kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Amerika Serikat memasuki resesi?


Jumat, 05 Juli 2019 / 11:35 WIB
Amerika Serikat memasuki resesi?


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Ekspansi ekonomi Amerika Serikat (AS) telah memasuki 11 tahun tanpa jeda, memecahkan rekor sebagai periode pertumbuhan ekonomi terlama, tanpa resesi dalam sejarah AS. Tapi alih-alih merayakannya, banyak ekonom menyimpulkan bahwa resesi AS akan segera terjadi, dan diperkirakan akan terjadi sebelum pemilihan umum (pemilu) presiden AS 2020. Untungnya bagi ekonomi AS dan sedihnya bagi penentang Presiden Donald Trump bahwa belum ada bukti ilmiah maupun kerangka teori yang mendukung suatu gagasan bahwa ekspansi ekonomi memiliki semacam karakteristik natural batasan waktu.

Sejarah membuktikan bahwa ekspansi ekonomi AS sejak perang dunia kedua mempunyai rentang waktu yang berbeda-beda, dari 12 bulan sampai dengan 120 bulan dengan tanpa tanda-tanda pembalikan. Di samping itu, ekonomi AS pernah mengalami peningkatan yang berkelanjutan selama 18 tahun dari 1982 hingga 2000, yang hanya tereduksi oleh karena meningkatnya harga minyak akibat invasi Irak ke Kuwait.

Selain itu, terdapat bukti yang kuat di negara maju bahwa resesi dapat dihindari lebih dari 10 tahun sebagaimana AS telah alami saat ini. Australia selama 28 tahun tanpa resesi, dan Inggris mengalami ekspansi ekonomi tanpa resesi selama 17 tahun yaitu dari 1992 hingga 2008. Tidak seperti ekonomi AS, baik Australia maupun Inggris lebih rentan terhadap resesi karena ekonomi mereka tergantung pada komoditas, keuangan, dan spekulasi properti.

Pada prinsipnya perekonomian naik turun mengikuti siklusnya. Namun, dalam kondisi normal dari suatu perekonomian yang dikelola dengan baik , sejak penemuan kebijakan demand management pada tahun 1940-an terus mengalami pertumbuhan di sekitar tingkat pertumbuhan normalnya yaitu berkisar 2% untuk perekonomian AS.

Di era setelah perang dunia kedua, resesi pada dasarnya digerakkan oleh tiga faktor. Pertama, kebijakan moneter dan fiskal yang ketat dalam merespon tekanan inflasi. Kedua, semacam krisis keuangan seperti runtuhnya subprime mortgage 2008 di AS dan technology bust tahun 2000. Ketiga, kejutan eksternal seperti peningkatan harga minyak. Sampai dengan salah satu gejala tersebut muncul, baru dapat teryakinkan bahwa ekonomi AS akan resesi. Misalnya, perang Iran dan AS dipastikan akan berujung pada resesi AS bahkan resesi global.

Namun, kenapa banyak ekonom mengkhawatirkan AS akan segera menghadapi resesi? Dapat teryakinkan bahwa pasar keuangan meremehkan gejala risiko melemahnya pertumbuhan ekonomi AS. Alasan utamanya adalah perang dagang antara AS dan China serta sinyal peringatan yang disampaikan oleh pasar uang yaitu inverted yield curve. Risiko yang pertama sudah jelas dan risiko kedua perlu penjelasan lebih mendalam. Inverted yield curve adalah suatu kondisi yang relatif anomali yang terjadi ketika imbal hasil jangka panjang suatu obligasi lebih rendah dari tingkat bunga jangka pendek. Di AS overnight federal funds rate berkisar 2,4%, tetapi imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun di bawah 2%.

Pembalikan kurva tingkat bunga tersebut sering dianggap sebagai sinyal akan terjadinya resesi. Sinyal tersebut sering tiba setahun sebelum resesi benar-benar terjadi. Tetapi, perlu diingat bahwa penentuan harga pasar obligasi telah mengalami perubahan yang dramatis sejak krisis keuangan global.

Imbal hasil obligasi semakin tak terkait dengan kondisi ekonomi, hal ini dikarenakan adanya kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) dan tekanan ketentuan terhadap dana pensiun untuk membeli obligasi tanpa memperhatikan kondisi ekonomi yang sedang terjadi. Tapi, yang utama adalah karena inflasi nampaknya telah mengalami decoupling dari pertumbuhan dan pengangguran.

Bahkan, seandainya decoupling antara inflasi dan pertumbuhan hanya merupakan suatu ilusi, The Fed dan bank sentral lainnya percaya bahwa keterkaitan antara inflasi dan pertumbuhan telah memudar. Ini berarti mereka akan tetap mempertahankan tingkat bunga rendah lebih lama dari siklus ekonomi sebelumnya.

Sepanjang bank sentral berkeyakinan seperti tersebut di atas, maka imbal hasil obligasi akan tetap mencerminkan ekspektasi investor sebagai respons dari bunga kebijakan bank sentral, dan bukan terhadap ekspektasi prospek ekonomi ataupun risiko resesi. Pesan utama dari pasar uang adalah AS tidak sedang menuju resesi tetapi semata-mata The Fed sedang mempersiapkan pemangkasan tingkat bunga kebijakannya. Kalau begitu, maka dapat dipastikan AS tak sedang menuju resesi.

Begitu pula dengan China. Pemerintah China dan bank sentralnya telah merespon perang dagang Trump, walaupun agak terlambat, dengan melakukan pemangkasan tingkat bunga serta menurunkan giro wajib minimum, menurunkan pajak, meningkatkan belanja publik, dan melonggarkan kebijakan kreditnya. Kebijakan stimulus China tersebut seperti kebijakan ekspektasi pelonggaran moneter The Fed akan berdampak pada ketahanan ekonomi riil China yang akan memastikan dampak perang dagang hanya memberikan kerusakan terbatas pada perekonomian kedua negara tersebut. Selain itu, efek positif dari kebijakan ekonominya tersebut baru dirasakan tahun depan. Karena itu tidak benar bahwa tahun 2020 ekonomi AS akan memasuki resesi.

Namun saat ini ancaman resesi ekonomi yang serius berasal dari Eropa, suatu daerah yang telah menerima akibat dari perang dagang antara AS dan China. Ketika International Monetary Fund (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 pada bulan April, yang telah memperhitungkan permasalahan global di akhir 2018, pertumbuhan ekonomi China dan AS pada dasarnya tidak berubah, walaupun terjadi perang dagang (naik 0,1% untuk China, turun 0,2% untuk AS). Tetapi, IMF menurunkan pertumbuhan ekonomi untuk Jerman sebesar 1,1%, 0.9% untuk Italia, dan 0,6% untuk Uni Eropa.

Eropa telah menjadi korban utama perang dagang AS dan China, dengan alasan yang sama mereka menjadi kurban utama dalam krisis keuangan global tahun 2008 yang juga berasal dari AS. Ketika AS dan China melakukan stimulus ekonomi untuk melawan perlambatan perdagangannya, sebagaimana biasanya otoritas Eropa merespon dengan kebijakan yang salah. Yang seharusnya melakukan pelonggaran moneter, fiskal atau kebijakan kredit, Eropa merespon dengan kebijakan pro-cyclical. Komisi Eropa berusaha memaksa Italia mengurangi belanja publiknya dan meningkatkan pajaknya. Menteri Keuangan Jerman meningkatkan surplus APBN-nya sebagai alasan untuk menekan investasi dan menunda pemotongan pajak.♦

Tri Winarno
Pengamat Kebijakan Ekonomi dan Penulis Buku

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×