Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Fenomena kelaparan menjadi sebuah ironi. Ketika di negara maju masyarakatnya berkecukupan dan sejahtera, di bagian bumi lainnya justru kekurangan dan mengalami kelaparan akibat konflik dan perang saudara. Data Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) (2017) menyebutkan, sekitar 20 juta orang terancam kelaparan di Yaman, Somalia, Sudan, dan Nigeria.
Komite Nobel Norwegia yang mengganjar World Food Programme (WFP) atau Program Pangan Dunia, hadiah Nobel Perdamaian 2020, menyebut setiap tahun lembaga yang berada di bawah PBB ini memberikan bantuan pangan bagi sekitar 97 juta orang yang mengalami kelaparan di 88 negara. Mereka berupaya memerangi kelaparan di dunia, sekaligus memulihkan kondisi di daerah-daerah yang terdampak konflik demi perdamaian. Melalui pasokan kebutuhan pangan yang diangkut dengan helikopter, gajah, ataupun unta, WFP menjadi organisasi kemanusiaan terkemuka di dunia dan berada di lini terdepan untuk memberi bantuan pangan. Komite Nobel hendak menunjukkan kepada masyarakat internasional lewat penganugerahan penghargaan ini, puluhan juta penduduk dunia masih mengalami kelaparan akibat konflik di sejumlah negara.
Tidak terpungkiri WFP sudah mengambil posisi yang amat strategis di bidang kemanusiaan, yakni memberi bantuan kebutuhan paling mendasar di tengah masyarakat. Tugas mulia ini semakin relevan dengan makin banyaknya penduduk dunia yang terancam kelaparan atau sedang kelaparan akibat konflik dan perang. Perkiraannya dari setiap 11 orang penduduk dunia, satu diantaranya terpaksa tidur dengan kondisi perut kosong tanpa makanan. Setiap tahun, wabah kelaparan merenggut nyawa lebih banyak ketimbang wabah AIDS, malaria, dan tuberkulosis (TBC).
Di sisi lain, ketika puluhan juta penduduk bumi merintih kelaparan akibat konflik, sejumlah korporasi raksasa meraup untung dari perdagangan pangan yang semakin liberal. Sebanyak 95% cadangan pangan dunia dalam bentuk grain dikuasai oleh enam perusahaan agribisnis multinational corporation (MNC) yang membukukan kenaikan laba besar setiap tahun. Lewat dukungan modal kuat dan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas, memungkinkan MNC membuka cabang di berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan pola manajemen kemitraan global mereka makin kuat mencengkeram pasar. Pada gilirannya, fenomena globalisasi di bidang perdagangan produk pangan gampang dilihat di sekitar kita (Sibuea, 2010).
Perkembangan teknologi pertanian yang dikuasai negara maju kerap digunakan untuk mengendalikan pangan di negara berkembang. Pengenalan monokultur secara besar-besaran melalui revolusi hijau dapat menjadi serpihan contoh ketergantungan pada bahan kimia pupuk, benih, dan utang ke negara maju. Demi kepentingan bisnis segelintir konglomerat di bidang bioteknologi, benih hasil rekayasa genetik (GMO) juga dipaksakan ke petani negara-negara berkembang dalam konteks program bantuan pangan.
Benih GMO disalurkan sebagai bantuan bagi petani di negara miskin yang mengalami kekeringan parah. Setelah ditanam dan panen, baru disadari bahwa benih hasil panennya ternyata tidak boleh ditanam lagi, tanpa membayar royalti kepada produsen benih. Bahkan muncul dugaan, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk, insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama. Sementara benih hasil penangkaran petani lokal kerap sulit digunakan karena belum mengantongi sertifikat.
Alasan kemanusiaan
Persekongkolan perekonomian dalam perdagangan bebas telah menjebak negara berkembang masuk dalam perangkap pangan impor di tangan konglomerat agribisnis negara maju. Komunitas lokal di berbagai negara miskin, termasuk Indonesia semakin sering terancam kelaparan dan termarginalisasi sebagai akibat kian buasnya liberalisasi perdagangan pangan.
Hubungan antara konflik bersenjata yang kerap memicu kerawanan pangan dan kelaparan adalah siklus kemiskinan yang pada akhirnya butuh bantuan pangan. Konflik politik dalam negeri misalnya dapat memicu kerusuhan sosial yang merusak sumber-sumber pangan lokal. Fenomena ini patut dicegah karena bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai pintu masuk pangan impor demi alasan kemanusiaan.
Kondisi faktual teramati pada payung kebijakan yang mendukung liberalisasi pangan dalam Rancangan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja rumpun pangan dan pertanian yang membuka lebar peluang impor pangan. Di sana disebut ketersediaan pangan berasal dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dan impor pangan. Implikasinya, impor dijadikan sebagi sumber pangan yang setara dengan sumber pangan lainnya. Jika sebelumnya dalam UU No.1 8/2012 tentang Pangan pasal 1 (7) disebut impor dilakukan apabila kedua sumber utama, yakni hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Kita berangkat dari pemahaman yang sama dengan pemerintah bahwa UU Cipta Kerja dibuat dengan niat dan tujuan baik untuk memperbaiki kesejahteraan guna menepis kemiskinan dan kelaparan di tengah masyarakat. Untuk menyediakan pangan bagi 270 juta jiwa penduduk Indonesia sudah seharusnya secara perlahan dan pasti memutus mata rantai impor pangan. Kita memahami bahwa setiap negara perlu menghormati perjanjian perdagangan global melalui Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Namun, kepentingan dalam negeri tetap harus diutamakan. Petani dan nelayan lokal harus bisa lebih sejahtera dari waktu ke waktu.
Sebagai negara agraris yang dipuja-puji memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan lokal yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia sebelum 2045. Namun ironisnya, impor pangan setiap tahun makin tidak terbendung. Untuk pangan tertentu, seperti susu, bawang putih dan gandum hampir 75% hingga 100% dari kebutuhan dipenuhi dari impor. Komoditas lainnya seperti beras, kedelai, gula dan bahkan garam menjadi penyumbang terbesar pembelian barang konsumsi dari luar negeri setiap tahun.
Program nawacita yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai model pembangunan pertanian dan pangan sudah berusia enam tahun. Pertanyaannya, bagaimana profil kedaulatan pangan saat ini? Pertanyaan sulit ini mengingat kita pada pernyataan Presiden Soekarno di awal 1950-an saat meletakkan batu pertama pembangunan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) bahwa soal pangan tidak bisa dianggap sepele karena menyangkut hajat hidup rakyat, bahkan soal mati-hidupnya bangsa di kemudian hari.
Harapan Bung Karno belum terwujud untuk Indonesia berdaulat pangan. Jika para pejuang kemerdekaan kita berperang mengusir penjajah, kita saat ini berperang melawan anak bangsa sendiri, yakni mereka yang menjadi mafia pangan.
Penulis : Posman Sibuea
Guru Besar Ilmu Pangan Univeristas Katolik Santo Thomas Medan, Sumatera Utara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News