kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,34   4,01   0.44%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apakah kita membangun istana pasir?


Senin, 01 Oktober 2018 / 11:07 WIB
Apakah kita membangun istana pasir?


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Tidak ada bangsa di dunia yang menyangka Indonesia akan terkena krisis ekonomi pada tahun 1998. Apalagi, dengan dirilisnya laporan Bank Dunia yang menobatkan Indonesia sebagai salah satu keajaiban di Asia Timur. Namun, sejarah berkata lain. Pembangunan ekonomi yang mengorbankan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum di republik ini ternyata tidak bertahan lama tatkala badai krisis menerpa.

Sebagai bangsa, kita menyadari hal itu dan mencoba mengganti haluan. Reformasi dilakukan, tapi hingga kini belum menghasilkan buah yang manis. Demokrasi masih dimaknai secara prosedural saja dan hanya menghasilkan birokrat korup. Kita miskin negarawan, apalagi tokoh sekelas begawan.

Dalam kondisi ini, perhelatan Pemilihan Presiden pada tahun 2019 sudah semakin panas pasca pengambilan nomor urut pasangan presiden dan wakil presiden. Sekalipun seharusnya ini hanya hal yang sederhana, entah mengapa, bagi bangsa kita sekadar pengambilan nomor urut saja bisa menjadi suatu persoalan yang serius.

Pengambilan nomor urut dikemas dengan berbagai mitos dan isu klenik seputar nomor mana yang paling beruntung. Bahkan, bahan-bahan kampanye yang menggunakan sentimen agama yang dulu digunakan untuk menjustifikasi entah nomor genap maupun ganjil, sekarang seolah berbalik tatkala nomor yang dijustifikasi dengan segala dalil itu tidak berpihak pada pasangan yang diinginkan.

Praktik saling puji sekaligus saling sindir juga terjadi. Memang, saling sindir dalam perpolitikan bangsa sudah menjadi hal biasa. Dahulu misalnya, dalam rangkaian tulisan yang runtut dan penuh argumentasi yang berat, Bung Hatta menyindir Bung Karno layaknya Mephistopheles. Namun sekarang, sindir menyindir antar elite sudah mencapai taraf yang sangat memprihatinkan, sampai harus menggunakan lagu anak-anak.

Di tengah ragam keganjilan itu, golongan yang mendamba praktik politik yang bernas dan berkelas hanya sekadar di tepi menjadi minoritas. Padahal, kunci perbaikan bangsa diawali dari politik yang waras sebagai mata air dari produk hukum yang rasional dan penegakan hukum.

Hukum sebagai tujuan

Miro Cerar (2009), dalam The Relationship Between Law and Politics , mengemukakan, fungsi hukum di dalam politik dapat dilihat entah sebagai tujuan (goals), cara (means), atau hambatan (obstacles). Apabila hukum sebagai tujuan, maka politik dapat menentukan nilai-nilai hukum utama sebagai tujuannya. Maka ada kesesuaian antara legal value dan political value, sehingga pembangunan politik adalah sama dengan pembangunan hukum. Dalam pengertian ini, hukum sebagai tujuan mungkin terdengar asing di telinga kita dan sulit dimengerti karena belum ada contoh nyata sebelumnya.

Kita lebih familiar dengan hukum sebagai cara atau sarana dalam memenuhi kepentingan politik tertentu, atau bahkan hukum dipandang sebagai hambatan dalam perjalanan merealisasikan tujuan politik tertentu. Baik hukum sebagai cara ataupun hambatan, sudah khatam dalam benak kita. Hanya hukum sebagai tujuanlah yang masih asing bagi kita, bahkan hingga saat ini.

Menariknya, Cerar mengemukakan bahwa hanya ada dua pilihan, apakah politik yang menang atas hukum atau sebaliknya. Pilihannya adalah apakah solusi politik dengan mengorbankan supremasi hukum, atau otonomi hukum dipertahankan melalui putusan pengadilan atau melalui tindakan para penegak hukum, intelektual, organisasi, ataupun publik demi menghentikan perbuatan terlarang para aktor politik.

Dan lagi-lagi, dari gejala-gejala yang dipaparkan Cerar, kita dapat dengan mudah mengambil kesimpulan, selama ini praktik mengorbankan supremasi hukum adalah hal yang biasa. Di tangan pemangku otoritas, keputusan yang salah bisa menjadi hukum baru.

Semua elite politik meneriakkan supremasi hukum hingga tiba saatnya merekalah yang harus menerima konsekuensi dari hukum yang dilanggar itu. Jika hukum hanya ingin ditaati sebatas apabila ia melindungi kita dan menyengsarakan orang yang tidak kita sukai, maka hukum telah kehilangan maknanya. Namun, agaknya kita lebih memilih hukum yang telah kehilangan makna daripada sama sekali tidak memiliki hukum.

Selama ini, pembangunan ekonomi dan stabilitas politik mendapatkan perhatian utama. Padahal, ketimpangan hukum dan ketidakadilan adalah akar dari persoalan-persoalan yang kita hadapi. Hal ini mewujud dalam bentuk persekusi dan tak terpenuhinya hak-hak minoritas yang kurang mendapat perhatian. Sebab minoritas tidak memberikan sumbangan elektoral yang memadai bagi pasangan yang mengangkat isu tersebut sebagai agenda utamanya.

Kita lebih condong pada politik perut, meributkan apa yang secara cuma-cuma bisa kita dapatkan dari negara. Maka tak heran, mendambakan birokrasi yang kecil, lincah, dan sigap sama mustahilnya dengan pungguk merindu bulan. Sebab, memotong jumlah birokrat tidak akan populer di tengah bangsa yang sebagian besar masyarakatnya masih bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil.

Begitu pula halnya dengan mendamba pajak yang kecil dan ringan, tak akan terwujud dengan segudang janji program-program gratis yang akan ditanggung oleh negara. Padahal, muara dari segenap janji politik itu adalah soal anggaran, dan nantinya jalan pintas yang diambil adalah meningkatkan pajak atau utang. Tapi, soalan terakhir inilah yang lebih menarik perhatian, karena kini rakyat mulai sama pragmatisnya dengan elite dalam menyoal siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana.

Dalam konteks inilah, maka pemilihan presiden tahun depan atau di tahun-tahun yang akan datang akan kehilangan maknanya apabila pembangunan ekonomi ataupun politik masih menjadi fokus utama dengan mengorbankan hukum dan keadilan. Selama pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya melihat hukum sebagai cara atau hambatan, dan gagal melihatnya sebagai tujuan, maka selama itu pula bangsa ini tidak akan pernah keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya.

Jika bangsa ini ingin berubah, kita harus mengganti tabiat buruk yang sudah berurat-berakar hingga saat ini, yang hanya fokus pada soal-soal pragmatis, di mana sekadar hidup nyaman dan mengisi perut menjadi kunci.

Bertumpu pada pembangunan ekonomi semata sudah terbukti bagai membangun istana pasir, yang memang indah namun rapuh. Masihkah kita ingin membangun istana pasir itu sebagai solusi?

Michael Herdi Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi, Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×