kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aturan urun dan selisih biaya JKN


Selasa, 16 April 2019 / 13:17 WIB
Aturan urun dan selisih biaya JKN


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN) telah ditetapkan akhir tahun lalu.

Meski demikian, belum jelas kapan regulasi ini secara efektif diterapkan. Pemerintah masih mengkaji dan membahas secara mendalam dengan berbagai pihak terkait untuk merumuskan jenis pelayanan apa saja yang nanti dikenakan urun biaya dan selisih biaya.

Sebagai pedoman awal, pemerintah menyatakan regulasi itu akan diberlakukan terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dalam program JKN, yaitu pelayanan yang dipengaruhi selera dan perilaku peserta. Dalam hal ini, ketentuan tersebut dikecualikan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah.

Sejak diundangkan pada 17 Desember 2018, aturan urun biaya dan selisih biaya masih menyisakan polemik publik. Sebagian pihak merasa khawatir peraturan ini memberatkan peserta JKN hingga dapat mengganggu layanan kesehatan yang mereka terima.

Ada juga yang berpendapat peraturan ini muncul untuk mengatasi defisit yang semakin membengkak dalam program JKN. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan berusaha memberikan pemahaman ke semua pihak bahwa langkah itu untuk kendali mutu dan kendali biaya serta pencegahan penyalahgunaan pelayanan di fasilitas kesehatan dalam program JKN yang sering terjadi.

Kami melihat kecemasan masyarakat terhadap penerapan aturan urun biaya dan selisih biaya sebagai hal wajar. Sebagai masyarakat awam, banyak peserta JKN hanya mendengar aturan baru ini secara sekilas sehingga menganggap mekanisme urun biaya dan selisih biaya akan berlaku untuk semua pelayanan kesehatan, terutama pengobatan penyakit katastropik seperti jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Hal ini mengingat adanya rumor yang terjadi pada 2017, yaitu rencana pemberlakuan cost sharing pada penderita penyakit katastropik. Menurut data BPJS Kesehatan, jumlah kasus penyakit katastropik pada 2018 sebanyak 19,2 juta dengan pembiayaan Rp 20,4 triliun atau 25% total biaya pelayanan kesehatan.

Selain itu, mereka kurang memahami poin utama yakni upaya mengurangi penyalahgunaan (moral hazard) penyelenggaraan JKN. Hal itu memang tak dapat disalahkan, terlebih lagi saat ini ketika belum ada kepastian baku yang merinci jenis pelayanan kesehatan apa saja yang terkena urun biaya dan selisih biaya.

Kami memandang sosialisasi yang masif, efektif dan komprehensif serta tepat sasaran kepada masyarakat, terutama peserta JKN yang terdampak kebijakan ini, adalah salah satu kunci keberhasilan pemberlakuan Permenkes No. 51/2018. Kami sepakat, di tengah eforia masyarakat memanfaatkan JKN, perilaku moral hazard harus diantisipasi sebisa dan sedini mungkin.

Pemerintah, penyedia layanan kesehatan dan berbagai elemen terkait harus berkoordinasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya mempertahankan kesinambungan program JKN.

Kami mendukung upaya pemerintah menerbitkan regulasi lebih lanjut terkait urun biaya dan selisih biaya guna menghapus ketidakpastian dan spekulasi masyarakat. Namun kami juga memahami hal itu bukan proses sederhana.

Maka perlu kajian dan kehati-hatian menentukan jenis pelayanan kesehatan yang dikenakan. Keterlibatan pelaku jasa kesehatan dan akademisi sangat penting guna meminimalkan perselisihan di kemudian hari. Sejauh ini kami menilai besaran urun biaya dan mekanisme selisih biaya yang terdapat di Permenkes No. 51/2018 masih realistis dan diterima.

Nilai manfaat pembiayaan yang diterima peserta BPJS Kesehatan masih lebih besar daripada nilai biaya yang dibebankan. Sementara dalam implementasinya nanti, kami memandang perlu monitoring dan evaluasi secara berkala sehingga dapat diketahui seberapa signifikan dampak regulasi ini terhadap program JKN.

Kami setuju kenaikan iuran peserta tidak dapat ditawar lagi guna mengurangi defisit pembiayaan program JKN. Namun, jika perilaku moral hazard dapat ditekan sehingga pembiayaan program JKN menjadi lebih efisien lagi, mengapa tidak dilakukan?

Akhirnya, kita semua berharap kebijakan pemerintah selanjutnya terkait urun biaya dan selisih biaya memberikan win-win solution bagi semua pihak terkait serta mampu mendukung kesinambungan program JKN.♦

Nadia Kusuma Dewi
Analis Industri Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×