kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apa kabar bail in?


Senin, 04 Desember 2017 / 15:37 WIB
Apa kabar bail in?


| Editor: Mesti Sinaga

Akhir Oktober lalu, pemerintah India mengumumkan rencana bail out industri perbankan. India berharap injeksi dana sebesar US$ 32 miliar, atau sekitar Rp 430 triliun itu, bisa membantu industri perbankannya mengatasi masalah kredit macet alias non-performing loan (NPL).

Kendati bank penerima bail out mayoritas berstatus dimiliki negara India, tetap saja langkah itu menuai kritik.  Seperti di negara-negara lain, pemberian dana publik ke industri, khususnya jasa keuangan yang sedikit menyerap tenaga kerja, bukanlah kebijakan yang populis.

Setelah krisis keuangan global di 2008, masyarakat di banyak negara secara tegas menolak bail out. Sejalan dengan kecenderungan itu, pemimpin  G-20 pada 2008 berkomitmen untuk mereformasi pengaturan industri keuangan global.

Satu pilar utama dari reformasi tersebut adalah mengakhiri masalah too big to fail, hingga pemerintah tidak dipaksa lagi untuk memberikan bail out.

Langkah penting untuk menghindar dari bail out adalah mengimplementasi bail in. Ini adalah cara penyelesaian permasalahan perbankan dengan memanfaatkan sumber internal bank, baik dari masing-masing bank, maupun dari industri.

Selain kewajiban penguatan modal, bank juga diharuskan untuk memiliki instrumen utang yang dapat dikonversi menjadi modal (convertible bond).
Sumber kedua bail in adalah dana dari industri perbankan.

Bank diwajibkan membayar premi yang akan dikumpulkan dan dikelola untuk digunakan membantu resolusi bank-bank yang mengalami permasalahan solvabilitas.

Di Eropa, pengenaan premi secara ex-ante di mana bank telah mulai membayar premi untuk mempersiapkan resolusi perbankan pada saat krisis keuangan di masa depan.

Sedang di Amerika Serikat (AS), pengenaan premi dilakukan secara ex-post di mana pemerintah melalui Ordinary Liquidation Fund (OLA) memberikan pinjaman untuk meresolusi bank.

Selanjutnya, industri perbankan harus mengembalikan pinjaman tersebut setelah kondisi sektor keuangan kembali normal.

Siklus pendek

Bagaimana dengan dana bail in di Indonesia? Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) ternyata telah mengadopsi best practice di dunia.

UU PPKSK mengatur prinsip-prinsip untuk mewajibkan bank memiliki instrumen sebagai sumber bail in serta mengamanatkan pembentukan Program Resolusi Perbankan (PRP) sebagai sumber bail in dari industri perbankan.

Sesuai UU PPKSK yang mengamanatkan semua peraturan turunannya disusun selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU itu disahkan, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) tentang Recovery Plan Bank Sistemik.

Salah satu isi pentingnya adalah mewajibkan bank utama menerbitkan convertible bonds sebagai sumber bail in internal bank mulai tahun 2018.

Berbeda dengan ketentuan di AS maupun Uni Eropa, POJK tidak menetapkan batas minimal penerbitan convertible bond. Target penerbitan ditetapkan masing-masing bank dengan persetujuan OJK.

UU PPKSK juga mengamanatkan pembentukan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) untuk menangani permasalahan solvensi bank utama. PRP akan dijalankan LPS dengan memungut premi penjaminan tambahan. Sayang, sampai kini Peraturan Pemerintah tentang premi PRP (PP PRP) belum terbit.

Ada indikasi pemerintah gamang memungut premi tambahan di tengah masih moderatnya kinerja intermediasi perbankan. Tambahan premi dikhawatirkan makin menekan kemampuan perbankan menyalurkan kredit yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional saat ini.

Perkembangan terkini menunjukkan krisis keuangan akhir-akhir ini terjadi dalam siklus yang semakin pendek. Housing bubble Jepang di akhir 80-an, krisis keuangan Asia 1997, dan krisis keuangan global 2008 berjarak sekitar 10 tahunan.

Mendekati siklus 10 tahunan, penyiapan infrastruktur bail in sudah mendesak. Jangan lagi pemerintah dipaksa memberi bail out, yang ujung-ujungnya ditanggung rakyat.

Pengembangan produk
Untuk melengkapi infrastruktur bail in yang sudah dimiliki, pertama sekali PP PRP yang telah melewati batas penyusunannya harus segera diterbitkan. Pro dan kontra dalam pengambilan kebijakan adalah hal yang biasa.

Asalkan didukung dengan kajian dan alasan yang kuat, pemerintah tidak perlu ragu untuk memutuskan suatu kebijakan, termasuk premi PRP.

Kedua, untuk menjaga  keseimbangan antara keinginan untuk menghindari bail out dengan keinginan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi, premi PRP harusnya tidak terlalu tinggi, namun masih mampu mendukung pembentukan PRP yang kredibel.

UU PPKSK mengamanatkan premi PRP mulai dibayar perbankan sebelum krisis atau ex-ante, bukan ex-post. Namun, PRP masih dapat menggunakan kombinasi skema ex-ante dan ex-post.

Target dana PRP tidak perlu mengikuti kebutuhan ideal seperti rekomendasi IMF sebesar 2%–4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), hingga premi bisa ditetapkan rendah.

Jika terjadi kekurangan dana PRP untuk merestrukturisasi perbankan saat terjadi krisis, pemerintah atau Bank Indonesia dapat memberikan pinjaman kepada PRP. Setelah stabilitas sistem keuangan kembali normal, tarif premi PRP dapat dinaikkan untuk membayar kembali pinjaman tersebut.

Terakhir, perbankan Indonesia masih relatif kecil dibandingkan negara peer di ASEAN. Rasio aset perbankan terhadap GDP hanya sebesar 55% (Malaysia 195%, Singapura 279%, Thailand 123%, dan Filipina 94%).

Saat ini, pasiva neraca perbankan didominasi simpanan. Dominasi simpanan ini juga menyulitkan penerapan bail in karena mengonversi simpanan menjadi modal tentu tidak mudah dan tidak populer.

Rendahnya size perbankan menunjukkan masih ada ruang yang luas bagi bank untuk tumbuh. Salah satu caranya adalah mendorong pengembangan produk selain simpanan.

Selain menyediakan instrumen bail in, pengembangan produk non-simpanan juga memunculkan sumber pendanaan lebih bagi perbankan untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sudah saatnya perbankan nasional meninggalkan comfort zone-nya dan mengucapkan sayonara pada praktik traditional banking.   

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 20 November-26 Novembewr 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Apa Kabar Bail In?"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×