kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Antisipasi paceklik


Jumat, 03 Agustus 2018 / 10:10 WIB
Antisipasi paceklik


Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Tri Adi

Bukan cuma hawa politik yang kini memanas, cuaca juga kian terik dan kering, seiring musim kemarau yang memasuki puncaknya di bulan ini. Para petani menjerit karena sawah dan lahan tempat mereka bercocok tanam mengering, pecah-pecah. Di Sampang, Cilacap, Jawa Tengah, para petani mencoba bertahan hidup dengan menjual bongkahan-bongkahan tanah sawah yang mengering ke perajin batu bata. Harganya tak seberapa, hanya Rp 100.000 per truk.

Paceklik yang melanda berbagai daerah di Indonesia, termasuk sentra-sentra pertanian, tentu bisa menganggu produksi pangan, khususnya beras. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, seperti dikutip dari Harian Kompas 2 Agustus 2018, memperkirakan, sekitar 100.000 hektare sawah terimbas kekeringan dengan penurunan produksi 40%-60%. Dus, dia khawatir, pemerintah akan kesulitan mencapai target penyerapan beras dalam negeri tahun ini.

Toh, seperti biasa, Kementerian Pertanian (Kemtan) tetap optimistis produksi beras tahun ini mencapai 47,38 juta ton. Ini jauh di atas konsumsi yang tak sampai 34 juta ton.

Meski menyatakan optimistis dan lagi sibuk dengan isu-isu politik, semoga pemerintah tak lupa mengantisipasi kemarau ini. Pemerintah harus memastikan pasokan beras tersedia dalam jumlah cukup, dengan harga stabil. Jangan sampai, seperti yang sudah-sudah, harga beras melambung tinggi duluan, baru belakangan ribut soal impor.

Menjaga agar harga beras tak melambung sangat krusial bagi pemerintahan Jokowi di tengah tekanan kenaikan inflasi sekarang ini. Seperti kita tahu, pelemahan kurs rupiah membuat biaya impor bahan melambung. Alhasil harga jual produk pun mulai naik. Contohnya harga daging ayam dan telur yang tak kunjung turun akibat naiknya harga bahan baku pakan ternak.

Para pengusaha makanan dan minuman pun bersiap menaikkan harga jual produk. Bukan hanya karena naiknya biaya impor bahan baku, tapi juga karena tren kenaikan suku bunga acuan membuat biaya kredit ikut naik pula.

Kesemuanya itu akan mengerek inflasi. Jika ditambah pula dengan kenaikan harga beras, yang merupakan makanan pokok rakyat Indonesia, maka inflasi bisa naik lebih tinggi. Kenaikan harga-harga mendekati Pemilu dan Pilpres akan membuat tensi politik kian cepat mendidih. Semua akan dipolitisasi. Lagi-lagi, kita akan terjebak dalam kegaduhan tak berkesudahan. Buang waktu, buang energi. Bikin lelah.•

Mesti Sinaga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×