kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,69   4,34   0.47%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Antisipasi gap tenaga kerja


Senin, 12 November 2018 / 14:04 WIB
Antisipasi gap tenaga kerja


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Dalam diskusi yang dilaksanakan Mandiri Institute bulan lalu, terdapat pembahasan menarik terkait kondisi pendidikan dan keahlian tertentu di Indonesia. Awalnya diskusi membahas keahlian yang dibutuhkan pekerja di masa datang dengan mengundang beberapa perwakilan perusahaan unicorn dan start-up lainnya di Indonesia.

Namun diskusi berkembang ke arah kesenjangan apa yang dibutuhkan dunia usaha dan perkembangan di negara lain dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia harus mencoba menghilangkan celah atau setidaknya mengurangi gap itu. Melihat data tenaga kerja, ada tren positif tiga tahun terakhir dengan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menjadi 5,13% di Februari 2018 terendah 20 tahun terakhir. Penurunan itu bisa dipicu membaiknya ekonomi atau penyerapan tenaga kerja. Tapi kita perlu melihat lebih dalam komposisi 133,9 juta angkatan kerja Indonesia. Kita tahu jumlah orang bekerja terdiri dari pekerja penuh dan pekerja tidak penuh. Untuk yang terakhir bisa disebabkan pekerja masih mencari pekerjaan dengan bekerja di bawah 35 jam seminggu (setengah menganggur) atau memang pekerja itu pekerja paruh waktu.

Jumlah orang bekerja didominasi pekerja penuh dan ini terjadi di Indonesia dengan jumlah pekerja penuh setara 63% dari angkatan kerja. Melihat tren dalam tiga tahun terakhir, ada hal yang perlu dicermati. Persentase pekerja penuh menurun, namun pekerja tidak penuh meningkat. Dengan demikian, dapat disimpulkan penurunan angka pengangguran terbuka dipicu meningkatnya pekerja tidak penuh.

Apakah hal itu baik? Jika komposisi pekerja tidak penuh didominasi pekerja paruh waktu tentu hal baik. Tetapi, jika pekerja setengah menganggur lebih banyak, hal itu bisa menjadi warning bagi pemerintah karena mereka dikategorikan sebagai pengangguran terpaksa. Untuk Indonesia, komposisinya jauh lebih besar pekerja paruh waktu. Kehadiran aplikasi transportasi dan start-up dengan model bisnis langsung ke konsumen membuat banyak anak muda bisa bekerja part-time sambil menyelesaikan kuliah. Jumlah pekerja setengah menganggur memang lebih sedikit, tetapi ada tren meningkat belakangan ini. Karakteristik pekerja tadi adalah seseorang yang bekerja paruh waktu namun sebenarnya sedang mencari pekerjaan lebih baik. Mahasiswa yang baru lulus bisa jadi contoh pekerja setengah menganggur.

Kembali di diskusi mengenai gap antara angkatan kerja dan kebutuhan tenaga kerja yang mencerminkan supply dan demand pasar tenaga kerja. Peningkatan pekerja tidak penuh dan pekerja setengah menganggur menjadi indikasi awal angkatan kerja kita kurang sesuai kebutuhan dunia usaha.

Di sektor tertentu terungkap keahlian (skills) pekerja Indonesia tertinggal 10 tahun dari negara lain. Banyak faktor pemicu, di antaranya skills selama belajar di pendidikan tinggi tak cukup atau tak sesuai kebutuhan. Sementara bagi pekerja keterampilan khusus, skills dari sekolah kejuruan tak sesuai perkembangan perusahaan.

Data TPT menurut tingkat pendidikan juga mendukung indikasi itu. Sumbangan terbesar pengangguran berasal dari pekerja dengan pendidikan terakhir SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan pendidikan tinggi (Diploma atau Sarjana). Hal itu menimbulkan pertanyaan di mana seharusnya pekerja dengan tingkat pendidikan tersebut lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibandingkan pekerja lulusan pendidikan SD sampai SMA. Angka TPT dengan tingkat pendidikan SMK mencapai 11% pada Agustus 2018. Jadi, ada pertanyaan besar untuk mengetahui penyebab sulitnya lulusan SMK dan perguruan tinggi mendapat pekerjaan di Indonesia. Adanya mismatch antara supply dan demand tenaga kerja bisa jadi salah satu penyebabnya.

Perkembangan teknologi dan dunia usaha yang sangat cepat perlu diantisipasi oleh kurikulum dan metode pendidikan di Indonesia. Perubahan itu harus dicoba diadopsi dalam kurikulum pengajaran SMK dan pendidikan tinggi. Negara lain seperti Singapura dan Australia mempunyai rumusan ke depan mengenai skills yang dibutuhkan di setiap sektor atau bidang usaha. Rumusan itu meliputi rincian tugas, keahlian umum dan khusus yang dibutuhkan, serta level kompetensi dari setiap jenis pekerjaan. Perumusan hal itu tentu saja dilakukan dengan dukungan akademisi dan dunia usaha. Dengan demikan, pengambil kebijakan tahu arah ke depan kebutuhan tenaga kerja dan dunia pendidikan mengerti skills yang harus diajarkan di sekolah atau pendidikan tinggi.

Aspek itu penting untuk memastikan dunia pendidikan mengajarkan keahlian dan ilmu yang diperlukan dalam bekerja. Informasi di atas memberi kesimpulan awal dalam diskusi bahwa skills pekerja Indonesia tertinggal 10 tahun dari pekerja negara lain. Pemerintah sudah punya strategi dan peta jalan Industri mengantisipasi 4 th Industrial Revolution.

Strategi itu fokus pada pembangunan lima sektor industri manufaktur utama, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia dan elektronik. Tentu aspek tenaga kerja perlu perhatian dengan melihat kebutuhan tenaga kerja. Seperti negara lain, kita perlu merumuskan jenis pekerjaan, tugas, keahlian dan pendidikan, serta level pekerjaan yang dibutuhkan sektor itu.

Kolaborasi antara dunia pendidikan dan dunia usaha penting. Pemerintah bisa memfasilitasi kolaborasi atau forum itu secara reguler. Terbentuknya 30 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang merumuskan karakteristik dan kebutuhan beberapa jenis tenaga kerja di sektor pariwisata bisa menjadi contoh kolaborasi tadi.•

Andre Simangunsong
Senior Research Specialist Mandiri Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×