kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Awas, ngebut benjut


Senin, 12 Februari 2018 / 14:01 WIB
Awas, ngebut benjut


| Editor: Tri Adi

Ada banyak rambu bikinan sendiri yang dipasang saat kita melintasi gang pemukiman. Di Jakarta, tanda peringatan yang paling banyak dijumpai bertuliskan, “Hati-hati, banyak anak(-anak)”. Adapun di Jogja dan Jawa Tengah, tidak sedikit akses masuk gang yang dipasangi papan “Awas, ngebut benjut!”. Awas, kalau ngebut di jalan ini, Anda bakal benjut, entah karena jatuh gegara polisi tidur atau kena sambit warga yang kesal lantaran bunyi gas motor.  

Rambu itulah yang terlintas, ketika beruntun terdengar berita kecelakaan di proyek konstruksi. Dari bulan Agustus 2017 sampai minggu lalu, terjadi 13 kecelakaan di berbagai proyek pembangunan infrastruktur. Beberapa kecelakaan di antaranya, meminta korban jiwa. Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat bahwa sektor konstruksi menyumbang angka kecelakaan kerja terbesar sepanjang tahun 2017. Sampai-sampai, BPJS Ketenagakerjaan menetapkan tahun 2017 sebagai tahun kecelakaan kerja. Sungguh miris.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kecelakaan di sektor konstruksi tersebut. Kita juga tidak bisa memungkiri pendapat bahwa kecelakaan banyak terjadi ketika pembangunan infrastruktur dikebut oleh pemerintah. Gara-gara mengejar tenggat waktu (dan biaya), diduga pelaksanaan pembangunan proyek tidak sesuai dengan standar operasional prosedur.

Pelaksanaan proyek secara bersamaan di banyak wilayah meningkatkan permintaan pekerja konstruksi. Idealnya, seperti bidang lain, pekerja konstruksi harus memenuhi standar tertentu, makanya ada sertifikasi. Dari catatan BPS, ada sekitar 8,1 juta pekerja bidang tersebut. Sedangkan yang tersertifikasi baru 10%-nya. Tak heran jika Wakil Presiden Jusuf Kalla menuding kecelakaan terjadi karena pekerja konstruksi kurang cakap.

Tahun ini, Kementerian PUPR menargetkan sertifikasi untuk setidaknya 3 juta pekerja konstruksi, sehingga mereka lebih cakap. Toh, proyek harus terus berjalan, tidak bisa dihentikan demi menanti sertifikasi.   

Sesungguhnya, dalam ranah pekerjaan konstruksi, proyek minyak dan gas bumi menerapkan standar yang relatif tinggi bagi para pekerja mereka. Memang, ada perbedaan lokasi proyek antara infrastruktur, yang banyak di kota, dengan pertambangan. Namun, sebagai perbandingan, standar bekerja di ketinggian konstruksi migas ditetapkan jika lokasinya lebih dari 1,5 meter. Para pekerjanya wajib mengikuti kursus keselamatan kerja sebelum proyek dimulai. Jika tidak ikut sampai selesai, pekerja yang bersangkutan tidak mendapat kartu identitas untuk proyek tersebut.

Peralatan keamanan pekerja juga diperhatikan. Safety shoes, helm, rompi, dan harness adalah perangkat wajib dan harus diganti enam bulan sekali oleh pelaksana proyek.

Selain itu, ada pelaksana proyek konstruksi migas yang mengubah pendekatan mereka kepada pekerja. Sebelumnya, para pimpinan proyek menerapkan pendekatan yang keras pada pekerja. Mereka biasa memarahi dan menegur pekerja dengan galak, jika melanggar aturan. Belakangan, pendekatan dilakukan dengan lebih bersahabat. Ternyata dengan begitu pekerja konstruksi lebih sadar diri dan memperhatikan risiko kerja agar tidak membahayakan diri dan orang lain. Angka kecelakaan pun merosot.

Maka sebaiknya di satu pihak, pelaksana proyek harus memastikan kelengkapan keselamatan dan tak mengabaikan prosedur. Di sisi lain, pekerja juga mesti selalu sadar risiko.   

Jadi, biarpun harus ngebut, pekerja konstruksi mampu meminimalisir risiko benjut.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×