Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Tri Adi
Upaya pemerintah mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tahun ini makin berat. Ganjalan datang dari kinerja neraca perdagangan Indonesia yang memburuk. Alih-alih mencetak surplus, defisit neraca perdagangan Indonesia malah kian melebar.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, defisit perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar pada April 2019, rekor terbesar sepanjang sejarah. Defisit membesar seiring merosotnya ekspor nonmigas yang dibarengi impor tinggi.
Defisit neraca perdagangan yang kian besar seperti menjadi lampu kuning bagi perekonomian Indonesia. Ini akan menjadi kendala serius untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di tahun ini.
Apalagi ketidakpastian global kian menjadi setelah hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China memburuk dan saling melontarkan perang tarif dagang lagi. Tekanan jual di pasar saham dunia belakangan ini memberi sinyal kekhawatiran yang besar dari pasar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global gara-gara retaknya hubungan dagang dua raksasa ekonomi itu.
Bagi Indonesia, situasi bisa makin serba sulit dan bikin deg-degan andai Presiden AS Donald Trump melanjutkan rencananya untuk memperluas review kerjasama perdagangan yang dianggap merugikan dan menimbulkan defisit besar bagi Paman Sam. Indonesia masuk dalam daftar karena neraca dagang kita surplus dengan AS. Di tahun lalu, Indonesia mencetak surplus perdagangan senilai US$ 10,7 miliar dengan AS.
Indonesia bisa membukukan surplus dagang dengan AS karena ada andil fasilitas generalised system of preference (GPS) dari AS. Ini merupakan fasilitas yang diberikan bagi negara-negara berkembang untuk masuk ke pasar AS dengan bea masuk rendah atau bahkan tanpa dikenakan bea masuk.
Nah, AS saat ini sedang meninjau fasilitas tersebut. Negeri adidaya itu sudah menyatakan akan menghapus fasilitas GSP bagi India. Dengan Indonesia, masih dalam tahap negosiasi dan belum ada keputusan.
Tentu akan menjadi pukulan berat bagi Indonesia bila fasilitas GSP tersebut dicabut di tengah upaya pemerintah memperkecil defisit neraca perdagangan. Tanpa fasilitas itu, boleh jadi, defisit neraca perdagangan kita bakal kian menganga.
Tekanan berat neraca dagang tentu makin mempersulit upaya mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Ini yang rentan, bukan saja bagi ekonomi, juga bisa jadi sumbu gejolak di pasar keuangan.♦
Khomarul Hidayat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News