kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,23   10,46   1.16%
  • EMAS1.325.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apakah betul APBN 2018 tidak berubah?


Jumat, 27 Juli 2018 / 15:08 WIB
Apakah betul APBN 2018 tidak berubah?


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tidak akan mengajukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan pada tahun ini, meskipun beberapa asumsi makro masih jauh dari target. Sri Mulyani beralasan, postur keseluruhan APBN 2018 masih bisa dipertahankan dengan baik. Artinya seluruh kebutuhan belanja yang sudah direncanakan di tahun 2018 dapat tetap berjalan.

Pemerintah masih sanggup untuk mengakomodasi beberapa tambahan belanja, seperti Asian Games dan kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Sementara, dari sisi penerimaan negara, hingga akhir tahun 2018 dianggap masih bisa mencapai target dengan kombinasi antara pajak dan non pajak. Target bisa tercapai meski ada tekanan dan risiko harga minyak, kurs, dan suku bunga.

Dengan penerimaan dan belanja negara tetap sesuai, maka pemerintah memutuskan pengajuan APBN yang tak berubah telah mencerminkan kebutuhan penyelenggaraan perekonomian negara tahun 2018. Penerimaan perpajakan yang didalamnya termasuk penerimaan pajak dan bea cukai tumbuh 14,3% pada semester I-2018. Pendapatan tersebut dinilai lebih baik dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 9,3%.

Namun keputusan pemerintah untuk tidak mengubah APBN tahun ini sungguh berisiko. Ketika sejumlah asumsi makro seperti nilai kurs rupiah terhadap dollar AS dan harga minyak mentah Indonesia berubah, mau tak mau sejumlah pos belanja pasti membengkak. Ujung-ujungnya, kredibilitas anggaran negara bisa diragukan pasar.

Sri Mulyani dan Presiden Joko Widodo berkali-kali menegaskan keputusan tidak mengajukan APBN Perubahan justru berangkat dari keyakinan anggaran negara terkendali. Realisasi APBN sepanjang semester pertama tahun ini dilaporkan positif. Bahkan penerimaan negara lebih baik daripada target semula.

Masalahnya, pemerintah seolah-olah menutup mata terhadap kenyataan. Dengan berubahnya nilai kurs rupiah terhadap dolar, mustahil proyeksi belanja dalam rancangan anggaran negara tidak berubah. Beban pembayaran utang pemerintah tahun ini, pasti terkena dampak rupiah. Hal semacam itu bukanlah jenis belanja dalam jumlah kecil. Nilai utang jatuh tempo pemerintah tahun ini saja mencapai Rp 384 triliun.

Keputusan pemerintah tidak mengubah asumsi nilai kurs rupiah bisa menyebabkan penggelembungan belanja untuk pelunasan utang pemerintah antara Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun. Pasalnya, dalam APBN tahun ini, kurs rupiah diasumsikan sebesar 13.400 per dollar AS. Padahal kurs rata-rata semester satu sudah mendekati Rp 13.800 per dollar AS.

Demikian juga dengan pos belanja subsidi energi. Jika anggaran negara tidak diubah, kenaikan harga minyak dunia saat ini akan membuat beban Pertamina kian berat. Perusahaan milik negara itu wajib menjual bahan bakar minyak bersubsidi. Tanpa perubahan APBN, Pertamina harus menanggung kekurangan nilai subsidi sampai Rp 10 triliun.

APBN sebelumnya

Kebijakan Presiden Joko Widodo tidak mengajukan perubahan APBN memang bisa dilihat sebagai keberhasilan perencanaan pemerintah. Dengan tidak mengubah anggaran, pemerintah bisa mengklaim semua target penerimaan dan belanja tak melenceng dari prediksi.

Kenyataannya tentu tak seindah itu. Dari sisi lain, mengorbankan kredibilitas anggaran, demi membangun persepsi bahwa proyeksi pemerintah akurat dan semua target terpenuhi, adalah bagian dari langkah kebijakan yang kurang hati-hati. Apalagi Pasal 27 Undang-Undang Keuangan Negara mengatur bahwa penyesuaian APBN harus dilakukan jika asumsi makro meleset.

Apalagi mengubah APBN ketika asumsi makro berubah sebenarnya punya makna lebih dalam, terkait dengan politik anggaran. Pembahasan perubahan anggaran di parlemen merupakan mekanisme demokrasi untuk pengawasan. Tidak mengajukan APBN perubahan ketika pos belanja pemerintah jelas-jelas tak sesuai dengan rencana sama saja dengan menghilangkan hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk terlibat dalam proses penganggaran, apalagi mengoreksinya atau menyesuaikan dengan konteks yang ada.

Misalnya dalam penetapan asumsi makro, pemerintah bisa berkaca dari realisasi APBN 2018 yang jauh meleset dari target yang ditetapkan. Realisasi pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,04% pada kuartal I 2018, jauh di bawah target 5,4%, adalah salah satu bukti bahwa ada yang salah dengan penetapan asumsi awal. Selain itu, pergerakan nilai tukar yang mengalami volatilitas cukup tinggi di awal 2018 telah menyebabkan rata-rata kurs rupiah hingga 31 Mei 2018 berada di kisaran Rp 13.714 per dolar AS dibandingkan asumsi dalam APBN 2018 sebesar Rp 13.400 per dolar AS.

Begitu juga dengan asumsi inflasi, tingkat bunga SPN 3 bulan, harga minyak, dan lifting migas meleset dari target. Realisasi inflasi hingga akhir Mei 2018 mencapai 1,67% year to date (ytd) dan 3,23% year on year, sedangkan dalam APBN 2018 menargetkan 3,5%.

Rata-rata harga minyak mentah Indonesia atau ICP tercatat sebesar US$ 65,8 per barel, lebih tinggi dari asumsi APBN 2018 sebesar US$ 48 per barel. Sementara itu, lifting minyak pada periode Januari-April 2018 rata-rata berkisar 742.000 barel per hari dan lifting gas rata-rata 1,138 juta barel setara minyak per hari. Sedangkan dalam APBN 2018 lifting minyak sebesar 800.000 barel per hari dan lifting gas 1,2 juta barel setara minyak per hari.

Lifting minyak dan gas yang berada di bawah asumsi tersebut menjadi salah satu penyebab defisit neraca perdagangan di sektor migas. Kemudian, pada Mei 2018, defisit perdagangan Indonesia mencapai US$ 1,52 miliar yang dipicu oleh defisit pada sektor migas senilai US$ 1,24 miliar dan non-migas US$ 0,28 miliar. Tingginya defisit sektor migas tersebut memperburuk defisit neraca perdagangan Indonesia selama periode Januari-Mei 2018 yang telah mencapai US$ 2,83 miliar. Padahal pada periode sama tahun lalu neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus US$ 5,99 miliar.

Berkaca pada APBN 2018 yang ditetapkan pada akhir tahun lalu adalah hal penting bagi pemerintah hari ini jika pemerintah berharap hasilnya jauh lebih baik dibanding tahun ini. Karena jika asumsi ambisius tetap dipertahankan, sementara masyarakat dan pasar sangat yakin bahwa pemerintah tak mampu mencapainya, maka kepercayaan pasar (konsumen) akan semakin sulit diperbaiki.

Dengan kata lain, pasar akan kian sulit mendukung keinginan pemerintah dalam memperkuat mata uang rupiah, misalnya, atau dalam mengejar target investasi yang besar untuk menopang ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, kehadiran rencana APBN yang tak berubah membuat pemerintah kurang realistis dan terukur dalam menilai situasi ekonomi nasional yang ada. Bahkan pemerintah bisa dianggap gagal menjadi pengimbang antara ekspektasi yang berlebihan dengan kondisi faktual yang ada.•

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAc)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×