kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Antisipasi dinamika kawasan Arktik


Jumat, 06 April 2018 / 12:50 WIB
Antisipasi dinamika kawasan Arktik


| Editor: Tri Adi

Tiongkok kembali membuat kejutan. Hal ini bukan karena amandemen konstitusi negara itu yang memungkinkan Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup; bukan pula karena isu perang tarif dagang dengan Amerika Serikat (AS); dan bukan juga karena pertemuan Xi Jinping dengan Pemimpin Korea Utara (Korut) baru-baru ini yang membahas isu denuklirisasi di kawasan Semenanjung Korea. Kejutan itu dibuat Tiongkok bukan di kawasan Asia Timur, melainkan di kawasan Arktik yang terbentang di kawasan paling utara bumi.

Belum lama ini, investor Tiongkok bakal terlibat dalam proyek ekspansi tiga bandar udara di Greenland, suatu wilayah otonom Denmark. Perluasan ketiga bandara ini memungkinkan penerbangan langsung Greenland Eropa dan Amerika Utara.

Perusahaan Tiongkok tersebut termasuk dalam daftar sebelas perusahaan atau konsorsium, termasuk dari Denmark, Islandia, Canada, Belanda, dan Kepulauan Faroe yang akan menanamkan modal sebesar 3,6 miliar krone Denmark atau sekitar US$ 595 juta. Tak ayal, rencana keterlibatan itu menimbulkan kekhawatiran Denmark bahwa investasi Tiongkok akan memancing kegusaran AS. Padahal, Denmark dan AS mempunyai perjanjian pertahanan yang memberi Negeri Paman Sam kewenangan tidak terbatas untuk menggunakan pangkalan udara Thule, Greenland.

Mengapa Tiongkok tertarik berinvestasi di Greenland? Jawabnya bisa beragam. Akan tetapi salahsatunya bisa saja karena wilayah Arktik tempat Greenland berada berpotensi berkembang sebagai jalur logistik global.

Beberapa waktu belakangan ini, wilayah Arktik yang merupakan bagian North Sea Route (NSR) atau Jalur Laut Utara menyita perhatian dunia, terutama karena mencairnya es di kawasan itu akibat pemanasan global. Masalah ini meluas dari isu lingkungan hingga isu teritorial, karena akan mengakibatkan naiknya permukaan laut yang berpotensi merubah garis pantai hingga mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Namun, pada konteks ini, ada isu yang lebih krusial, yaitu potensi wilayah Arktik sebagai jalur transportasi logistik. Dalam hal ini, mencairnya es akan memungkinkan kawasan ini dilayari sepanjang tahun, tidak hanya saat musim panas. Mencairnya es telah memungkinkan tanker Rusia beberapa waktu lalu melewati NSR tanpa bantuan pemecah es. Realisasi jalur pelayaran Arktik di belahan bumi utara ini akan berpengaruh pada pelayaran global. Sebagai contoh, jalur pelayaran Arktik akan mengurangi waktu tempuh pelayaran dari via Terusan Suez - Selat Malaka hingga 30 % (Straits Times, 8 September 2017).

Dengan potensi itu, tidak heran jika Tiongkok memutuskan menanamkan modalnya dalam sektor transportasi di Greenland, yang diawali dengan investasi di pembangunan bandara. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin investasi Tiongkok bergerak ke arah transportasi laut, sehingga terpadu dengan transportasi udara di wilayah Arktik.

Greenland sendiri merupakan wilayah strategis di kawasan Arktik dengan luas 2,16 juta kilometer persegi (km ) atau lebih dari dua kali lipat luas Pulau Papua (gabungan wilayah Papua di Indonesia dan negara Papua New Guinea) yang mencapai sekitar 785.000 km, namun hanya berpenduduk 56.000 jiwa. Di luar potensi jalur pelayaran, Arktik menyimpan 13% cadangan minyak dan 30% cadangan gas dunia yang belum diungkap.

Tidak hanya Tiongkok, perkembangan Arktik sudah diantisipasi oleh sejumlah negara, antara lain negara tetangga Singapura. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Singapura adalah negara yang paling menerima manfaat dari pelayaran di Selat Malaka, melebihi dua negara di wilayah itu Malaysia dan Indonesia. Selain itu, meningkatnya permukaan laut akibat mencairnya es di Arktik dapat mempengaruhi luas pulau-pulau buatan maupun reklamasi.

Antisipasi perkembangan

Salah satu peluang komersial yang sedang dipersiapkan oleh Singapura sebagai negara yang berpengalaman dalam sektor maritim adalah pembangunan infrastruktur maritim. Di luar itu, Singapura sejak beberapa tahun sebelumnya menjadi pengamat (observer) pada Arctic Council (Dewan Arktik) yang beranggotakan Canada, Denmark termasuk Kepulauan Faroe dan Greenland Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat. Selain Singapura, negara Asia lainnya yang menjadi pengamat di Arctic Council adalah Jepang dan Korea Selatan.

Di bidang penelitian, National University of Singapore sudah menjalin kerja sama dengan University of Alaska Fairbanks pada penelitian di bidang engineering dan oil spill untuk wilayah dingin (Straits Times, 13 November 2015).

Sebagai negara yang juga memiliki wilayah dan berkepentingan di Selat Malaka, sudah selayaknya Indonesia turut mengantisipasi perkembangan jalur pelayaran Arktik di masa depan. Indonesia sendiri sudah mengembangkan Pelayanan Pemanduan dan Penundaan bagi kapal-kapal asing maupun domestik di Perairan Pandu Luar Biasa di Selat Malaka dan Selat Singapura atau The Voluntary Pilotage Services in The Straits of Malacca and Singapore yang dioperasikan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I). Dengan demikian, potensi berkurangnya frekuensi pelayaran di Selat Malaka di masa depan dengan sendirinya dapat mengurangi pendapatan negara di kemudian hari.

Akan tetapi, berkembangnya jalur pelayaran Arktik di sisi lain sebenarnya merupakan peluang bagi Indonesia mengembangkan transportasi di jalur pelayaran wilayah Indonesia bagian timur. Apalagi, mengingat hingga saat ini ekspor komoditas Indonesia pun masih harus melakukan trans shipment di Selat Malaka yang berada di wilayah Singapura.

Hal ini kurang menguntungkan secara ekonomis bagi ekspor komoditas dari Indonesia bagian timur yang secara geografis harus menempuh waktu tempuh lebih lama untuk menjangkau beberapa negara Eropa, seperti Rusia atau negara-negara Skandinavia via Selat Malaka. Dengan berkembangnya jalur pelayaran Arktik, pelabuhan di Indonesia bagian timur seperti Bitung (Sulawesi Utara) via Asia Timur berpotensi untuk dikembangkan menjadi jalur pelayaran yang lebih ekonomis bagi komoditas Indonesia di masa depan.

Namun, untuk mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, terutama di bagian timur tentu membutuhkan usaha dan persiapan yang sangat serius, terutama dalam hal infrastruktur pelabuhan, shipping, hingga aturan main yang jelas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×