Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Asuransi peer to peer atau P2P insurance kini dianggap sebagai inovasi di banyak negara. Tapi perlu pahami, apa yang dianggap sebagai disruptive innovation di banyak negara, sudah ada di Indonesia sejak seratus tahun yang lalu.
Mari kita cermati bagaimana sejarahnya asuransi P2P di Indonesia. Kelebihan dan kekurangannya serta implikasi terhadap munculnya asuransi itu dalam konteks regulasi, perlindungan nasabah, dan tata kelola industri asuransi.
Kita mulai dengan definisi. P2P insurance is a risk sharing network where a group of individuals pool their premiums together to insure against a risk. Terjemahan bebasnya adalah urunan risiko sekelompok orang yang mengumpulkan premi secara bersama untuk melindungi (diri atau harta) terhadap risiko. Bila melihat definisi itu maka konsep demikian sudah ada padanannya di Indonesia. Bangsa Indonesia sudah menciptakan asuransi P2P jauh sebelum internet muncul.
Mari kita lihat UU nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pasal 7 ayat 1: Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk (a) Perusahaan Perseroan; (b) Koperasi; (c) Usaha Bersama (mutual). Yang diperbaharui dengan UU nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, pasal 6 ayat 1: Bentuk badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian adalah (a) perseroan terbatas; (b) koperasi; (c) usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan.
Adapun definisi asuransi sendiri adalah sistem asuransi yang semua pemegang polis menjadi anggota usaha dalam kontrak untuk membayar premi ke dalam dana bersama yang digunakan untuk membayar klaim. Dalam mutual insurance, pemegang polis membayar premi yang akan digunakan untuk membayar klaim dan menjadi pemilik bersama dari perusahaan. Dalam asuransi P2P, pemegang polis mengumpulkan premi yang akan digunakan untuk membayar klaim, tanpa menjadi pemilik dari perusahaan.
Dari sini ternyata kita menemukan, bahwa asuransi P2P adalah mutual insurance, lebih tepatnya, mutual insurance tanpa adanya status kepemilikan usaha bagi anggota yang membayar premi.
Di sinilah kita buktikan, bahwa bangsa Indonesia sudah menciptakan asuransi P2P sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, yaitu di Asuransi Jiwa Bumiputera 1912. Menurut profil perusahaan: AJB Bumiputera 1912 adalah perusahaan asuransi mutual, dimiliki oleh pemegang polis Indonesia, dioperasikan untuk kepentingan pemegang polis Indonesia, dan dibangun berdasarkan tiga pilar mutualisme, idealisme dan profesionalisme.
Sangat menarik, bahwa konsep usaha asuransi yang dimiliki pemegang polis, dipelopori bangsa Indonesia sejak awal abad ke 19. Dan di awal abad ke 20, bentuk usaha serupa dianggap inovasi.
Untuk menilai suatu inovasi, selain melihat sejarah, kita juga bisa menganalisa kelebihan dan kekurangan inovasi itu.
Konsep asuransi P2P didasarkan atas keinginan untuk menghindari biaya yang dibebankan dan keuntungan yang diambil oleh perusahaan asuransi. Kalau kita dan teman-teman bersedia membayar premi untuk menutup kerugian, untuk apa membayar premi tersebut ke perusahaan asuransi, kita kumpulkan saja premi kita bersama dan gunakan apabila ada teman yang menderita kerugian.
Walaupun terdengar baik, konsep ini gagal begitu peserta asuransi menjadi banyak. Karena perlu ada pengelola atas dana tersebut, yang bertugas menarik dana premi, membayarkan klaim, dan lainnya. Tentunya agak naif mengharapkan pengelola yang profesional mau menjalankan tugasnya tanpa biaya yang diambil dari premi bersama tadi.
Konsep ini juga bisa gagal begitu pengelola tadi adalah perusahaan. Karena suatu perusahaan bukan hanya akan meminta penggantian biaya wajar atas jasanya, tetapi juga keuntungan atas usahanya.
Bisa kita lihat, bahwa konsep mutual insurance lebih unggul dibandingkan dengan asuransi P2P. Karena keduanya menganut paham risk pooling , tapi di mutual insurance anggota yang menyumbang premi ke risk pool turut jadi pemegang saham, sedangkan di asuransi P2P tidak.
Ada di asuransi mutual
Dari sudut lain, bisa kita lihat, bahwa asuransi P2P ketika dijalankan oleh perusahaan yang profesional, sejatinya secara model ekonomis tidak akan jauh berbeda dengan perusahaan asuransi pada umumnya. Ada premi yang dikumpulkan, premi ini sebagian dibayarkan sebagai klaim, sebagian biaya jasa dari perusahaan asuransi P2P dan sebagian keuntungan dari perusahaan asuransi P2P tersebut.
Memang ada perbedaannya, pertama adalah kewajiban pencadangan klaim. Di perusahaan asuransi biasa, perusahaan wajib menyisihkan sebagian nilai premi tahun ini, sebagai cadangan klaim tahun depan. Ini dilakukan agar tahun depan, perusahaan asuransi tetap dapat memenuhi kewajiban klaim dari nasabah yang membeli di tahun ini atau di tahun-tahun sebelumnya.
Pada asuransi P2P, pencadangan klaim ini diatur sendiri masing-masing asuransi P2P. Berapa besarnya? Tergantung kebijakan perusahaan, tentunya maksimal sebesar sisa premi yang sudah dikumpulkan pemegang polis dikurangi klaim yang sudah dibayarkan serta biaya manajemen dan keuntungan yang dikehendaki pemilik asuransi P2P.
Bagaimana kalau cadangan tersebut tidak cukup? Ya sudah, apabila dana cadangan sudah habis untuk membayar klaim yang sudah ada, biaya manajemen, dan keuntungan tahun lalu, tidak ada lagi sumber dana yang bisa diambil dari risk pool yang sudah habis. Perusahaan asuransi P2P tentunya bisa membuka risk pool baru. Tetapi dana di risk pool baru, seharusnya tidak boleh digunakan membayar klaim nasabah di risk pool lainnya.
Siapa yang memastikan bahwa biaya manajemen dan keuntungan pemilik yang dibebankan ke risk pool adalah wajar? Belum ada jawabannya.
Sekarang kita bisa melihat relevansi regulasi dalam konteks asuransi P2P. Pertama, semua aktivitas usaha asuransi di Indonesia masuk dalam cakupan UU nomor 40 tahun 2014 tentang perasuransian. Kedua, konseprisk pool di asuransi P2P yang dijalankan secara profesional idealnya perlu biaya. Karena biaya diambil dari risk pool, maka ada risiko terhadap dana yang sudah disetor nasabah ke dalam risk pool. Ketiga, bahwa secara konsepsi, asuransi P2P sudah kalah satu skor dengan asuransi mutual. Karena di asuransi mutual, nasabah penyetor dana ke risk pool turut menjadi pemilik perusahaan sedangkan dalam asuransi P2P.
Mengingat, pertama, dana yang disetorkan ke dalam risk pool dari asuransi P2P dana publik. Kedua, produk yang dipasarkan adalah pertanggungan resiko dan dengan demikian masuk ke dalam ranah UU nomor 40 tahun 2014. Ketiga, bahwa sudah ada bentuk serupa asuransi P2P yakni asuransi mutual dalam UU itu, wajarnya regulator jasa keuangan di Indonesia segera melihat asuransi P2P dalam konteks kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku dan perlindungan nasabah.•
Sendy
Chief Executive Officer, PT Futuready Insurance Broker
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News