kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asumsi versus target


Senin, 25 September 2017 / 11:18 WIB
Asumsi versus target


| Editor: Mesti Sinaga

Pemerintah dan DPR (11/9) telah menyepakati asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

Asumsi yang dipakai adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%, laju inflasi tahunan 3,5%, serta nilai tukar dollar Amerika Serikat seharga Rp 13.400. Asumsi lain adalah suku bunga untuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dengan tenor tiga bulan sebesar 5,2%.

Dengan serangkaian asumsi makroekonomi di atas, postur RAPBN 2018 tampaknya tidak terlalu ekspansif. Dalam kalkulasi pemerintah, pendapatan negara ditetapkan Rp 1.878,45 triliun.

Sedangkan belanja negara mendapat jatah Rp 2.204,37 triliun, atau naik hanya 3,3% daripada belanja yang dialokasikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2017.

Pengesahan Undang-Undang (UU) Pertukaran Data untuk Kepentingan Perpajakan mempertebal keyakinan pemerintah dalam memperoleh tambahan pemasukan dari pos pajak.

Karena itu, defisit yang diusulkan dalam RAPBN 2018 relatif moderat, yaitu sebesar Rp 325,93 triliun, atau setara 2,19% dari produk domestik bruto (PDB).

Kendati moderat, RAPBN 2018 belum sepenuhnya terbebas dari risiko fiskal. Angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%, misalnya, masih terlampau optimistis.

Pertumbuhan ekonomi selama triwulan kedua tahun ini saja mencapai 5,01%. Angka itu tidak beringsut dari hasil di kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan ekonomi tentu bukan soal angka-angka semata. Dua mesin pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi masyarakat dan investasi tengah melambat.

Dalam konteks inklusivitas, pertumbuhan ekonomi juga belum optimal lantaran eksistensi sektor informal dan nontradable yang tidak terjangkau oleh perhitungan PDB.

Ancangan pertumbuhan ekonomi dan inflasi menyajikan sasaran pertumbuhan alami perpajakan, yaitu sebesar 8,9%. Penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.609,38 triliun, atau setara dengan kenaikan sebesar 9,3% dari APBN-P 2017.

Alhasil, selisih antara keduanya merupakan upaya ekstra (extra effort) yang dijalankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Variabel eksogen
Pentingnya upaya ekstra ini dikonfirmasi dari angka relatifnya. Data menunjukkan PDB untuk tahun 2016 mencapai Rp 12.407 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2017 dan 5,4% pada 2018, PDB 2018 bertambah menjadi Rp 1.350 triliun.

Implikasinya, target pajak sebesar Rp 1.609,38 triliun, atau ekuivalen dengan tax ratio sebesar 11,7%.

Sebagai komparasi, rasio pajak tahun ini berada di posisi 10,3%. Artinya, dengan memasang target penerimaan pajak yang konservatif pun, pemerintah sejatinya merancang skenario bahwa ia mampu menaikkan rasio pajak sebesar 140 basis poin. Skenario, yang lagi-lagi menuntut kerja keras.

Kerja keras menangkal shortfall penerimaan itu berhadapan dengan fluktuasi harga di pasar global. Saat harga minyak anjlok, banyak korporasi pertambangan terpapar kredit macet.

Akibatnya, penerimaan dari sektor minyak dan gas (migas) turun. Ini berarti, pajak penghasilan (PPh) yang bisa diterima dari perusahaan migas sangat rentan bergejolak.

Kendala lain adalah perekonomian China yang masih diliputi oleh ketidakpastian. Begitu juga dengan kondisi di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Jepang yang selama ini mereformasi ekonomi belum memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Kesemuanya ini akan berefek ke dinamika ekonomi negara mitranya.

Jika ditelaah lebih jauh, asumsi yang menjadi patokan penetapan target penerimaan mayoritas variabel eksogen, yang berada di luar kendali pemerintah. Disadari atau tidak, selama ini para pemangku kepentingan sering keliru dalam menafsirkan angka-angka yang tertera dalam asumsi dasar penerimaan APBN.

Asumsi makro ekonomi sering dipandang sebagai sebuah “fakta” yang positif mengandung kebenaran, alih-alih sebagai sebuah “hipotesis” yang bersifat tentatif. Konkretnya, jika target penerimaan tidak tercapai maka dianggap ada sesuatu yang salah.

Salah membaca
Kesalahan ini kemudian ditimpakan ke subjeknya, bukannya menelaah kembali secara objektif prasyarat keberlakuan asumsi yang ditetapkan. Akibatnya, tidak mengherankan apabila sederet angka asumsi makro ekonomi justru dipakai sebagai ujian untuk menilai kinerja pemerintah.

Pemerintah pun jadi gamang pada pilihan mewujudkan asumsi atau merealisasikan target turunannya. Dalam APBN-P 2017, misalnya, pemerintah melebarkan defisit hingga mendekati 3% demi menggenjot pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.

Kalaupun asumsi pertumbuhan 5,2% terpenuhi, outlook perolehan pajak sampai akhir tahun mencapai 96%. Artinya, tercapainya asumsi dasar yang dipasang, belum tentu menjamin target turunannya akan tercapai juga.

Kecenderungan ini mengarah ke pertanyaan klasik: “Apakah telur, atau ayam, yang lebih dulu muncul?” Apakah target pertumbuhan harus dipenuhi terlebih dahulu agar target penerimaan pajak di anggaran bisa tercapai?

Atau, sebaliknya. Penerimaan pajak digeber habis agar pemerintah bisa membiayai seluruh pos belanjanya guna mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dipasang?

Mengingat asumsi masih mengandung unsur probabilitas, idealnya kinerja pemerintah diukur dari upaya pemerintah melakukan mitigasi terhadap risiko fiskal. Risiko fiskal muncul tatkala terjadi peristiwa yang dapat diperkirakan sebelumnya, seperti tidak terpenuhinya asumsi dasar dalam penyusunan RAPBN.

Hal yang paling sulit dimitigasi adalah risiko fiskal yang muncul tiba-tiba akibat suatu peristiwa yang berada di luar kendali pemerintah. Peristiwa yang masuk dalam kriteria itu seperti peristiwa bencana alam, perubahan iklim global, dan turbulensi ekonomi eksternal. Kesemuanya ini akan membawa akibat ke tambahan kewajiban kontinjensi.

Akhir kata, pemerintah dan DPR sudah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi di tahun depan. Yang bisa kita hindari adalah mengulangi lagi kesalahan yang sama di tahun depan, yakni realisasi target penerimaan negara seret gara-gara kita terpasung oleh setumpuk asumsi yang sesungguhnya hanya ada di atas kertas, tanpa menyiapkan strategi alternatif.

*Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 18 September 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Asumsi Versus Target"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×