kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Alarm dari data inflasi


Senin, 05 Maret 2018 / 14:06 WIB
Alarm dari data inflasi


| Editor: Tri Adi

Sinyal kelesuan daya beli berbunyi lagi. Muaranya dari data inflasi terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Inflasi setahun terakhir sampai Februari lalu sebesar 3,18%. Ini adalah inflasi tahunan terendah sejak Januari 2017.

BPS juga mencatat inflasi inti bulanan pada Februari 2018 sebesar 0,26%. Lagi-lagi, angka ini merupakan titik nadir minimal dalam lima tahun terakhir.

Data inflasi selalu bermuka ganda. Satu sisi ia memberi justifikasi kemampuan pemerintah mengendalikan harga barang dan jasa.

Tapi jangan lupa, inflasi juga alat ukur daya beli masyarakat, utamanya data inflasi inti. Inflasi inti berkaitan langsung dengan permintaan barang non-energi dan non-pangan.

Oleh karena itu, jika inflasi inti berada pada posisi terendah lima tahun terakhir, itu pertanda kita harus waspada ekstra tinggi. Ada sesuatu yang sedang tidak beres dengan daya beli konsumen. Bahkan, gejala ini juga memicu tanya, apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan ekonomi kita?

Pertengahan Februari 2018, saya berkesempatan mampir ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesimpulan dari hasil ngobrol dengan sejumlah kalangan, urusan pajak, bahan pangan dan tarif listrik terdengar mendominasi keluhan.

Jika dipilah-pilah lagi, pajak menjadi problem kalangan pebisnis dan kelas menengah. Mulyono, pedagang bahan pangan di Palur, Karanganyar, Jawa Tengah, misalnya, harus berutang untuk membayar lonjakan tagihan pajak di program tax amnesty. "Modal jadi terpakai untuk membayar cicilan," kata dia.

Lain lagi perhatian Sukirman, warga Mojosongo, Solo. Ia menyoroti harga beras serta tarif listrik. Buruh pabrik tikar plastik itu pusing karena harga beras tak beranjak turun. Sementara, "Biasanya listrik Rp 80.000 cukup. Sejak diganti pulsa, Rp 120.000 enggak cukup lagi," kata pria yang akrab disapa Kirun itu.

Nah, pemerintah harus menyikapi berbagai persoalan riil masyarakat secara bijaksana. Misalnya, dunia usaha saat ini sedang membutuhkan relaksasi perpajakan dan suasana rileks. Beri kesempatan mengambil nafas sejenak seraya memulihkan stamina. Bukan sebaliknya, menakut-nakuti dengan aturan baru dengan memenuhi dana pembangunan.

Pemerintah juga harus melihat jernih urusan harga pangan. Pasar sudah berkata jujur bahwa harga beras tinggi merupakan bukti minimnya pasokan. Dus, pemenuhan stok pangan saat ini lebih strategis ketimbang terus membual urusan swasembada pangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×