Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Belakangan ini isu keketatan likuiditas kembali mengemuka. Hal ini tak lepas dari data perbankan yang memperlihatkan pertumbuhan kredit secara tahunan sudah lebih tinggi ketimbang dana pihak ketiga (DPK). Mengutip data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), per Mei 2018 kredit telah tumbuh 10,55%, sedangkan DPK hanya 6,47%.
Jika kita mengambil rentang waktu sepanjang tahun 2017 hingga Mei 2018, kondisi kredit yang tumbuh lebih tinggi dari DPK sejatinya mulai terjadi sejak Maret 2018, dengan gap yang semakin melebar, dari 1,11% menjadi 4,08%. Adanya perubahan pola hubungan antara kredit dan DPK, diikuti gap yang cenderung melebar telah menimbulkan anggapan, saat ini perbankan tengah menghadapi keketatan likuiditas. Tetapi, benarkah demikian?
Untuk menilai keketatan likuiditas, indikator yang jamak digunakan banyak kalangan adalah loan to deposit ratio (LDR), yakni perbandingan antara penyaluran kredit dengan perolehan DPK. Semakin tinggi LDR, semakin banyak DPK yang mengalir ke kredit. Imbasnya, likuiditas yang tersedia semakin sedikit. Sebagai gambaran, LDR pada Mei 2018 telah mencapai 92,39%, meningkat ketimbang awal 2017 yang tercatat 90,08%. Dari gambaran ini memang terlihat likuiditas bank mengetat.
Meski begitu, semata-mata menggantungkan pada indikator LDR tentu belum cukup. Pasalnya, dalam menggelontorkan kredit, bank tidak hanya mengandalkan sumber dana yang berasal dari DPK, tetapi juga dari sumber lain (wholesale funding) seperti pinjaman dari bank lain, penerbitan surat-surat berharga seperti obligasi, medium term note dan negotiable certificate deposits, dan pinjaman dari pihak ketiga, termasuk juga utang luar negeri.
Tidak hanya itu, laba yang diperoleh tahun lalu pun (retained earnings) dapat juga disalurkan kembali menjadi kredit. Bahkan, ada bank yang menggunakan dana setoran modal pemegang sahamnya, terutama pada bank yang tidak memiliki akses di pasar modal. Sementara untuk Kantor Cabang Bank Asing seringkali mengandalkan dana pinjaman dari kantor cabang atau pusat luar negerinya.
Kembali dengan LDR perbankan posisi Mei 2018 yang tercatat 92,39%. Angka ini berasal dari jumlah penyaluran kredit sebesar Rp 4.930,48 triliun dan DPK Rp 5.336,58 triliun. Jika sumber pendanaan lain diperhitungkan, maka total sumber dana perbankan mencapai Rp 6.791,55 triliun. Alhasil, hanya 72,60% sumber dana yang mengalir ke kredit. Ini menunjukkan perbankan kita sesungguhnya masih likuid.
Kondisi perbankan yang ekses likuiditas tersebut terkonfirmasi dari penempatan bank di aset likuid yang cukup besar ,seperti penempatan pada Bank Indonesia (BI) sekitar Rp 661,48 triliun dan surat berharga Rp 1.000,33 triliun. Sementara rilis data BI juga menunjukkan hal sama. Jumlah dana perbankan di instrumen operasi moneter BI per 20 Juli 2018 ternyata masih cukup besar, yakni mencapai Rp 291,6 triliun.
Dari sisi individu bank, dengan mengambil contoh Bank Shinhan Indonesia, terlihat, meskipun LDR bank tersebut lebih dari 100%, bahkan 300%, tapi likuiditasnya masih terbilang aman. Mengutip Laporan Keuangan Publikasi Triwulan I 2018, LDR Bank Shinhan Indonesia tercatat 321,37%, terdiri dari kredit Rp 7,25 triliun dan DPK hanya Rp 2,26 triliun.
Setelah menelisik lebih dalam, sumber dana kredit bank tersebut ternyata juga ditopang oleh modal disetor. Termasuk agio Rp 3,97 triliun, pinjaman dari bank lain Rp 2,78 triliun dan laba ditahan Rp 0,31 triliun. Jika dana tersebut diperhitungkan, maka hanya 77,79% dana bank yang ditanamkan di kredit. Alhasil, terdapat likuiditas yang masih cukup besar yakni Rp 2,07 triliun.
Selain mengacu likuiditas yang ada di perbankan, untuk menilai keketatan likuiditas kita perlu juga menimbang kondisi likuiditas di pasar (market liquidity), baik di pasar uang antar bank (PUAB) maupun di pasar aset. Pasalnya, bank yang memerlukan likuiditas dapat meminjam di PUAB atau menjual asetnya yang berupa surat berharga seperti surat berharga negara (SBN).
Upaya mitigasi
Namun normalnya, ketika meminjam di PUAB atau menjual SBN membutuhkan waktu yang cepat dan bunga/harga yang wajar atau tidak terlalu jatuh (low impact to price). Jika tidak, maka dapat dikatakan likuiditas pasar mengetat. Keketatan likuiditas pasar akan memperparah (amplify) keketatan likuiditas bank. Tentu hal ini berisiko, karena permasalahan likuiditas bank yang diikuti mengeringnya likuiditas pasar dapat berbalik kembali ke bank, dan begitu seterusnya (feedback loop). Selanjutnya, terjadilah spiral ke arah risiko likuiditas sistemik yang pada akhirnya dapat berujung pada instabilitas sistem keuangan.
Upaya mencegah keketatan likuiditas yang dapat mengarah pada risiko sistemik likuiditas telah dilakukan otoritas melalui serangkaian regulasi. Misalnya saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selaku otoritas mikroprudensial, telah meminta bank untuk menyiapkan alat likuid berkualitas tinggi yang diperkirakan cukup untuk menutupi kebutuhan kas keluarnya selama 30 hari ke depan selama kondisi krisis (liquidity coverage ratio/LCR). Selain itu, bank wajib pula menyesuaikan tenor kredit dengan sumber dana mereka (net stable funding ratio/NSFR) agar dapat mengurangi paparan bank dari risiko maturity mismatch.
Sementara selaku otoritas makroprudensial, BI juga meluncurkan instrumen kebijakan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), yakni regulasi yang meminta seluruh bank untuk memelihara cadangan (buffer) likuditas minimum. Regulasi ini bersifat time varying dan countercyclical dengan siklus ekonomi, sehingga aktivasi atau deaktivasi instrumen ini dapat disesuaikan dengan kondisi likuiditas perbankan.
Sementara untuk mengurangi tekanan likuiditas pasar, BI mengizinkan bank menggunakan saldo Giro Wajib Minimum (GWM) dahulu sampai maksimal 2%, asal ketika dirata-ratakan selama dua pekan (maintenance period), GWM tetap 6,5% (GWM Averaging). Lalu, jika kondisi likuiditas pasar sudah menunjukkan pengetatan, BI akan selalu terjun ke pasar dengan meluncurkan sederetan instrumen operasi moneter.
Namun, dari seluruh upaya itu, bagaimanapun kunci untuk menghindari keketatan likuiditas tetap di tangan bank, yakni dengan menyeimbangkan ekspansi kredit dengan perolehan sumber dana (financial balances), serta fokus pada dana ritel yang relatif kurang sensitif terhadap perubahan suku bunga.•
Ardhienus
Analis Senior Departemen Surveilans Sistem Keuangan BI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News