kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Anakronisme regulasi taksi online


Jumat, 02 Februari 2018 / 17:56 WIB
Anakronisme regulasi taksi online


| Editor: Tri Adi

Implementasi Peraturan Menteri Nomor 108 Tahun 2017 yang juga mengatur taksi online akhirnya ditangguhkan. Meski melalui masa sosialisasi tiga bulan sejak November 2017, ketentuan itu kandas setelah menuai gelombang penolakan dari para pengemudi taksi online. Beleid itu juga dikritik konsumen.

Aturan yang memuat sembilan poin revisi itu tak ubahnya anakronisme yang membelenggu taksi online. Menyulitkan, menghambat serta menyeret mundur buah inovasi dan digitalisasi. Beberapa poin aturan tidak relevan, bahkan bertentangan dengan akal sehat ekonomi digital yang praktis dan berbiaya murah (efisien).

Ada dua catatan krusial yang paling disoroti dalam beleid tersebut. Pertama, mengabaikan nilai tambah taksi online. Ketentuan batas tarif atas dan bawah berkonsekuensi pada kenaikan ongkos taksi online. Konsumen harus menebus dengan harga lebih tinggi untuk produk yang persis sama dan pernah dibeli dengan harga lebih murah. Batas tarif atas bawah tak ubahnya menolak berkah inovasi yang menciptakan ekonomi berbiaya murah.

Lagipula, tarif murah adalah primadona taksi online. Tarif kompetitif  terbentuk secara alamiah melalui mekanisme pasar. Selain reasonable karena didasarkan pada value yang diperoleh konsumen, mekanisme pasar juga mendorong perkembangan daya saing industri. Alasan yang diajukan oleh pemerintah soal penetapan tarif memang sangat mulia. Yaitu untuk menciptakan keadilan, memberi ruang kepada pelaku transportasi konvensional agar tetap bernafas. Layanan transportasi konvensional diharapkan dapat bersaing dari aspek harga.

Namun argumentasi soal keadilan salah alamat. Adil itu bila kedua layanan transportasi setara dalam harga dan kualitas. Nyatanya, penyetaraan harga tidak diikuti dengan perbaikan kualitas layanan angkutan konvensional.

Kendati tarif taksi online naik, itu  tidak menggaransi konsumen beralih ke konvensional. Tarif cuma satu faktor daya tarik taksi online. Masih banyak nilai tambah yang tidak dimiliki transportasi konvensional. Dus, kenaikan tarif malah merugikan konsumen.

Catatan lain yang juga mengebiri nilai tambah taksi online adalah soal stiker, batasan area operasi dan uji kir. Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara bahkan mengaku kebingungan dengan aturan tersebut. Nilai tambah taksi online pada kebebasan ruang operasi dan aksesbilitas yang luas.

Ketentuan uji kir juga dinilai kurang logis. Sebab taksi online juga digunakan sebagai kendaraan sehari-hari pemiliknya sehingga lebih terjamin perawatannya secara berkala. Belum lagi ada batasan usia kendaraan yang ditentukan oleh aplikator, yaitu keluaran 2012 ke atas.

Kedua, melawan misi deregulasi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo untuk menyehatkan iklim ekonomi dan investasi. Hambatan administrasi tertuang pada poin tentang wajib berhimpun minimal lima kendaraan untuk satu badan hukum, kewajiban menggunakan STNK badan dan wacana pakai SIM A Umum.

Ruh dari aturan tersebut sangat adminsitratif, mengabaikan prinsip transparansi yang merupakan karakter lingkungan dimana industri ini berselancar. Juga menegaskan kepraktisan yang merupakan buah dari inovasi. Urusan administratif yang panjang dan njlimet mestinya dipangkas agar ringkas. Bukan malah tambah diperpanjang.

Pokok masalah

Rivalitas layanan taksi online dan angkutan konvensional sebetulnya hanya akibat dari tumpukan masalah layanan angkutan konvensional di tanah air. Rivalitas yang terjadi bukan karena eksistensi taksi online. Ekosistem digital ini malah datang menawarkan solusi. Rivalitas terjadi karena layanan konvensional lamban, atau bahkan tidak berbenah.

Pemerintah mestinya menyelesaikan inti masalah dengan mendorong layanan transportasi  konvensional berinovasi. Mulai dari standardisasi layanan, armada, hingga mengadopsi teknologi

Sudah jadi rahasia umum, angkutan transportasi konvensional dikelola ala kadarnya bahkan terkesan asal-asalan. Pengemudi direkrut tanpa proses yang profesional. Tak ada standardisasi kualitas layanan.

Sudah menjadi rahasia umum bagaimana citra angkutan konvensional yang identik dengan perilaku ugal-ugalan dan tak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Selain mengusik kenyamanan penumpang, juga mengganggu ketertiban di jalan.

Itu baru bicara perilaku pengemudi. Belum dengan kondisi kendaraan angkutan konvensional yang kadang memprihatinkan. Banyak armada angkot atau bus kota yang dipaksakan mengaspal, padahal harusnya dikandangkan sebab sudah uzur. Pengelolaan yang asal-asalan membentuk citra buruk layanan angkutan konvensional. Menjadi wajar bila angkutan itu tak punya selling point. Tak ada alasan bagi konsumen memilih angkutan konvensional seperti angkot ketika dihadapkan dengan layanan taksi atau ojek online dengan ragam nilai tambah.

Masalah tersebut dapat diselesaikan bila aturan tegak. Faktanya, selama ini pemerintah terkesan lembek dalam implementasi berbagai aturan transportasi sehingga mengakibatkan layanan angkutan konvensional berjalan seenaknya. Perilaku pengemudi angkot, kopaja atau metromini yang ugal-ugalan tak disikapi dengan tindakan tegas.

Angkutan konvensional harusnya dievaluasi berkala. Ada sanksi bagi pengelola angkutan bila ada pengemudi atau armada yang melanggar ketentuan. Tapi mana mungkin tindak indisipliner pengemudi di jalan raya diketahui jika tidak ada layanan pengaduan yang disiapkan regulator maupun pengelola, seperti yang kita temukan dalam layanan taksi online? Dari sini tampak angkutan konvensional tidak dipersiapkan memberikan layanan jasa berkualitas. Asal jadi dan bisa jalan saja.

Problem utama layanan transportasi konvensional tersebut bak benang kusut. Pembiaran hanya menimbulkan dampak derivatif. Dan melahirkan masalah baru. Yang paling terasa adalah bencana lalu lintas dan kemacetan. Volume kendaraan di jalanan tak terbendung karena masyarakat banyak memakai kendaraan pribadi.

Bila saja moda transportasi publik memadai, aman, nyaman dan murah, masyarakat kelas menengah pengguna mobil pribadi ini tentu dengan ikhlas memarkir mobil di garasi. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Masyarakat terpaksa membeli mobil demi kenyamanan di jalan. Kendati harus dikredit bertahun-tahun.

Tak ayal, rivalitas layanan transportasi  online dan angkutan konvensional harus dimaknai korektif. Pemerintah dituntut menegakkan aturan agar layanan transportasi konvensional menjadi lebih baik. Termasuk merealisasikan layanan transportasi massal yang memadai.

Sementara itu, pelaku usaha layanan angkutan konvensional dituntut berbenah meningkatkan kualitas dan nilai tambah. Pergeseran lanskap bisnis ke arah teknologi digital harus disikapi dengan inovasi. Bukan dihalang-halangi. Melawan arus ekonomi berbiaya murah adalah tindakan konyol.                                         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×