kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beberapa solusi alternatif bagi Jiwasraya


Rabu, 14 November 2018 / 15:58 WIB
Beberapa solusi alternatif bagi Jiwasraya


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Pada 5 November 2018, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjuk Hexana Tri Sasongko menggantikan Asmawi Syam sebagai Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya. Ini menyusul kasus keterlambatan pembayaran Rp 802 miliar produk JS Proteksi Plan yang telah jatuh tempo.

Masalah itu muncul di permukaan pada 10 Oktober 2018 terkait dengan JS Proteksi Plan yang merupakan produk bancassurance, yakni produk perusahaan asuransi yang dipasarkan melalui bank. Produk itu menjanjikan manfaat asuransi jiwa berupa santunan meninggal dunia karena kecelakaan atau bukan atau cacat tetap total.

Produk tersebut menyasar investor usia 18 tahun - 65 tahun, tenor lima tahun dengan premi sekaligus Rp 50 juta hingga Rp 5 miliar. Pengembalian pokok dan hasil investasi optimum dijamin Asuransi Jiwasraya. Ada tujuh bank yang ikut memasarkan dan menjual produk tersebut yakni Bank Tabungan Negara (BTN), Bank ANZ, Bank QNB, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank KEB Hana, Bank Victoria dan Standard Chartered Bank.

Pada 15 Oktober 2018, Asuransi Jiwasraya telah membayar bunga jatuh tempo kepada 1.286 polis yang jatuh tempo sebesar Rp 96,58 miliar per 15 Oktober 2018. Pemegang polis yang ingin melakukan perpanjangan (roll over) memperoleh bunga 7% setahun neto dibayar di muka atau setara 7,49% setahun efektif. Pemegang polis yang tidak ingin melakukan perpanjangan akan memperoleh bunga pengembangan efektif 5,75% setahun neto (Harian KONTAN, 15 Oktober 2018).

Masih banyak polis asuransi yang akan jatuh tempo. Sayang, Asuransi Jiwasraya agaknya kurang memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk memenuhi kewajiban polis asuransi yang segera jatuh tempo. Inilah inti masalah. Lantas, solusi alternatif apa saja yang patut diambil Jiwasraya?

Pertama, dalam manajemen risiko, perusahaan asuransi adalah salah satu wadah untuk mengalihkan potensi risiko (transfer of potensial risk). Itulah sebabnya mengapa banyak orang mengambil polis asuransi jiwa untuk menutup potensi risiko kematian akibat kecelakaan atau bukan dan atau cacat total tetap. Hal itu bertujuan supaya pasangan atau keluarga pemegang polis dapat merasa aman sekiranya potensi risiko itu menjadi kenyataan.

Demikian pula ketika orang membeli polis asuransi rumah, kantor, gedung, perkantoran, rumah sakit, sekolah dari potensi risiko kebakaran, banjir dan gempa. Dan polis asuransi kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) bertujuan untuk menekan potensi risiko tabrakan dan kehilangan. Begitu juga dengan asuransi pendidikan bertujuan untuk mitigasi risiko di masa mendatang. Intinya, asuransi dapat mengurangi ketidakpastian.

Dalam perkembangannya, asuransi bukan hanya menanggung potensi risiko kematian dan kerugian, tetapi juga merupakan salah satu instrumen investasi yang cantik dengan imbal hasil yang gurih. Asuransi demikian menjadi laris manis di pasar seperti unit link yang memberikan perlindungan jiwa dan investasi yang menawan hati.

Pengucuran PMN

Oleh karena itu, untuk mampu menanggung semua potensi risiko pemegang polis, perusahaan asuransi wajib melakukan investasi seperti dalam bentuk deposito dan berbagai surat berharga. Di samping itu, perusahaan asuransi juga wajib melakukan reasuransi semua potensi risiko ke perusahaan reasuransi.

Namun terkadang tidak semua potensi risiko direasuransikan ke perusahaan reasuransi. Artinya, perusahaan asuransi menanggung sendiri sebagian potensi risiko karena upaya reasuransi juga membutuhkan biaya tidak kecil. Ketika mengalami masalah keuangan, maka tidak mengherankan perusahaan asuransi menjadi kurang mampu memenuhi kewajiban kepada pemegang polis. Nah, barangkali hal itu yang sedang terjadi pada Asuransi Jiwasraya.

Kedua, sudah sepatutnya pemerintah mengucurkan penanaman modal negara (PMN) kepada Asuransi Jiwasraya. Jangan lupa bahwa Asuransi Jiwasraya merupakan satu-satunya BUMN di sektor perasuransian sehingga perlu diselamatkan segera.

Ketiga, pemerintah masih memiliki solusi alternatif lain berupa obligasi rekapitalisasi (bond recap) untuk menambal modal Asuransi Jiwasraya sebagaimana yang telah diberikan kepada bank umum pada 1999. Dengan obligasi rekapitalisasi itu, Asuransi Jiwasraya akan memperoleh bunga kupon yang merupakan pendapatan.

Waktu itu, pemerintah harus mengeluarkan biaya sangat tinggi untuk menyelamatkan perbankan nasional. Awalnya, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi kepada 28 bank umum dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999 dan Nomor 31/12/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum. Aturan ini ditetapkan pada 8 Februari 1999 tetapi berlaku surut pada 9 Desember 1998.

Berikut adalah deretan bank penerima obligasi rekapitalisasi Bank Mandiri, BRI, BNI, Bank Central (BCA), Bank Niaga, Bank Lippo (Bank Niaga dan Bank Lippo telah merger menjadi CIMB Niaga pada 2009), Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Permata, BTN, Bank Bukopin, Bank Patriot, Bank Prima Express, Bank Universal, Bank Bali dan Bank Arta Media.

Terdapat pula 12 bank pembangunan daerah (BPD) yang menerima obligasi rekapitalisasi yakni BPD Nusa Tenggara Timur, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD Nusa Tenggara Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Kalimantan Barat, BPD Jawa Timur, BPD Daerah Istimewa Aceh, BPD Maluku, BPD DKI Jakarta, BPD Sumatera Utara dan BPD Jawa Tengah.

Keempat, tak berhenti di situ. Masih ada upaya lain bagi pemerintah untuk mengundang investor asing untuk memeluk Asuransi Jiwasraya. Gampang ditebak, pastilah undangan itu disambut hangat oleh banyak investor asing untuk mengajukan lamaran pada waktu yang tidak terlalu lama. Sebab Indonesia memiliki penduduk sekitar 260 juta jiwa. Jumlah penduduk sebesar itu merupakan pasar target (target market) yang basah. Artinya, Nusantara merupakan mega peluang bisnis bagi industri perasuransian untuk digarap lebih intensif.

Saat ini kebiasaan berasuransi (insurance habit) di Indonesia masih rendah. Tetapi sesungguhnya hal itu justru menjadi kesempatan emas bagi investor asing untuk mereguk manisnya madu industri perasuransian. Namun hendaknya kepemilikan asing dibatasi hingga 40%, sehingga pemerintah masih dapat menjadi pemegang saham pengendali.•

Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×