kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beberapa pekerjaan rumah pasca-pilkada


Senin, 02 Juli 2018 / 13:43 WIB
Beberapa pekerjaan rumah pasca-pilkada


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Kontestasi pilkada di 171 daerah baru saja usai dilaksanakan, Rabu (27/6) kemarin. Beragam lembaga survei pun sudah mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) siapa jawara di masing-masing daerah. Meskipun publik masih menunggu hasil real count atau hitung resmi KPU di setiap daerah, ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu segera dilaksanakan usai pilkada.

Pertama, melakukan rekonsiliasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi diartikan sebagai "perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan." Pasalnya, sebagai ajang memperebutkan orang nomor satu di daerah, pilkada harus diakui telah mendatangkan polarisasi dukungan antar-kandidat ataupun saling serang di media sosial. Perbedaan pilihan politik terbawa hingga dalam kehidupan bermasyarakat.

Kondisi tersebut perlu segera dipulihkan melalui jalan rekonsiliasi. Mengutip pendapat John Paul Lederach dalam Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies (1999), esensi dari rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang saling benci. Lebih dari itu, prasyarat rekonsiliasi di dalamnya harus ada unsur pengakuan, penerimaan dan pengampunan.

Dalam bahasa Sri Sultan Hamengkubuwono X, "Yang menang tidak boleh umuk, sementara yang kalah juga tidak boleh ngamuk". Artinya, yang menang tidak boleh jemawa sedangkan yang kalah harus menerimanya dengan lapang dada. Secara praktis, yang menang mau mendatangi dan merangkul yang kalah. Sebaliknya, yang kalah segera memberi ucapan selama kepada yang memang. Dengan saling merangkul dan memberikan ucapan selamat, hal itu membuat suasana jadi adem dan sejuk.

Kedua, pekerjaan rumah berikutnya adalah bagi 152 juta penduduk Indonesia yang baru saja memberikan hak pilihnya. Setelah datang ke TPS dan mencoblos, kini saatnya semua warga bahu-membahu bersama pers dan elemen masyarakat sipil mengawasi para kepala daerah terpilih dan memastikan janji-janji kampanye mereka terpenuhi.

Pasalnya, setelah kepala daerah terpilih, mengutip Robert Endi Jaweng (2016), mereka akan memasuki semacam black box, yakni visi, misi, program, hingga janji kampanye berkonversi ke dalam aksi lapangan. Ini momen pembuktian: apakah segala janji akan dilunasi, atau sebaliknya janji hanyalah tinggal janji. Warga Indonesia, khususnya 152 juta yang baru saja memberikan hak pilih, perlu mengawal dan memastikan janji politik para kepala daerah terpilih mampu dibumikan.

Ketiga, kepala daerah terpilih harus mampu melakukan sinkronisasi kinerja dengan pemerintahan pusat. Seperti pernah saya sampaikan dalam artikel sebelumnya berjudul "Tahun Politik dan Sinkronisasi Kinerja" (Harian KONTAN, 07 Maret 2018) bahwa sinkronisasi kinerja antara pemerintah pusat dan daerah perlu diupayakan untuk menyelaraskan target pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan.

Hal ini penting karena pemerintah daerah secara hierarki berada di bawah pemerintah pusat. Artinya, dalam negara kesatuan, tata laksana pemerintahan daerah harus selaras dengan pemerintah pusat. Memang otonomi daerah memberikan kewenangan lebih luas ke pemerintah daerah. Namun, kewenangan itu tetap harus dalam koridor pemerintah pusat. Ibarat orkestra, setiap alat musik harus seirama supaya tercipta sebuah harmoni.

Kepala daerah zaman now

Keempat, kepala daerah terpilih harus mampu manjadi pemimpin yang adaptif dengan perkembangan zaman. Jadilah kepala daerah zaman now. Sebab, di tengah kompleksitas persoalan yang dialami daerah, kehadiran pemimpin baru yang mampu memahami perkembangan dan kebutuhan zaman tak bisa ditawar lagi. Apalagi saat ini selain berada di era revolusi industri 4.0, seorang kepala daerah juga harus mempersiapkan diri menyambut periode bonus demografi yang akan didominasi anak muda dan angkatan kerja produktif.

Kelima, kepala daerah terpilih harus menjadi pemimpin yang inovatif. Salah satunya adalah mampu memanfaatkan keberadaan media sosial untuk meningkatkan kinerja. Ada sejumlah alasan mengapa media sosial perlu dimanfaatkan dengan baik oleh kepala daerah. Pertama, media sosial dapat mendatangkan partisipasi aktif masyarakat.

Dengan partisipasi aktif itu, seorang kepala daerah misalnya dapat menyerap aspirasi sekaligus mengetahui secara langsung jantung persoalan warga tanpa melalui sekat protokoler. Selain praktis dan cepat, penyerapan aspirasi via media sosial dapat terhindar dari laporan "ABS" (asal bapak senang).

Kedua, media sosial dapat menjadi sarana sosialisasi untuk menyampaikan program dan kebijakan. Sebagai produk modernisasi alat komunikasi yang "berbasis" massa besar dan menyediakan chatting serta feedback, media sosial dapat menjadi sarana untuk sosialisasi sekaligus dialog. Di sini, seorang kepala daerah dapat secara langsung melihat bagaimana respon warga terhadap program dan kebijakan yang telah digelindingkannya.

Bila ada warga yang tidak suka ataupun tidak setuju dengan program tersebut, maka sang kepala daerah langsung dapat menjelaskannya. Sehingga, terjadi dialog antara pemimpin dengan rakyatnya. Pola semacam ini penting karena salah satu ciri model kepemimpinan abad 21 adalah seorang pemimpin dituntut mampu berkomunikasi secara interaktif-dialogis dengan rakyatnya, saling mengirim dan menyampaikan pesan, berbicara dan mendengarkan.

Ketiga, media sosial dapat mempercepat sekaligus memperbaiki kinerja pemda. Ada beberapa bukti kenapa media sosial dapat membantu kinerja pemerintah daerah. Sebagai contoh, saya pernah mendapat cerita dari teman asal Magelang yang sedang membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selama hampir sebulan, KTP tersebut belum juga jadi.

Melalui media sosial twitter, teman saya kemudian mengeluh seraya mengadu ke akun twitter milik salah seorang kepala daerah. Tak berselang lama, teman saya mendapat telepon dari kantor kecamatan di Magelang untuk segera mengambil KTP. Usut punya usut, ternyata sang kepala menanggapi keluhan atau aduan teman saya dengan langsung mengontak Pemda Magelang. Cerita tersebut hanyalah sedikit contoh dari dampak pemanfaatan media sosial sebagai instrumen pendukung kinerja pemerintah daerah.

Itulah sejumlah pekerjaan rumah yang perlu segera dilaksanakan dan disambut, baik oleh para kepala daerah terpilih ataupun masyarakat pada umumnya, setelah pilkada usai.•

Ali Rif'an
Direktur Riset Monitor Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×