kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asa di balik penurunan suku bunga acuan


Kamis, 26 September 2019 / 09:50 WIB
Asa di balik penurunan suku bunga acuan


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Sesuai dengan perkiraan ekonom dan pelaku pasar keuangan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang diadakan tanggal 18 19 September 2019 untuk ketiga kalinya memutuskan untuk menurunkan kembali BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps jadi 4,5 %, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps ke 6 %.

Penurunan suku bunga acuan ini merupakan langkah BI memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik. Terutama, di tengah kondisi ekonomi global dan nasional yang penuh tantangan.

Kebijakan ini sesuai keinginan dan ekspektasi para pelaku ekonomi. Mereka berharap penurunan suku bunga ini bisa berdampak pada tingkat suku bunga kredit perbankan yang sampai saat ini masih bertengger pada angka double digit.

Walaupun korelasi antara suku bunga acuan dengan suku bunga riil yang berlaku di setiap lembaga perbankan sangat rendah, namun penurunan suku bunga acuan ini setidaknya bisa menjadi gambaran terhadap prospek perekonomian nasional dan persepsi terhadap risiko ekonomi bisa berkurang. Penurunan tingkat suku bunga acuan bisa menciptakan image positif terhadap kondisi perekonomian nasional sehingga bisa menciptakan ekspektasi positif di kalangan para pelaku ekonomi nasional termasuk lembaga perbankan sehingga suku bunga kredit bisa berkurang.

Ekspektasi positif para pelaku ekonomi terhadap penurunan suku bunga acuan ini paling tidak didasari oleh dua hal. Pertama, kondisi ekonomi politik global terutama efek perang dagang Amerika Serikat (AC) China. Kedua, kondisi ekonomi nasional yang sudah relatif stabil. Oleh karena itu, sangat bisa dipahami jika para pelaku ekonomi menyimpan asa yang sangat besar terhadap momentum ekonomi pasca penurunan suku bunga acuan ini.

Efek perang dagang

Perang dagang antara AS-China sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat, bahkan belum terlihat adanya tanda-tanda mereda. Sampai dengan pertengahan tahun 2019, masih belum terlihat adanya penurunan eskalasi baik dari sisi AS maupun dari China.

Bahkan perang dagang ini sepertinya akan memasuki babak baru seiring dengan semakin mendekatnya proses pemilihan presiden AS. Presiden Donald Trump sepertinya ingin menjadikan isu perang dagang ini untuk meningkatkan elektabilitasnya yang akhir-akhir ini cenderung turun.

Efek tak berkesudahan dari perang dagang ini telah menyeret perekonomian AS ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Perekonomian AS dan China sebagai pelaku utama perang dagang diperkirakan pada akhir 2019 hanya tumbuh masing-masing 2,3% dan 6,2%. Angka ini lebih rendah lebih rendah ketimbang 2018 yang masing-masing mencapai 2,9% dan 6,6%. Bahkan pada akhir tahun 2020, pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut akan kembali turun menjadi 2,0% dan 6,1%.

Melemahnya perekonomian AS ini memaksa The Fed untuk menurunkan kembali tingkat suku bunga acuannya. Pertengahan September 2019 The Fed kembali menurunkan suku bunga acuannya menjadi 1,75%-2,00%. Penurunan ini merupakan kali kedua sepanjang 2019. The Fed juga membuka opsi untuk menetapkan suku bunga negatif jika kondisi ekonomi negara Paman Sam tersebut tidak kunjung membaik.

Kebijakan The Fed ini memberikan ruang yang lebih besar kepada BI untuk menurunkan tingkat suku bunga acuannya namun dalam besaran yang masih tetap menarik bagi investor global. Oleh karena itu, pelaku usaha sejak awal meminta BI untuk menurunkan suku bunga acuannya agar bisa menggairahkan perekonomian nasional namun masih bisa menciptakan capital inflow.

Asa dan risiko

Beberapa tahun terakhir ini perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang cukup kuat. Beberapa variabel makro ekonomi memperlihatkan pergerakan stabil. Pertumbuhan ekonomi empat tahun terakhir stabil di angka lima persen. Inflasi sepanjang 2019 bergerak rendah dan relatif terkendali di kisaran 3%-4%.

Selain inflasi rendah dan terkendali, variabel makro ekonomi lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap pergerakan suku bunga adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sepanjang 2019, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara keseluruhan cenderung stabil pada kisaran angka Rp 14.000-Rp 14.200. Nilai tukar rupiah yang stabil ini menjadikan produk barang dan jasa Indonesia bisa menjadi lebih kompetitif.

Stabilitas makro ekonomi dalam negeri menjadi pembangun asa pelaku ekonomi dalam negeri. Penurunan suku bunga acuan tiga bulan berturut-turut diharapkan menjadi momentum membalikkan kondisi ekonomi nasional yang selama ini masih terpuruk.

Namun jika menggunakan perspektif dari sudut pandang lain, sejatinya kondisi perekonomian nasional yang dijadikan fondasi keyakinan dan asa itu masih sangat rapuh. Pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil atau stagnan di level 5% bukanlah kondisi ideal. Pertumbuhan ekonomi 5% tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Begitu juga dengan inflasi. Meminjam teori Kurva Philip, tingkat inflasi yang stabil rendah selama lima tahun terakhir ini menandakan tidak ada gairah dan ekspansi usaha dari para pelaku ekonomi. Ini terkonfirmasi dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan rendah di level 5% lima tahun terakhir.

Peningkatan credit rating Indonesia oleh Standard and Poors (S&P) tidak berdampak signifikan terhadap perkembangan investasi Indonesia. Investor global masih memandang investasi di Indonesia berisiko. Hal ini terlihat dari Penanaman Modal Asing (PMA) pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2019 realisasi PMA hanya mencapai Rp 104,9 triliun.

Bila dibandingkan dengan realisasi PMA kuartal I-2019 maka realisasi PMA pada kuartal II-2019 turun 2,3%. Menurunnya realisasi PMA ini menandakan bahwa investor asing masih memiliki sentimen negatif dan memandang Indonesia sebagai negara yang berisiko di sistem perekonomiannya.

Padahal variabel risiko ekonomi merupakan salah satu variabel utama yang dijadikan justifikasi mark up suku bunga kredit lembaga perbankan. Pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas, inflasi yang terlalu rendah, serta pertumbuhan investasi yang masih rendah menjadi penanda bahwa risiko ekonomi di Indonesia masih relatif tinggi.

Pelaku ekonomi sepertinya harus bersabar dalam merealisasikan asa dan harapannya. Penurunan suku bunga acuan BI hanya bersifat respon sesaat yang efeknya baru efektif jika disertai oleh kebijakan fiskal yang lebih luas.

Meski demikian, asa tersebut harus tetap dijaga dan dipelihara sebaik mungkin. Usaha dan kerja keras untuk membangun ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik hanya bisa tercipta ketika semua pelaku ekonomi memiliki harapan sama, membangun ekonomi kita ke arah lebih baik.♦

Agus Herta Sumarto
Peneliti Indef, pengajar FEB Universitas Mercu Buana Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×