Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga
Harga minyak dunia dan dollar AS yang dalam tren naik semakin memukul industri penerbangan tanah air. Sejatinya, mereka bisa keluar dari pukulan itu jika pemerintah mengerek tarif batas bawah tiket pesawat.
Itu sebabnya, Indonesia National Air Carrier Association (INACA) mengusulkan kenaikan tarif batas bawah tiket pesawat. Berapa? Dan, seperti apa kondisi maskapai saat ini? Wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo mewawancarai Ketua INACA Bayu Sutanto. Berikut nukilannya:
KONTAN: Apakah INACA juga mengusulkan kenaikan tarif tiket batas bawah?
BAYU: Ini sebenarnya merupakan usulan kami. Sudah sejak tahun lalu kami mengajukan revisi atau peninjauan kembali tarif batas bawah. Peraturan Menteri Perhubungan (permenhub) Nomor 14 Tahun 2016 mengatur tarif batas bawah sebesar 30% dari tarif batas atas untuk kelas ekonomi. Sebelumnya, Permenhub No. 126/2015, tarif batas bawah 40%.
KONTAN: Memang, pertimbangannya apa mengusulkan kenaikan tarif bawah?
BAYU: Ada beberapa pertimbangan yang sudah terjadi di tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu, kan, tidak bagus. Sehingga, pertumbuhan penumpang diprediksi akan melambat.
Lalu, harga bahan bakar pesawat atau avtur naik karena harga minyak mentah dunia naik. Memang selama 2015 hingga 2016, harga minyak dunia rendah.
Tapi kemudian, kan, mulai bergerak naik di atas US$ 60 per barel pada 2017. Untuk 2018, masih ditambah kurs dollar Amerika Serikat (AS) juga bergerak naik.
Lantaran tahun lalu belum juga ada respons dari Kementerian Perhubungan, maka tahun ini kami mengajukan lagi usulan kenaikan tarif batas bawah. Untuk tahun ini, tentu karena dollar AS yang naik. Lalu, harga minyak cenderung terus naik. Terakhir, kondisi laporan keuangan 2017, kan, hampir semua maskapai merah.
KONTAN: Dalam Permenhub, apakah mengatur juga syarat-syarat revisi tarif?
BAYU: Sewaktu menetapkan tarif batas bawah dalam Permenhub No. 14/2016, yang jadi acuan adalah asumsi nilai tukar rupiah dan harga minyak dunia di tahun itu. Nah, sekarang sudah berubah semua.
Dan, ada klausul, kalau asumsi berubah, maka tarif bisa ditinjau lagi. Namun, kebiasaan di negara kita adalah menunggu kejadian dahulu baru diubah.
KONTAN: Pertimbangannya semata nilai tukar dan harga minyak mentah dunia?
BAYU: Sebenarnya, selain itu ada pertimbangan lain yakni biaya-biaya yang kenaikannya di luar kontrol kami. Tapi, ini cukup memberatkan untuk masuk dalam komponen harga tiket. M
isalnya, untuk biaya bandara, landing fee dan parkir pesawat naik tahun lalu. Biaya pemanduan juga naik. Itu kenaikannya bisa 10%–20%. Biaya-biaya tersebut, kan, tidak ada ketentuan tarif atas bawah. Jadi, bisa naik kapan saja.
Maka seharusnya, ada pembatasan tarif juga seperti harga tiket pesawat, dong. Ini, kan, lucu karena yang menentukan kenaikan tarif biaya-biaya tersebut Kementerian Perhubungan juga. Jadi, kami minta juga, biaya-biaya itu tidak naik.
KONTAN: Hampir sebagian besar biaya maskapai memakai dollar AS, ya?
BAYU: Sudah 80% yang memakai dollar AS, mulai biaya perawatan, suku cadang, pelatihan kru, asuransi, avtur, sampai sewa pesawat. Diperparah karena pendapatannya rupiah. Jadi sebenarnya, kami kena dua kali. Kenaikan biaya-biaya itu dan depresiasi rupiah juga.
KONTAN: Memang, berapa, sih, usulan kenaikan tarif batas bawah dari INACA?
BAYU: Sebenarnya tidak banyak kenaikan yang kami minta, cuma kembali lagi ke 40% dari tarif batas atas.
KONTAN: Kalau tarif batas bawah naik jadi 40%, harga tiket menjadi berapa?
BAYU: Misalnya, untuk penerbangan satu jam dengan pesawat standar Boeing B-737, sekarang harga tiket paling murah Rp 300.000 per penumpang dan paling mahal Rp 1 juta. Kami minta yang bawah naik jadi Rp 400.000 saja. Ini saja sudah membantu kami banget.
KONTAN: INACA sudah bertemu dengan Kementerian Perhubungan untuk membahas usulan tersebut?
BAYU: Sudah berkali-kali kami bertemu. Mereka sebenarnya sudah mengerti dan paham kondisi yang kami hadapi. Apalagi, mereka sudah melihat laporan keuangan maskapai 2017 yang merah semua.
Namun, mereka menjaga sensitivitas untuk menaikkan harga tiket. Apalagi, ini, kan, tahun politik. Juga, ada concern dari Bank Indonesia soal inflasi.
Cuma, saya tidak tahu hitungannya, dampak ke inflasi dari batas atas atau bawah. Walaupun sebenarnya, komponen kenaikan harga tiket ke inflasi kecil.
Beda dengan kenaikan harga rokok dan tarif pulsa ponsel. Jadi sebetulnya, tidak terlalu pengaruh kenaikan harga tiket pesawat terhadap inflasi.
KONTAN: Tapi, daya beli masyarakat masih rendah. Masak mau menaikkan harga tiket pesawat juga?
BAYU: Tidak terlalu pengaruh. Buktinya sekarang, saat Lebaran saja dibeli semua, kok, tiket pesawat. Padahal, harganya hampir di batas atas semua.
Harganya mentok di atas. Jadi, pasar tidak sensitif. Begitu juga dengan turis domestik, mereka sudah memikirkan harga tiket saat mau jalan-jalan di musim liburan atau high season.
Makanya, harga tiket naik tidak akan pengaruh ke daya beli. Saya melihat, sektor penerbangan sudah mendekati pasar persaingan sempurna.
Semestinya, aturan tarif batas atas dan bawah dihapus dari Undang-Undang (UU) Penerbangan. Yang seharusnya diatur adalah pasar yang monopolistik dan oligopolistik.
Di penerbangan sudah hampir sempurna pasar persaingan. Ini terbalik, yang monopolistik seperti pengelolaan bandara. Seharusnya, ini yang dijaga harganya. Di pemanduan lalu lintas penerbangan juga perlu dijaga harganya.
KONTAN: Kan, penetapan tarif batas atas dan bawah untuk melindungi konsumen dari perang tarif dan keselamatan penerbangan?
BAYU: Iya, memang ini untuk membatasi perang tarif. Dan, itu, kan, sudah terjadi. Sebenarnya, ini ketegasan pemerintah saja dalam pengawasan. Jadi, bukan dari tarif saja. Kalau jual harga tiket murah, penumpang bisa tidak selamat.
Tapi, masalah keselamatan penerbangan sejatinya bukan di situ karena ada biaya tersendiri. Ini regulator yang harus mengawasi. Bukannya harga tiket diatur.
Dan jangan lupa, dalam harga tiket ada demand dan supply. Menjual di harga tinggi juga bisa tiket tidak laku. Ini konsep ekonomi.
Sementara pasar penerbangan hampir mendekati pasar persaingan sempurna, full competitive. Jadi sebenarnya, harga tiket tidak perlu diatur, terserah permintaan dan suplai saja.
Negara lain ada yang pernah memakai batas atas dan bawah, tapi sekarang dilepas ke pasar. China, misalnya, sudah dilepas lama.
KONTAN: Jika ternyata Kementerian Perhubungan tidak menyetujui usulan kenaikan tarif batas bawah, apa yang akan terjadi dengan industri penerbangan berjadwal?
BAYU: Wah, saya tidak tahu lagi. Karena memang, kondisi maskapai saat ini sudah terdesak sekali. Mungkin mereka akan saling berhemat.
Tapi yang harus jadi catatan, KAL Star rontok. Ada yang bangkrut, pasti ada pengurangan pegawai. Lalu, bisa banyak yang gagal bayar kredit ke bank. Pembayaran sewa ke penyewa pesawat juga bisa seret, akibatnya pesawat bisa diambil.
Ini juga bisa berdampak ke Indonesia secara umum. Ini masalah reputasi. Apalagi, risiko negara kita masih tinggi. Contoh, untuk rate insurance atau tarif sewa pesawat, Indonesia pasti lebih mahal dari negara lain.
Yang jelas, kami membayar 20% sampai 30% lebih mahal dibanding negara ASEAN lainnya, walau secara keselamatan kita ada kemajuan.
KONTAN: Strategi mengurangi margin sudah tidak bisa maskapai gunakan lagi?
BAYU: Bagaimana mau mengurangi, wong sekarang sudah rugi. Jadi yang bisa dilakukan adalah mengurangi biaya operasional. Bisa biaya pegawai dikurangi, penghematan di mana-mana. Sekarang sudah dilakukan pengurangan rute, hampir 30% penurunannya.
Maskapai sudah berpikir, ya, sudahlah bayar fixed cost saja, bayar biaya parkir saja. Daripada rugi dua kali kalau terbang kena biaya lainnya lagi yang sudah naik, namun penumpang tidak bertambah. Jadi, mending hapus rute. Ini sudah kami lakukan sejak tahun lalu.
KONTAN: Tapi, bukannya di akhir tahun ada potensi pertumbuhan penumpang?
BAYU: Kalau pertumbuhan penumpang tetap ada. Tapi jika bicara pertumbuhan profit, tidak ada, penumpang naik namun biayanya naik juga.
KONTAN: Musim Lebaran atau libur panjang bisa menaikkan pendapatan, dong?
BAYU: Sebenarnya saat Lebaran, untung maskapai tidak banyak-banyak amat. Berangkatnya memang penuh tapi pulangnya tidak terlalu penuh atau malahan kosong.
Sebaliknya setelah Lebaran, berangkatnya kosong, pulangnya yang penuh. Memang, jumlah penumpang naik dan harga naik. Cuma, ini selama dua minggu saja.
KONTAN: Jadi, pemerintah perlu menyelamatkan industri penerbangan dengan menaikkan tarif batas bawah?
BAYU: Kalau kondisi makronya bagus, nilai tukar dan inflasi stabil, begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi, tidak perlu. Tetapi, sekarang kaki kami seperti diikat satu.
Harga lain dibiarkan naik tapi kami tidak bisa apa-apa, tidak bisa menaikkan harga tiket. Jadi, perlu keberanian pemerintah mengambil keputusan, walau sebenarnya ini tidak populer. Namun, langkah ini untuk menyelamatkan industri penerbangan.
◆ Biodata:
Riwayat pendidikan:
■ Sarjana Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM)
■ Master Keuangan dan Perbankan UGM
■ Master of Business Administration (MBA) Washington State University, Amerika Serikat
Riwayat pekerjaan:
■ Vice President Credit Risk Management Division Bank Mandiri
■ Vice President, Division Head Bank Internasional Indonesia (BII)
■ Chief Executive Officer, President Director Aviastar
■ Managing Director TransNusa Aviation
■ Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal INACA.
**** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edis 11-17 Juni 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Tiket Pesawat Naik, Masih Tetap Dibeli"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News