Reporter: Azis Husaini, Nina Dwiantika | Editor: Mesti Sinaga
KONTAN.CO.ID - Target lifting minyak Indonesia tahun ini bakal meleset dari target 800.000 barel per hari. Paling banter, lifting emas hitam kita di 2018 hanya 770.000 barel. Itu berarti, negara kita masih harus mengimpor minyak dan BBM.
Indonesia mesti impor BBM lantaran kapasitas kilang di tanah air terbatas. Lalu, bagaimana cara pemerintah meningkatkan produksi minyak termasuk gas bumi? Apakah pemerintah juga akan mendorong pembangunan kilang?
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan kepada wartawan Tabloid KONTAN Nina Dwiantika dan Azis Husaini.
Berikut nukilannya:
KONTAN: Lifting migas belum mencapai target, apa saja usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi?
ARCANDRA: Usaha-usaha kami untuk meningkatkan produksi migas mulai dari kebijakan hulu sampai hilir.
Pertama, jangka pendek melalui improved oil recovery (IOR) dengan teknologi apapun yang bisa meningkatkan produksi migas dalam waktu singkat.
Kami berikan kesempatan dan kemudahan kepada siapapun, tidak ada yang tertutup. Terlihat, sudah ada yang mengerjakan dari beberapa perusahaan minyak atau service company. Komitmen kontrak mereka sudah berjalan dan ada yang berhasil.
Kedua, jangka menengah melalui enhanced oil recovery (EOR). Proses ini sedang berlangsung. Dan ketiga, jangka panjang melalui eksplorasi. Untuk eksplorasi, proses ini butuh waktu yang panjang sekitar 6 sampai 10 tahun.
Tapi, kami tidak bisa bergantung terlalu besar pada eksplorasi. Soalnya, dalam jangka waktu 6 sampai 10 tahun yang berhasil hanya sekitar 20%.
Selama lima kali melakukan eksplorasi, cuma 1 kali yang berhasil. Ini belum selesai, dari 20% berapa akan keluar minyak? Mungkin baru akan keluar 10 atau bahkan 15 tahun lagi.
Jadi, kalau kami perbaiki iklim investasi hulu migas lewat eksplorasi, maka ada secercah harapan yakni 15 tahun hingga 20 tahun ke depan kita mendapatkan hasilnya.
Tapi ingat, itu hanya sebuah harapan, tidak ada jaminan, karena rasio keberhasilannya hanya 20%. Dan, itu merupakan realita bisnis di minyak dan gas. Kalau sekarang terjadi penurunan, artinya ada usaha-usaha tertentu yang mungkin belum maksimal di tahun-tahun sebelumnya.
KONTAN: Untuk dorong investasi, pemerintah berencana membuka data eksplorasi migas nasional. Kapan?
ARCANDRA: Selama ini, ketika ingin ikut berpartisipasi pada blok migas, orang akan terkena biaya ketika ingin melihat data geologi. Padahal, belum tentu orang itu tertarik untuk membeli lapangan tersebut.
Nah ke depan, kami memberikan usulan, agar orang tidak perlu membayar ketika ingin melihat data-data. Dengan aturan yang akan datang, data ini boleh digunakan bagi yang berminat pada sebuah blok tanpa dipungut biaya.
Nanti, ketika orang tersebut sudah tertarik untuk membeli blok tersebut, baru kemudian dia akan membayar.
Kemudian, kalau kita menginginkan data seismik dengan hanya mengandalkan dana APBN, itu tidak cukup. Sebab, dana APBN hanya Rp 60 miliar–Rp 70 miliar.
Lalu, bagaimana cara bisa mengeksplor daerah ini? Kelak, kami ingin ada multi client yakni perusahaan bisa melakukan survei dengan izin kepada Kementerian ESDM.
Kami akan memberikan izin untuk bisa melakukan survei pada sebuah blok. Selama ini, perusahaan boleh melakukan survei tapi harus bayar.
Pertanyaannya: kita ingin mendapatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari data, atau mengeksplor daerah-daerah yang tidak tereksplor sehingga memperoleh minyak, atau hanya menjual data? Kalau saya menginginkan blok-blok kita diminati oleh investor.
Jadi, perusahaan yang ingin melakukan survei bisa menggunakan dana sendiri tanpa perlu membayar data di awal. Harapannya adalah, hasil survei mereka bisa Kementerian ESDM manfaatkan untuk menjual blok-blok yang sudah diteliti itu.
KONTAN: Yang mengeksplorasi blok-blok itu kelak?
ARCANDRA: Tentu, eksplorasi tetap oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Sedang data oleh perusahaan survei yang kami sebut multi client. Sehingga, perusahaan jasa migas juga bisa melakukan survei.
Dengan cara ini, pemerintah tidak perlu mengandalkan dana APBN yang Rp 60 miliar atau Rp 70 miliar lagi. Biarkan perusahaan survei yang lakukan itu dengan dana sendiri.
Sekarang, pemerintah dengan dana untuk eksplorasi sudah mencapai Rp 26 triliun, ada yang mengatakan mekanisme gross split tidak bagus untuk blok-blok terminasi atau existing.
Justru, kami mendapatkan Rp 26 triliun untuk eksplorasi dari blok terminasi. Mekanisme gross split tidak hanya bagus untuk blok baru, karena blok terminasi justru punya dana untuk eksplorasi. Kalau dia tidak menggunakan uang Rp 26 triliun untuk eksplorasi, maka dana itu harus diserahkan ke negara. Pilih mana dia?
Aturan main ini akan tertuang dalam peraturan menteri ESDM. Saya sudah meminta agar peraturan yang lama untuk diubah, segera akan direvisi.
Kami berharap, industri migas akan bergairah kembali. Kami tidak membatasi data-data yang dibuka, perusahaan tinggal memilih, ingin data mana yang dilihat. Setidaknya, kami punya 128 cekungan di Indonesia.
KONTAN: Apakah nanti impor migas tetap ada?
ARCANDRA: Kami sedang menyamakan data dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Badan Pusat Stastistik (BPS), dan Bank Indonesia (BI) lantaran ada point of reference yang berbeda dengan Kementerian ESDM.
Misalnya, BPS menggunakan data berdasarkan bill of lading, sedang Bea Cukai menggunakan data Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Sementara Kementerian ESDM dari data country of origin, misalnya, dari Afrika Selatan. Awalnya, data ini sudah tercatat di kami bahwa terjadi impor. Tetapi, satu bulan kemudian baru sampai ke Bea Cukai. Maka itu, terjadi lagging sehingga datanya tidak sama.
Tujuan pengumpulan data ini untuk menyamakan data sebenarnya, berapa impor minyak kita. Tahun 2017, PT Pertamina mengimpor crude (minyak mentah) 360.000 barel per hari.
Sedangkan kesepakatan crude domestik pemerintah dengan Pertamina 525.000 barel. Kemudian masuk ke kilang 885.000 barel dan menjadi produk sebesar 680.000 barel.
Sementara untuk impor BBM 370.000 barel dan FAME 50.000 barel per hari. Jadi, total impor minyak yakni crude 360.000 barel plus BBM 370.000 barel per hari.
Atas dasar itu, Pertamina memproduksi BBM 1,1 juta barel sedang non-Pertamina 235.000 barel. Jadi, total kebutuhan BBM kita 1,33 juta barel per hari untuk 2017. Selama ini, ada yang bilang kebutuhan BBM kita 1,6 juta barel. Jika melihat angka itu, maka perhitungannya termasuk LPG.
Bagaimana dengan kebutuhan BBM untuk 2018? Untuk 2018, kebutuhan BBM sekitar 1,4 juta barel per hari, tidak jauh berbeda dengan 2017.
KONTAN: Karena itu, pemerintah bakal mendorong pembangunan banyak kilang?
ARCANDRA: Apakah dengan keberadaan kilang akan membuat impor kita berkurang? Tentu tidak. Yang berkurang adalah impor BBM tapi impor crude tambah.
Jadi, kalau kita membangun kilang, yang akan hilang adalah impor BBM sebanyak 370.000 barel. Sedangkan impor crude akan bertambah menjadi 822.000 barel.
Pasti akan timbul pertanyaan, apa untungnya kalau kita bikin kilang, toh, tetap impor crude? Kalau bikin kilang sendiri, maka cracking cost kita sekitar US$ 11–US$ 12 per barel atau tergantung efisiensi kilang. Jadi, biaya akan lebih murah dari kilang dibanding impor.
Bagaimana cara perhitungannya? Tentu, ada perbedaan biaya antara impor BBM dengan produksi BBM dari kilang sendiri. Sudah pasti akan lebih murah dari kilang sendiri.
Misalnya, kita impor crude dengan harga US$ 75 per barel ditambah dengan cracking cost US$ 11. Artinya, total biaya impor US$ 86 per barel.
Sementara kalau produksi dari kilang sendiri ada penghematan sebesar 5% atau sekitar US$ 4,3 per barel. Dengan memproduksi BBM dari kilang sendiri, akan menghemat total US$ 2,6 juta per hari. Atau, kita bisa menghemat US$ 949 juta per tahun.
Dari mana angka itu? Ini perhitungan dari impor minyak 605.000 barel per hari dikalikan dengan US$ 4,3 per barel.
Nah, setiap keterlambatan pembangunan satu kilang, maka negara akan rugi US$ 1 miliar atau setara Rp 15 triliun per tahun. Ini dengan asumsi, kilang tidak tambah tiap tahun.
KONTAN: Lalu, pemerintah akan melakukan gebrakan apa untuk mendorong pembangunan kilang di tanah air?
ARCANDRA: Kami akan terus mendorong pembangunan kilang secepat mungkin. Memang, ada argumen: kendaraan akan beralih ke listrik. Tapi, pendirian kilang masih dibutuhkan.
Contoh, jika kilang beroperasi 2020 atau paling telat 2022, maka 20 tahun mendatang atau sekitar 2042 masih ada mobil yang membutuhkan BBM, tidak mungkin semua mobil sudah menggunakan listrik.
Kebutuhan BBM juga akan terus meningkat. Misalnya saat ini, kebutuhan BBM sebanyak 1,4 juta barel per hari setidaknya 30%–40% untuk transportasi.
Asumsinya, pertumbuhan kebutuhan BBM akan naik 3% atau 4% per tahun dengan pertumbuhan ekonomi 5%. Untuk 10 tahun yang akan datang, kebutuhan BBM akan mencapai 4 juta per barel per hari.
Sebenarnya, perusahaan swasta boleh mendirikan kilang. Namun dengan syarat, selama tidak mewajibkan Pertamina untuk offtaker.
KONTAN: Untuk penerimaan negara dari sektor migas?
ARCANDRA: Terkait investasi, kami bisa menyampaikan target pendapatan dari sektor ESDM, paling tidak dari PNBP atau pajak penghasilan (PPh) mencapai Rp 240 triliun sampai akhir 2018.
Pendapatan ini berasal dari penerimaan migas dan PNBP mineral dan batubara (minerba). Insya Allah, target tersebut akan tercapai.
PNBP tahun lalu dari seluruh kementerian dan lembaga mencapai Rp 260 triliun, dan Rp 130 triliun berasal dari ESDM. Sekarang Insya Allah kami bisa mendapat Rp 240 triliun.
Sekarang, masih ada subsidi untuk harga BBM. Kami lihat, total subsidi ini sebesar Rp 148 triliun. Di antaranya untuk listrik Rp 60 triliun, LPG Rp 56 triliun, dan BBM Rp 32,6 triliun.
Artinya, kalau hanya melihat dari penerima negara minus subsidi, kami punya surplus sekitar Rp 91 triliun. Tapi, kalau melihat neraca perdagangan, akan defisit karena hanya melihat ekspor dan impor.
◆ Biodata
Riwayat pendidikan:
■ Doctor of Philosophy Ocean Engineering dari Texas A&M University
■ Master Ocean Engineering dari Texas A&M University
■ Sarjana Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB)
Riwayat pekerjaan:
■ Wakil Menteri ESDM
■ Menteri ESDM
■ President Petroneering
■ Principal Horton Wison Deepwater
■ Principal and President Asia Pasific AGR Deepwater Development System
■ Hydronynamics Lead FloaTec LLC
■ Peneliti di Technip Offshore.
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN 29 Oktober - 4 November 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Lewat Eksplorasi,
Ada Secercah Harapan"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News