kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Analisis tentang dana kelurahan


Senin, 12 November 2018 / 12:51 WIB
Analisis tentang dana kelurahan
ILUSTRASI.


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Belum jelas duduk tegak (baca: dasar hukum)-nya, Dana Kelurahan yang belum lama ini disahkan oleh pemerintah pusat, telah menjadi diskursus politik yang cukup peliki. Partai oposisi pemerintah sudah barang tentu menunjukkan sikap kritik keras terhadap pemerintah atas munculnya isu penyaluran anggaran yang hendak mereplikasi Dana Desa tersebut.

Pembaca tentu sudah dapat melihat sendiri betapa sengitnya perdebatan politik tentang rencana kebijakan itu di banyak media. Salah satu petinggi partai oposisi bahkan mengatakan kebijakan tersebut merupakan pembohongan rakyat. Sedangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato politiknya tak segan melontarkan kata "politikus sontoloyo" untuk pengkritik kebijakannya itu.

Terkait Dana Kelurahan ini, dan tanpa memihak kubu politik mana pun, saya mempunyai penilaian sendiri terkait perkara tersebut. Pertama adalah, sejak penyaluran Dana Desa tahun 2015 lalu memang ada keganjilan. Sebagaimana diketahui, pengucuran Dana Desa ialah turunan dari misi Nawacita untuk membangun Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang, tidak semua kota di Indonesia ini terdiri dari kelurahan sebagai satuan pemerintahan terkecil. Dan tidak semua kabupaten terdiri dari desa sebagai unit pemerintahan terkecil.

Kota, yang pada umumnya diidentikkan sebagai wilayah dengan komposisi penduduk lebih padat dan produk domestik regional bruto (PDRB) yang lebih tinggi dari kabupaten, juga memiliki unit satuan pemerintahan yang bernama desa. Sebagai contoh, secara administratif Kota Bogor terdiri dari enam wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima di antaranya termasuk desa tertinggal yaitu Desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi, dan Sindangrasa).

Kelurahan, sebagai unit pemerintahan terkecil, setingkat dengan desa. Bayangkan di sebuah kota, suatu desa yang wilayahnya bersebelahan dengan kelurahan, wajar-wajar saja merasa cemburu melihat begitu banyaknya aliran dana mengucur ke desa sedangkan mereka statusnya sama atau setingkat. Begitu juga sebaliknya, kejadian serupa dapat terjadi di kabupaten di Indonesia yang memiliki kelurahan.

Kedua, munculnya suatu kebijakan penggelontoran dana atau bantuan bagi masyarakat menjelang akhir masa pemerintahan - apalagi sebagai petahana Jokowi juga ikut berkontestasi pada Pilpres 2019 mendatang - tidak dapat dinafikan dibalik munculnya kebijakan itu mempengaruhi elektoral pemilih.

Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu beredar video yang kemudian viral di media sosial soal bagaimana kepentingan elektoral disusupkan dalam pemberian dana bantuan masyarakat. Dalam video tersebut terlihat Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni tengah menyalurkan bantuan pembangunan infrastruktur untuk masyarakat, dan pada saat prosesi penyerahan berkali-kali yang bersangkutan menekankan bahwa bantuan itu dari Jokowi.

Siapapun yang punya pemahaman komunikasi politik dapat memahami bahwa penekanan kalimat itu mengindikasikan supaya yang menerima bantuan tersebut memilih Jokowi di pilpres mendatang. Kampanye dengan memanfaatkan fasilitas negara tersebut bahkan dilakukan dengan santai, tertawa-tawa, tanpa malu sedikitpun. Saat ini Badan Pengawas Pemilu Sumatera Barat tengah mengusut kasus tersebut.

Rawan bancakan

Ketiga, ada yang lebih penting dari tiap kebijakan penyaluran dana, yaitu membangun sistem yang dapat memastikan efektivitasnya. Supaya sejumlah dana yang dikucurkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, bukan menjadi bancakan para elite lokal.

Banyak pelajaran dari pengucuran Dana Desa selama ini. Ada ribuan pejabat di tingkat desa maupun yang berhubungan dengannya ditangkap oleh penegak hukum karena menyelewengkan Dana Desa untuk kepentingan mereka sendiri.

Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap korupsi di tingkat desa menunjukkan, jumlah kasus korupsi selalu melonjak lebih dari dua kali lipat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, kasus korupsi berjumlah 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016. Tahun 2017 melonjak menjadi 96 kasus. Total kasus pada 2015–2017 sudah mencapai 154 kasus (Primayogha, 2018).

Hasilnya dapat kita cermati dari sisi indikator kemiskinan. Rata-rata penurunan kemiskinan per tahun sebelum adanya Dana Desa (2012 sampai 2014) sebesar 1,24%, sedangkan setelah Dana Desa, (periode tahun 2015 sampai 2017) sebesar 0,33%.

Ternyata rata-rata penurunan kemiskinan per tahun setelah Dana Desa dikucurkan malah lebih rendah daripada sebelum Dana Desa dikucurkan. Sehingga dari data tersebut sejatinya dapat disimpulkan penurunan kemiskinan setelah adanya Dana Desa masih belum efektif. Artinya Dana Desa belum mampu mendongkrak daya beli masyarakat secara signifikan (Hendri Achmad Hudori, 2018).

Apakah kita ingin jikalau nantinya Dana Kelurahan dikucurkan dan kemudian bernasib sama dengan kakaknya, yaitu Dana Desa?

Terakhir, dalam Peraturan Pemerintah No 17/2018 tentang Kecamatan, kelurahan pada dasarnya tidak juga dalam kondisi kekeringan dana. Pasal 30 tentang Pendanaan Kelurahan menyebutkan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota untuk pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan.

Untuk daerah kabupaten yang memiliki kelurahan dan kota yang memiliki desa, alokasi anggaran kelurahan sebagaimana dimaksud sebelumnya paling sedikit sebesar Dana Desa terendah yang diterima oleh desa di kabupaten/kota (Lihat Pasal 30 Ayat (8)). Nah, bukankah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 telah diterangkan bahwa ada alokasi Dana Kelurahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bahkan diberi batas paling sedikitnya sebesar Dana Desa terendah.

Duplikasi dana yang akan terjadi dengan pengucuran Dana Kelurahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki potensi bancakan jauh lebih besar dari Dana Desa. Apalagi sistem penyerapan dana dan penindakan atas penyelewengan dana di daerah belum mapan.•

Marlis Kwan
Analis Fair Business for Environment, Alumnus UNSW Sidney

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×