kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Awas jadi sinyal


Kamis, 24 Mei 2018 / 14:46 WIB
Awas jadi sinyal


Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Tri Adi

Kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan. Setelah benar-benar menembus "batas sakral Rp 14.000 per dollar AS, kian banyak orang bertanya: ke mana kurs mata uang tercinta kita bakal menuju?

Pertanyaan seperti itu sebagian mencuat dari kalangan yang bersinggungan langsung dengan kurs valuta asing. Pebisnis di industri keuangan, eksportir, dan importir, misalnya, sangat berkepentingan atas kepastian nilai kurs di masa depan. Orang tua yang menyekolahkan anak di luar negeri juga masuk dalam golongan khalayak ini.

Sebagian lain masyarakat turut gelisah atas penurunan nilai rupiah terhadap dollar AS karena tahu bakal kecipratan getahnya. Harga BBM berisiko naik, harga perkakas elektronik naik, bahkan harga sebagian sembako atau bumbu dapur bakal naik pula.

Di luar itu, ada pula masyarakat yang sebenarnya tidak terlalu hirau pada dampak pelemahan rupiah, tapi bergairah mencemaskannya.

Mengingat begitu luasnya perhatian masyarakat terhadap rupiah, maka menjelaskan prospek nilai rupiah tentu saja baik adanya. Para pakar, analis, bahkan para menteri kabinet pemerintah Jokowi-JK pantas dan leluasa untuk "menenangkan" kegelisahan masyarakat.

Namun, keleluasaan seperti itu tidak sepenuhnya berlaku bagi para pejabat Bank Indonesia (BI). Ketika banyak orang begitu sensitif terhadap segala informasi seputar rupiah, pejabat bank sentral kudu mampu menahan diri untuk tidak gampang berkilah atau bercerita.

Masyarakat mungkin bisa menerima penjelasan dari siapa saja mengenai rupiah. Namun, ketika penjelasan serupa meluncur dari pejabat BI, sebagian orang tidak akan menganggapnya sebagai sinyal, melainkan sebagai sinyal untuk pasang posisi di pasar forex.

Beberapa hari lalu Gubernur BI sempat menjelaskan bahwa rupiah akan sulit menguat jika Indonesia tetap mengalami defisit transaksi berjalan. Andai pakar yang menyampaikan penjelasan, orang akan menerima sebagai pelajaran. Namun, ketika Gubernur BI sendiri yang bilang, masyarakat bisa menafsirkan bank sentral tak hendak segera memperkuat rupiah.

Sejak Indonesia menganut rezim devisa bebas, gejolak mata uang bukan baru kali ini terjadi. BI sudah berpengalaman menghadapinya. Masyarakat boleh panik, tapi bank sentral kudu tetap taktis dan cerdik. Seluruh rakyat menggantungkan harapan pada kelihaian BI menjalani peran sebagai bandar rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×