kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Barongsai dan Hung Pao Daring


Kamis, 11 Februari 2021 / 07:50 WIB
Barongsai dan Hung Pao Daring
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Hari raya Imlek jatuh pada tanggal 12 Februari 2021. Namun Imlek tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Imlek sebelumnya identik dengan perayaan, pertunjukan barongsai dan membagi hung pao (amplop merah berisi uang) pada momentum imlek yang dianggap sebagai momentum yang berbahagia dan momentum kebersamaan. Judul artikel ini mengandung dua makna pada perayaan imlek tahun ini yakni makna secara tekstual dan makna secara kontekstual.

Barongsai dan hung pao menggambarkan kekhasan perayaan imlek yang selalu ada dari masa ke masa, khususnya setelah imlek ditetapkan sebagai hari besar agama dan dapat dirayakan secara luas pada era presiden Abdurahman Wahid. Kini barongsai dan hung pao telah menjadi milik publik dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Myra (1994), menyebutkan bahwa perayaan imlek dibagi menjadi dua bagian. Hari pertama adalah berdoa pada leluhur dan hari kedua adalah perayaan imlek itu sendiri yakni saling berkunjung pada sanak saudara dan membagikan huang pao serta menikmati berbagai pertunjukan khas imlek seperti barongsai. Artinya, dalam hal ini imlek mengandung dua makna yakni semangat untuk selalu mengingat dan mendoakan leluhur yang telah wafat dan semangat berbagi kebahagiaan dengan sesama sebelum memulai pekerjaan pada tahun berikutnya.

Pada hakikatnya imlek adalah perayaan musim semi sehingga secara tekstual hal-hal yang berkaitan dengan perayaan imlek tersebut tetap harus ada dan dipertahankan. Sebaliknya judul artikel ini menggunakan kata daring adalah guna menunjukkan situasi kontekstual yang saat ini terjadi.

Situasi kontekstual yang dimaksud dalam artikel ini adalah kondisi pandemi Covid-19 yang tengah terjadi beserta segala dampak dan pembatasannya. Dengan kondisi pandemi dan larangan berkumpulnya masa serta diterapkannya protokol kesehatan sehubungan dengan pandemi yang hingga saat ini masih terjadi.

Sebaliknya imlek merupakan perayaan religius kultural milik seluruh masyarakat yang penting artinya dan tidak dapat ditiadakan. Terlebih imlek tahun ini merupakan momentum refleksi atas berbagai peristiwa khususnya pandemi Covid-19 yang terjadi sepanjang tahun.

Soekanto (1988), menguraikan bahwa jika mengacu pada perayaan imlek itu sendiri adalah sebagai perayaan religius-kultural milik masyarakat maka simbol-simbol religius kultural tetap harus ditampilkan pada hari raya imlek itu sendiri. Ditampilkannya simbol-simbol religius kultural tersebut selain guna memberi penghargaan pada hari raya imlek itu sendiri juga guna mempersamakan imlek dengan hari raya lainnya seperti Natal, Idul Fitri maupun hari besar lainnya yang juga terjadi di masa pandemi tahun ini.

Kompromi

Selain itu simbol dan aktivitas perayaan imlek tersebut tetap harus diakomodasi agar tidak hilangnya esensi dari perayaan imlek itu sendiri, misalnya aktivitas berdoa hingga berkumpul dan berbagi bersama. Hanya saja pelaksanaan berbagai aktivitas sehubungan dengan imlek tersebut saat ini harus berkompromi dengan situasi kontekstual yang saat terjadi, yakni berbagai aktivitas yang sarat akan nilai religius kultural tersebut tetap harus diakomodasi tanpa menghilangkan makna namun tanpa menimbulkan resiko kesehatan.

Secara kontekstual dalam hal ini bahwa merayakan imlek ditengah pandemi dimungkinkan mengingat esensi utama imlek seperti kebersamaan, berbagai, penampilan simbol simbol religius kultural dapat diakomodasi melalui teknologi. Saat ini dalam era 4.0 yang ditandai dengan penggunaan kecerdasan buatan sebagai alat bantu konektivitas antar manusia maupun perangkat teknologi yang canggih guna menggantikan aktivitas konvensional dapat dipergunakan sebagai sarana untuk merayakan imlek tanpa mengurangi makna dan esensi perayaan imlek itu sendiri.

Secara sosiologis memang imlek lebih dari satu abad lamanya dimaknai dalam perayaan konvensional (tatap muka dan kehadiran fisik secara langsung). Kondisi inilah yang sesungguhnya saat ini menjadi tantangan, yakni mengubah paradigma perayaan imlek dari perayaan secara konvensional (luar jaringan) menjadi perayaan imlek dalam jaringan (daring). Kondisi inilah yang memerlukan pembiasaan dari masyarakat, penyesuaian perayaan imlek untuk kebaikan bersama.

Jika kembali pada filosofi perayaan imlek itu sendiri sebenarnya adalah ritual dan perayaan untuk memulai aktivitas di tahun berikutnya agar senantiasa dipenuhi berkah dan rezeki. Hal ini terlihat dari ucapan yang selalu diucapkan saat imlek yakni gong xi fat cai yang artinya selamat berbahagia dan sejahtera. Artinya tujuan dari ritual perayaan imlek itu sendiri adalah kebahagiaan dan kesejahteraan di tahun berikutnya. Hal penting yang tidak boleh dilewatkan pada hari raya imlek adalah esensi dari ritual (berdoa, berkumpul, berbagi) dan perayaan imlek yang menampilkan simbol religius-kultural.

Kini dengan kondisi pandemi maka masyarakat harus mengubah paradigma terkait cara penyampaian dari ritual dan cara pertunjukan simbol religius-kultural. Jika pada perayaan imlek sebelumnya cara penyampaian dilakukan secara konvensional maka saat ini secara kontekstual di tengah perjuangan mengakhiri pandemi Covid maka cara penyampaian ritual dan pertunjukan religus-kultural (seperti barongsai misalnya) dapat dilakukan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan maupun konektivitas dalam jaringan.

Memang harus diakui bahwa kecerdasan buatan maupun konektivitas dalam jaringan tidak sepenuhnya dapat menggantikan kehadiran fisik. Misalnya aktivitas makan malam bersama keluarga yang telah menjadi tradisi pada malam sebelum perayaan imlek tiba.

Kondisi semacam ini tentu tidak dapat digantikan oleh aktivitas dalam jaringan. Jika mengacu pada filosofi imlek itu sendiri yakni gong xi fat cai maka meskipun imlek tidak dirayakan dengan kehadiran fisik atau hanya dirayakan dengan kehadiran fisik dalam jumlah terbatas mengingat protokol kesehatan maka kondisi ini akan lebih baik dan mendatangkan kebahagiaan serta kesejahteraan pada masa berikutnya. Jika dibandingkan sebaliknya ,imlek dilakukan dengan melibatkan banyak kehadiran fisik.

Demikian juga tiadanya perayaan meriah yang melibatkan banyak orang juga dapat dimaknai sebagai bentuk refleksi solidaritas sosial. Ini mengingat kondisi pandemi yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan sehingga perayaan yang meriah dapat dialihkan pada esensi berbagi yang lebih luas yang tidak saja terbatas pada keluarga tetapi juga lingkungan yang lebih besar.

Dengan demikian maka imlek akan bermakna dengan terlaksananya seluruh esensi dari perayaan hari raya imlek itu sendiri meskipun dirayakan secara daring.

Gong xi fat cai daring, nonton barongsai dan bagi hung pao daring.

Penulis : Rio Christiawan

Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×