Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Tekanan pertumbuhan lapangan kerja setiap tahun semakin besar. Lambatnya investasi dan kelesuan pertumbuhan ekonomi selalu menjadi isu sentral penyebab permasalahan lapangan pekerjaan di atas. Belum lagi kekhawatiran serbuan tenaga asing yang sempat mengemuka. Lantas konsentrasi tahun politik dan isu yang menyertainya menjadikan ruang pertumbuhan lapangan kerja di dalam negeri seolah menjadi sempit saja.
Tantangan di depan mata tersebut memaksa kita harus segera fokus mencari jalan keluar. Namun tanpa kita sadari ada suatu tantangan lain yang lebih besar terhadap kelangsungan para pekerja kita.
Lihat saja sekeliling kita. Dunia semakin bergerak cepat, dengan segala perubahan dan inovasinya. Apakah itu perkembangan artificial intelligent atau kecerdasaan buatan, otomotasisasi, perkembangan robotik, internet of things (IoT) dan lain sebagainya. Inovasi dan perubahan yang muncul tersebut langsung membuka berbagai peluang baru. Tapi di lain pihak juga sekaligus memiliki potensi besar menggerus tatanan sosial yang sudah ada. Termasuk tatanan ekonomi yang salah satunya adalah lapangan kerja.
Banyak ahli teknologi dan futuris meyakini bahwa sekarang adalah titik puncak dimana kecerdasan buatan, robot dan kecerdasan lainya akan membuat sebagian besar pekerjaan yang saat ini ada menjadi usang.
Kekhawatiran tersingkirnya tenaga manual manusia yang akan digantikan oleh moda mesin bukanlah alasan yang berlebihan. Telah banyak laporan yang menyatakan kemampuan articial intelligent dan otomatisasi menggantikan ketrampilan dan keahlian serta tenaga manusia. Malah kemampuan teknologi tersebut sanggup mengerjakan pekerjaan yang makin kompleks, rumit, cepat, akurat dan masal. Dan imbasnya adalah mengarah pada masa depan tenaga manusia yang makin suram.
McKinsey Global Institute, badan riset konsultan raksasa yang telah menghasilkan analisis ekstensif, sudah memberi peringatan kepada dunia bahwa kemajuan teknologi informasi dan perkembangan pemakaian robotika bisa membahayakan jutaan pekerjaan dalam dekade mendatang.
Bisa saja pendapat tersebut salah. Tetapi konsekuensi berat dan sangat besar bakal kita tanggung jika prediksi tersebut ternyata benar adanya. Jadi perkembangan teknologi tersebut menjadi tantangan tersendiri dan menuntut perhatian ekstra bagi pemerintah dan pembuat kebijakan publik dalam membuat kebijakan yang bisa mengantisipasi hal tersebut untuk beberapa dekade ke depan.
Berkaca dari Jerman
Pada September 2017 lalu, Oxford University melansir laporan penelitian yang memuat daftar panjang dari 700 jenis pekerjaan yang terdampak oleh robotik dan kecerdasan buatan, yang mereka sebut sebagai threat in the hands of the greedy yang dengan bebas bisa diartikan ancaman di tangan yang rakus. Laporan tersebut memuat prosentasi pekerjaan yang terancam tergusur dan bakal usang. Adapun yang mulai 99% paling terancam antara lain profesi data entry, telemarketer , cargo and freight agent sampai dengan less threat sebesar 0,35% . Antara lain recreational therapist, health care, social worker, dan berbagai profesi yang bersentuhan langsung dengan sosial dan kemanusiaan.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan ide-ide besar dan terobosan kebijakan dalam lingkaran kebijakan ekonomi yang mampu memiliki kelebihan dalam hal efektif biaya dan kelayakan dalam politik.
Merespon hal tersebut, ada suatu gagasan menarik untuk mengatasi kondisi tersebut dari Roosevelt Institute, untuk mengulas workforce threat in a greedy hands dalam laporan dengan judul "Don't Fear the Robots."
Ekonom Mark Paul di laporan tersebut menulis bahwa Federal Reserve, politisi dan pembuat kebijakan lainnya harus berkomitmen penuh untuk mengejar "maximum employment" yang ditetapkan dalam undang-undang federal. Bahkan jika itu berarti bersedia untuk mentolerir sedikit lebih banyak risiko inflasi.
Paul juga berpendapat harus ada rombakan hukum radikal terhadap kekayaan intelektual (intellectual property). Yaitu memperpendek jangka waktu patent. Sehingga perusahan yang mengembangkan paten dan merek dagang tidak lagi menikmati waktu yang begitu panjang terhadap inovasi mereka. Sebab seiring waktu diharapkan bisa lebih banyak kemanfaatan teknologi berpihak kepada pekerja atau tenaga kerja dan bukan kepada pemilik modal.
Kemudian work sharing juga ide yang Paul angkat sebagai alternatif solusi mengatasi perkembangan teknologi tersebut. Ia mengambil contoh kasus di negara Jerman. Negeri tersebut bisa menjaga tingkat pengangguran rendah meski terjadi pada saat ekonomi tengah dalam kondisi merosot. Rupanya ada kebijakan yang diterapkan. Yakni jika suatu perusahaan akan melakukan pengurangan pekerja sebesar 20% karena adanya inovasi baru, justru efeknya bakal positif bagi masyarakat.
Ternyata si perusahaan tersebut harus mengurangi sekitar 20 jam kerja para pekerja sebagai langkah melakukan pemutusan kerja 20% terhadap para pekerjanya. Itu jelas merupakan ide cemerlang untuk tetap menjaga tingkat orang yang bekerja di negara tersebut, meski si pekerja harus bersedia sedikit menyesuaikan upah karena pengurangan jam kerja.
Ekonomi modern menuntut penguasaan cepat dalam keterampilan dan teknologi. Paul berpendapat harus ada akses publik yang luas terhadap pelatihan dan pendidikan tinggi untuk membantu pekerja beradaptasi. Ini adalah hal serius yang harus segera dibenahi oleh politisi dan pembuat kebijakan.
Adapun gagasan dan usulan di atas adalah upaya mencegah hilangnya secara permanen permintaan akan pekerja pada berbagai sektor usaha akibat gelombang digital disruption. Sehingga mampu menggeser atau merubah jenis pekerjaan tanpa harus menghilangkannya. Digital evolusi juga bisa tetap berjalan dengan terus berupaya mencari keseimbangan dan memenuhi kebutuhan pekerja. Selanjutnya Paul mengatakan bahwa diperlukan kebijakan yang tepat (proper policies) untuk memastikan bahwa pekerja tidak menanggung beban transisi digital itu.
Melihat pemaparan tersebut, semakin penting bagi kita dan semua orang untuk terus meningkatkan keterampilan. Langkah ini sebagai suatu cara untuk bisa mengikuti perubahan teknologi. Yaitu itu melalui community college, universitas atau pelatihan pelatihan. Itu semua tentunya harus tersedia luas dan terbuka aksesnya pada semua lapisan masyarakat. Dari sinilah diharapkan tantangan tersebut sudah bisa segera ditemukan solusinya.•
Yunarwanto
Praktisi Industri dan Mahasiswa Pascasarjana Perencanaan & Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News