kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bank digital ala startup


Sabtu, 29 Juni 2019 / 11:00 WIB
Bank digital ala startup


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pasca-meraih predikat decacorn pertama di Asia Tenggara, perusahaan transportasi daring asal Singapura, Grab, kini dikabarkan akan memperluas lini bisnisnya ke industri jasa keuangan. Media internasional Reuters menyebut manajemen Grab tengah melirik bisnis baru di sektor finansial dengan menjajaki lisensi sebagai bank digital di Singapura. Bak gayung bersambut, otoritas moneter Singapura diberitakan akan mempelajari lebih jauh potensi besar Grab sebagai penyedia layanan bank digital.

Secara historis, keseriusan Grab di industri keuangan memang sudah terbaca sejak lama. Pada tahun 2018, Grab menjalin kerja sama dengan perusahaan kartu kredit Jepang Credit Saison Ltd untuk mendirikan Grab Financial Services Asia. Usaha patungan ini menyediakan produk kredit mikro untuk mitra Grab di Asia Tenggara. Tidak hanya itu, Grab baru saja menggandeng Citigroup dalam peluncuran kartu kredit co-branding Citi-Grab. Rencananya, kartu kredit ini akan diterbitkan perdana di Filipina dan diikuti Thailand pada akhir tahun 2019.

Mengenai lisensi bank digital, aksi korporasi Grab nyatanya bukanlah barang baru di tingkat global. Langkah serupa sudah pernah ditempuh oleh perusahaan lainnya di Hong Kong. Misalnya afiliasi dari Alibaba Group Holding dan Xiaomi Corp, serta konsorsium yang dipimpin oleh Standard Chartered dan BOC Hong Kong Holdings dilaporkan juga berminat mendapatkan lisensi perbankan khusus digital tersebut.

Ditinjau dari perspektif makro-ekonomi, potensi bisnis perbankan digital di Asia memang terbilang sangat menggiurkan. Dalam laporan berjudul Personal Financial Services Survey, McKinsey menyebut 52% dari nasabah bank perkotaan di negara berkembang telah menggunakan layanan perbankan digital di tahun 2017. Angka ini meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya yang mencapai 33%.

Setali tiga uang, lembaga konsultan manajemen multinasional ini juga merilis riset bertajuk Asias digital banking race: Giving customers what they want. Hasil temuannya menunjukkan kantor cabang bank di Asia hanya menangani sekitar 12% hingga 21% dari layanan transaksi nasabah setiap bulan.

Nasabah mulai beralih ke layanan digital untuk keperluan transaksi sehari-hari seperti pengecekan tabungan, transfer antar-rekening, dan pembayaran tagihan.

Berkaca dari hasil studi tersebut, praktis rencana ekspansi penyedia aplikasi super asal Negeri Singa untuk ikut mencicipi kue bisnis perbankan dinilai cukup feasible. Meskipun belum mendapat lampu hijau dari regulator, rencana ekspansi tersebut tidak boleh dipandang remeh.

Bank for International Settlement dalam kajiannya berjudul Implication of Fintech Developments for Bank and Bank Supervisors menyebutkan lima skenario nasib perbankan di tengah gempuran usaha rintisan (startup), terutama oleh pemain teknologi finansial (tekfin).

Pertama, transformasi digital melahirkan bank yang lebih baik (better bank). Kedua, kemunculan bank digital yang menggeser kedigdayaan bank konvensional. Ketiga, fenomena distributed bank, yakni bank konvensional berkolaborasi dengan pemain tekfin. Keempat, fungsi perbankan terdegradasi sebagai penyedia layanan umum, sementara hubungan dengan nasabah dikuasai oleh tekfin. Kelima, peran intermediasi perbankan akan hilang lantaran masyarakat sudah bisa berhubungan dengan tekfin yang mampu memberikan layanan lebih cepat dan lebih murah.

Argumen ini tentu tidak terlepas dari competitive advantage yang dimiliki oleh kebanyakan usaha rintisan. Basis data yang sangat komprehensif, mulai dari transaksi pembayaran hingga perilaku konsumsi, serta didukung tingkat retensi konsumen yang tinggi menjadi modal utama untuk bersaing dengan perbankan konvensional.

Payung hukum

Walaupun menjanjikan sejumlah peluang pasar yang masih terbuka lebar, namun model bisnis semacam ini nampaknya belum dapat diimplementasikan di Indonesia dalam waktu dekat. Seperti halnya berlaku di banyak negara, belum ada payung hukum yang mengakomodasi layanan bank digital oleh usaha rintisan di dalam negeri.

Sejauh ini Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bahwa layanan perbankan digital dapat disediakan oleh bank atau perjanjian kemitraan antara bank dengan mitra bank. Implikasinya usaha rintisan tidak bisa berdiri secara tunggal untuk menggarap bisnis ini. Kolaborasi dengan perbankan konvensional merupakan satu-satunya opsi yang harus diambil. Padahal dari sisi substansi usaha rintisan sebenarnya mampu menghadirkan layanan ini.

Melansir laman Otoritas Jasa Keuangan, layanan perbankan digital ialah layanan perbankan dengan menggunakan sarana elektronik milik bank dan/atau melalui media digital milik nasabah yang dilakukan secara mandiri.

Layanan ini memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan, dan penutupan rekening, termasuk memperoleh informasi lain dan transaksi di luar produk perbankan.

Berangkat dari definisi tersebut, ada tiga karakteristik utama dari digital banking yang wajib dipahami. Pertama, layanan mandiri (self-service) oleh nasabah untuk seluruh aktivitas perbankan. Kedua, eksistensi kantor cabang bank tidak lagi dibutuhkan (branchless banking).

Akibatnya kebutuhan SDM untuk pegawai kasir dan layanan nasabah menurun drastis. Ketiga, integrasi data biometrik e-KTP dengan sistem perbankan. Teknologi biometrik berfungsi untuk menjaga keamanan dan membantu validasi transaksi nasabah.

Apabila mengacu pada persyaratan di atas, usaha rintisan diyakini tidak akan mengalami kesulitan dalam memenuhinya. Pasalnya, model bisnis yang diterapkan usaha rintisan memang mengharuskan pengguna aplikasi untuk melakukan self-service. Kehadiran kantor cabang secara fisik juga menjadi kurang penting. Selain itu, teknologi biometrik merupakan persoalan teknis yang di atas kertas tidak membutuhkan banyak sumber daya untuk menyelesaikannya.

Namun demikian, masih terdapat satu kendala lain yang menjadi bahan diskursus menarik. Usaha rintisan saat ini tidak bisa menerima dana masyarakat sebagai simpanan layaknya perbankan konvensional. Kondisi ini lantas membatasi model bisnis usaha rintisan hanya sebagai pemain tekfin, yakni sebagai penerbit uang elektronik dan penyedia layanan peer-to-peer lending.

Dengan konfigurasi permasalahan di atas, regulator di seluruh negara patut mengkaji kembali relevansi dari setiap ketentuan yang ada, terutama jika dikaitkan dengan upaya pengembangan ekonomi digital. Dalam konteks persaingan usaha berlaku dalil the winner takes all. Seluruh korporasi raksasa punya tendensi untuk berusaha menguasai semua sektor usaha. Artinya, ketika keran relaksasi ketentuan berlaku, bisa jadi wacana bank digital usaha rintisan jadi sebuah keniscayaan.♦

Remon Samora
Analis Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×