kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Ambisi penyederhanaan perizinan usaha


Rabu, 07 November 2018 / 15:29 WIB
Ambisi penyederhanaan perizinan usaha


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Kenaikan peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business (EoDB) Index atau indeks kemudahan berbisnis adalah salah satu target Presiden Joko Widodo. Presiden menargetkan Indonesia di peringkat 40 tahun ini. Tapi peringkat Indonesia tahun ini di posisi 72. Menurut Bank Dunia, peringkat Indonesia tersebut sudah mengalami lonjakan. Tahun lalu, Indonesia di peringkat 91. Tahun 2015 dan 2016 di posisi 144 dan 106.

Meski peringkat kemudahan berusaha naik dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masih dihadapkan pada rendahnya peringkat pada indikator starting a business. Pada tahun 2018, indikator ini berada di posisi 144. Indikator tersebut dalam EoDB dihitung berdasarkan jumlah prosedur, hari dan biaya yang dikeluarkan untuk mendaftarkan usaha. Nah, dalam indikator itu, waktu untuk mendaftarkan usaha di Indonesia sebanyak 23 hari yang mencakup 11 prosedur.

Rendahnya peringkat Indonesia tersebut juga terefleksi dari banyaknya bisnis informal di Indonesia. Diperkirakan sekitar 93% unit usaha di Indonesia masuk kategori unit usaha informal. Menurut Sensus Ekonomi BPS 2016, dari 26,7 juta unit usaha di Indonesia, hanya 1,8 juta unit yang berbentuk badan usaha. Di tahun yang sama, BPS melaporkan bahwa unit usaha di Indonesia didominasi unit usaha mikro dan kecil (UMK) berjumlah 26,2 juta.

Tingginya unit usaha UMK yang masih informal harus menjadi perhatian pemerintah karena sektor UMK berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Pada 2016, sektor UMK dapat menyerap tenaga kerja tiga kali lebih tinggi dibandingkan sektor usaha skala besar. Selain itu, di tahun yang sama, kontribusi sektor UMK terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp 6.947,8 triliun atau 56% dari total PDB Nasional. Melihat data tersebut, maka program untuk memformalkan unit usaha UMK di Indonesia harus jadi agenda utama pemerintah.

Menurut studi yang dilaksanakan oleh Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) di tiga kota, yaitu Jakarta, Bandung, dan Bandar Lampung, terdapat keuntungan yang bisa didapatkan dari unit usaha yang sudah terdaftar atau berbadan hukum. Beberapa di antaranya adalah akses yang lebih besar terhadap pelayanan peningkatan usaha melalui training dan workshop atau juga pengajuan kredit. Unit usaha yang sudah formal juga memiliki peluang yang lebih besar untuk memasarkan produknya ke berbagai market, dan berpeluang lebih besar menarik investor, layak mengikuti tender lelang proyek yang diadakan pemerintah dan dapat melakukan initial public offering (IPO).

Sejatinya, pengesahan online single submission (OSS) pada Juli 2018 menjadi usaha nyata Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan proses registrasi usaha di Indonesia agar unit usaha UMK bisa menjadi formal. Sistem ini menyederhanakan pelayanan pendaftaran usaha dengan cara membentuk sistem yang terintegrasi secara elektronik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sinkronisasi aturan pusat dan daerah

Namun sekalipun OSS adalah kebijakan yang cukup revolusioner dan berpotensi menyederhanakan proses perizinan di Indonesia, implementasi OSS masih terkendala kesiapan infrastruktur dan belum terintegrasi peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Saat OSS diluncurkan, setidaknya masih ada 60 kabupaten/kota yang belum mengaplikasikan OSS karena belum didukung oleh infrastruktur IT yang memadai dan masih harus menggunakan sistem yang lama untuk sementara waktu. Hal ini cukup disayangkan karena reformasi sistem ini sebenarnya direspon dengan baik oleh pemerintah lokal.

Walaupun disambut positif, masih ada pengusaha yang skeptis terhadap penerapan OSS karena dikhawatirkan sistem tersebut akan sama saja seperti sistem yang lama. Masalah yang sering dikeluhkan terkait sistem yang lama antara lain adalah pemeliharaan website yang tidak maksimal, koneksi internet yang tidak memadai dan tidak lengkapnya panduan penggunaan sistem dan untuk pendaftaran.

Para pengusaha juga mengkhawatirkan bahwa penerapan OSS hanya akan direspon baik oleh kalangan pengusaha muda. Penerapan OSS dianggap akan menyulitkan para pengusaha generasi tua yang tidak terbiasa menggunakan komputer dan fasilitas internet.

Penerapan OSS juga masih terkendala oleh proses sinkronisasi peraturan antara pemerintah pusat dan daerah. Sinkronisasi diharapkan bisa membantu penerapan OSS supaya bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. Penerapan regulasi di Indonesia memberlakukan mekanisme desentralisasi, sehingga otoritas OSS yang dipegang pemerintah pusat dapat bertentangan dengan beberapa regulasi perizinan yang dikeluarkan pemerintah daerah.

Contoh regulasi izin mendirikan bangunan (IMB) hanya dikeluarkan pemerintah daerah, tapi di saat yang bersamaan izin tersebut menjadi syarat penerbitan Surat Izin Usaha Perdaganan (SIUP) yang dikelola pemerintah pusat. Ketika pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan izin dalam waktu 30 hari, SIUP yang sudah diterbitkan jadi tidak berlaku.

Pemerintah setempat mengeluhkan hal ini karena penerbitan IMB terkait dengan banyak dinas di tingkat daerah yang bisa membuat proses menjadi lama. Hal ini juga diperburuk dengan belum adanya SOP yang mendukung perubahan ini untuk tingkat daerah. Untuk meningkatkan penerapan OSS menjadi lebih baik, sebaiknya pemerintah pusat perlu terjun langsung mendampingi penyusunan atau penyesuaian sejumlah peraturan daerah agar sinkron dengan OSS.

Seperti diketahui, penerapan sebuah sistem dalam pemerintahan harus selalu memiliki payung hukum. Ketiadaan payung hukum akan menghambat pelaksanaan program pemerintah. Selain itu, pemerintah daerah perlu membuka kerjasama dengan sektor swasta sebagai upaya untuk meningkatkan IT infrastruktur di daerah, seperti akses internet, komputer dan listrik.

Seperti yang kita tahu, banyak daerah yang memiliki financial gap untuk membiayai program yang diadakan oleh pemerintah. Padahal banyak sektor swasta yang memiliki sumber daya/dana yang dapat membantu program-program tersebut.

Terakhir pemerintah perlu bekerjasama dengan asosiasi pengusaha daerah untuk sosialisasi atau diseminasi mengenai penerapan OSS. Kerjasama ini tidak hanya dapat mempererat hubungan antara komunitas usaha dengan pemerintah, namun juga dapat menjadi jalan keluar mensosialisasikan program pemerintah bagi daerah yang sulit terjangkau.•

Imelda Freddy
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×