaan asing dan ketidaktegasan pemerintah untuk memaksa perusahaan menunaikan kewajiban.

KONTAN: Berarti, pengambilalihan saham yang baru di 2018 jadi tidak tepat?
AHMAD:
Itu tadi konteks idealnya. Kalau menikmati saham mayoritas sejak 2011, maka negara kita bisa banyak mendapatkan hasil. Karena secara esensi, divestasi mencakup dua hal.

Pertama, peralihan kontrol yang tadinya dikendalikan asing jadi ke pemerintah.

Kedua, peralihan manfaat. Ini mencakup dividen, bisa menempatkan orang-orang kita di jajaran manajemen, dan memastikan ketaatan membayar pajak.

Tetapi untuk kondisi sekarang, saya melihat, proses pengambilalihan saham Freeport jadi tidak tepat. Alasannya, lebih banyak mudaratnya. KK Freeport berakhir 2021 atau kurang dari tiga tahun lagi.

Kalau kita membeli saham dengan harga US$ 3,85 miliar untuk sesuatu yang sebentar lagi berakhir, saya rasa tidak pas. Lebih banyak biayanya. Berbeda kalau ada opsi lain.

Misalnya, tidak divestasi hingga 51% tapi kita biarkan Freeport menambang sampai 2021. Setelah itu, kita tidak memperpanjang izinnya, maka 100% saham akan jadi milik Indonesia. Sayang, opsi ini tidak pernah muncul selama pemerintah bernegosiasi. Padahal, itu idealnya.

Pastinya, Freeport lebih banyak diuntungkan alias menang banyak malah. Alasannya, jika Inalum jadi menguasai mayoritas, maka kewajiban yang dulu dibebankan ke Freeport turut beralih. Mulai pembangunan smelter hingga dividen negara yang belum dibayarkan.

KONTAN: Memang, kalau dari dulu diambil alih, kita bisa mengelolanya?
AHMAD:
Kita pasti dan harus mampu. Alasannya, kita punya pengalaman di Blok Mahakam. Ada juga Inalum yang kita ambil alih dari Jepang.

Bahkan, pada era Presiden Soekarno dulu, kita juga menasionalisasi perusahaan-perusahaan Jepang dan Belanda. Masih eksis, kok, hingga sekarang. Perkara butuh biaya, ya, sudah pasti. Sudah pasti kita harus membeli aset Freeport. Tapi, itu lebih baik daripada cuma saham 51%.

Apalagi, Freeport mengalihkan participating intereset (PI) mereka ke Rio Tinto. Padahal secara hukum, divestasi hubungan Indonesia dengan Freeport sebagai pemegang izin KK.

Dengan kehadiran pihak ketiga ini, tentu membuat tambah rumit karena pemerintah harus beli dulu ke Rio Tinto dalam rangka mencapai 51% kepemilikan saham. Ini sangat aneh dan Freeport sudah wanprestasi lantaran mengalihkan saham kepada pihak yang tidak ada dalam perjanjian.

Tambah lagi, Freeport berkali-kali tidak mentaati aturan. Contohnya, kewajiban membangun smelter. Faktanya, smelter mereka masih dalam proses pembangunan dan sangat lamban sekali.

Padahal jelas, kalau belum bangun smelter mereka tidak boleh ekspor konsentrat. Kenyataannya, mereka masih bisa ekspor dan pemerintah seolah dipaksa membiarkan. Lagi-lagi, ini bentuk ketidaktaatan mereka atas aturan kita.

Masih ditambah lagi, ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2016 yang menyatakan, ada Rp 185 triliun kerugian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan Freeport selama 2013–2015.

Mereka juga tidak bayar pajak izin pakai peminjaman hutan. Intinya, mereka lebih banyak merugikan kita daripada memberikan manfaat. Menariknya, belum ada sanksi apapun untuk Freeport.

KONTAN: Jadi, kapan waktu tepat untuk divestasi?
AHMAD:
Saya lebih sepakat kalau menunggu hingga perjanjian KK berakhir sambil kita menawarkan opsi lain.

KONTAN: Opsinya?
AHMAD:
Kita jadikan cadangan yang masih sangat besar untuk waktu 20 tahun ke depan di Papua sebagai modal pemerintah. Masih ada miliaran ton di sana. Ini sebagai pengganti 51% saham sehingga tidak perlu mengeluarkan dana lagi. Pemerintah harus punya nyali saja nego sama Freeport.

KONTAN: Memang secara hukum memungkinkan?
AHMAD:
Oh, sangat memungkinkan. Toh, tambang itu, kan, punya negara. Apalagi, pasca 2021 bisa dikatakan tidak bertuan kecuali negara.

Rezim migas juga sudah menerapkan saat pemerintah tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Setelah ada hasil tinggal dibagi 60%–40%, mayoritas untuk pemerintah. Itu menjadi lebih fair.

KONTAN: Tapi, kenapa pemerintah seakan tidak berani dengan Freeport?
AHMAD:
Lebih ke fobia atas potensi masalah geopolitik. Bicara Freeport di Papua, tidak terlepas dari pengaruh kekuatan Amerika Serikat juga Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Padahal, sejatinya, hantu bernama ancaman geopolitik sesuatu yang memang perlu diperhitungkan, namun tidak menjadikan pemerintah tergadai dan terpaksa bertekuk lutut.

Apapun itu, yang jelas, pemerintah sebaiknya percaya diri menghadapi Freeport. Kongkritnya, pertama, pemerintah harus konsisten terhadap pelaksanaan UU Minerba.

Kedua, evaluasi kinerja Freeport, apa layak diperpanjang kontraknya. Intinya, negara tidak boleh kalah dengan perusahaan asing yang tidak taat aturan.

KONTAN: Kebijakan sudah terlanjur diambil, sebaiknya apa yang harus pemerintah lakukan ke depan?
AHMAD:
Saya tetap pada opsi tidak divestasi kalau kondisinya seperti sekarang. Jadi, tidak ada usulan terkait hal itu.

KONTAN: Bicara harga, kemahalan tidak harga saham sebesar US$ 3,5 miliar?
AHMAD:
Jelas kemahalan. Harga itu juga karena faktor Rio Tinto. Menurut saya, yang riil maksimal US$ 2 miliar saja.

Hitungannya, seharusnya dari 9,36% saham Indocopper untuk menjadi sekitar 40%, kan, dikalikan empat maka keluar angka sekitar US$ 1,4 miliar. Lalu ditambah sisa 9,36% milik Indocopper jadi sekitar US$ 1,75 miliar. Itu logika saya sebagai ahli hukum pertambangan.

KONTAN: Setelah melihat lebih banyak kerugian buat negara kita, apakah pengambilalihan saham Freeport ada kaitan untuk kepentingan Pemilihan Presiden 2019?
AHMAD:
Wajar muncul asumsi begitu. Saya sendiri melihat ada kepentingan kebijakan ini dimanfaatkan untuk elektabilitas pemerintahan sekarang.

Dengan berhasil mengambil alih mayoritas saham Freeport, maka seolah-olah menunjukkan nasionalisme pemerintah. Padahal, banyak tersimpan borok, mulai harga kemahalan hingga ada opsi lain yang seharusnya bisa pemerintah coba.

KPK dan BPK harus mengawasi betul prosesnya. Jangan sampai ada kerugian negara di sini.          

Biodata

Riwayat pendidikan:
■     Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
■     Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI)
■     Doktor Ilmu Hukum FH UI

Riwayat pekerjaan:
■     Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
■     Konsultan Ahli Bidang Perizinan Lingkungan Bank Pembangunan Asia (ADB)
■     Tenaga Ahli Direktorat Rumah Umum dan Komersial Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
■     Tenaga Ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam Penyusunan Peraturan Perundangundangan di Bidang Mineral dan Batubara
■     Tim Ahli Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Air Tanah
■     Tenaga Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Undang-Undang
■     Konsultan Ahli Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam rangka Pembuatan Peta Jalan Sumber Daya Alam dan Agraria
■     Kepala Sub Bidang Sumber Daya Alam Deputi Bidang Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara. 

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN  23 Juli-  29Juli 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut:  "Freeport
Menang Banyak"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×