kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Becak dan romantisme Ibu kota


Senin, 22 Januari 2018 / 15:07 WIB
Becak dan romantisme Ibu kota


| Editor: Tri Adi

Sepuluh tahun terakhir merupakan sebuah dekade yang tidak mudah bagi Amerika Serikat. Kondisi ekonomi, budaya, dan politik mereka berada pada sebuah fase yang kompleks. Tema-tema ini menjadi topik incaran kalangan oposisi untuk menyerang pemerintahan Presiden Barack Obama. Betapa tidak, saat itu The National Bureau of Economic Research mencatat bahwa Amerika Serikat mengalami deklinasi lapangan pekerjaan hingga mencapai angka 8,7 juta lapangan pekerjaan dalam kurun Februari 2008 hingga Februari 2010.

Menariknya, di tengah-tengah periode sulit ini muncullah Charles Murray. Penulis aliran konservatif ini merilis buku Coming Apart yang menceritakan wacana nostalgik tentang Amerika Serikat di masa lalu. Murray mengambil seting penulisan bukunya di tahun 1960-an, 1980-an, dan 1990-an, saat Amerika Serikat berada dalam situasi perekonomian yang amat stabil. Situasi inilah yang digambarkan warga golongan tua Amerika Serikat sebagai Paman Sam yang sesungguhnya. Entitas negara mahakuat yang tidak semestinya mengalami gejolak ekonomi.

Romantisme lain yang muncul di Amerika Serikat adalah kerinduan terhadap sosok Presiden Ronald Reagan. Pada zamannya, Reagan dikenang memiliki kemampuan untuk membawa Amerika Serikat keluar dari pelik ekonomi melalui kebijakan-kebijakan publiknya. Kita dapat membaca narasi nostalgia ini pada karya Lane Kenworthy seperti Social Democratic America yang juga terbit pada era kepemimpinan Presiden Barack Obama. Tujuannya, supaya Obama membaca narasi historis itu dan mengambil kebijakan publik serupa demi Amerika Serikat yang lebih baik.

Pembahasan di atas memiliki benang merah yang sama. Kebijakan publik dan romantisme masa lalu merupakan dua hal kerap berkelindan. Di Indonesia, sadar atau tidak sadar, berulang kali kita telah mengalaminya. Kita senang bukan kepalang saat Barack Obama datang ke Jakarta dan mengatakan ia rindu makan sate dan bakso.

Kita mendadak memiliki ikatan batin yang dekat dengan Amerika Serikat. Di cerita lainnya, Raja Salman terlihat karib dengan Presiden Jokowi setelah menceritakan kedekatan ayahnya dengan Presiden Soekarno di masa lampau. Investasi ekonomi bilateral terjadi. Betapa kita adalah bangsa yang gemar merawat romantisme masa lalu.

Kini, diskursus tentang becak Jakarta yang sudah lama dilarang beroperasi di ibukota mendadak mengemuka kembali. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengatakan bahwa ia akan mengizinkan kembali becak  beroperasi di jalur non-arteri untuk mengakomodasi kepentingan warga Jakarta yang membutuhkannya. Gubernur Anies membayangkan, becak masih akan dibutuhkan oleh ibu-ibu yang akan membawa banyak barang belanja dari pasar. Sebuah situasi yang menurutnya tidak memungkinkan diatasi dengan ojek daring. Pertanyaanya, apakah problem ini tidak dapat diatasi tanpa membangkitkan becak?

Realisme

Dalam ilmu psikologi sosial, kecenderungan seorang pemimpin dalam menggerakkan masyarakat melalui narasi nostalgik dibahas konsep kepemimpinan romantisme (Kempster & Carol, 2016). Kepemimpinan jenis ini menempatkan narasi nostalgik sebagai media untuk membentuk kesan heroik. Memunculkan retorika ideal tentang masa lalu merupakan cara pemimpin untuk menyentuh sisi emosi dari sebagian atau seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Dalam prosesnya, pemimpin akan mengekspos kisah-kisah keberhasilan kebijakan di masa lalu dan cenderung tidak memberikan ruang pada alasan-alasan mengapa kebijakan itu ditinggalkan.

Ilmu perilaku memandang romantisme bukan hanya sebagai gaya kepemimpinan, tetapi juga sikap individual karakteristik si pemimpin. Artinya, pemimpin yang bergaya romantis memiliki imajinasi dan kemampuan untuk membangkitkan emosi sebagai cara untuk melawan diskursus rumit tentang sebuah topik kepemimpinan publik yang mengandalkan nalar dan rasionalitas. Di negara-negara Asia yang masyarakatnya menghargai narasi masa lalu, tidak dapat disangkal bahwa kepemimpinan romantisme merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang sangat efektif untuk membentuk simpati publik.

Namun, gaya kepemimpinan ini memiliki kelemahan. Karena terlalu mengedepankan kisah-kisah keberhasilan di masa lalu, maka masalah-masalah dan kritik terkait dengan situasi terkini cenderung tidak mendapatkan porsi cukup. Ini sangat berbahaya mengingat masa aktif jabatan struktural kepemimpinan dibatasi waktu dan akan berdampak pada era kepemimpinan selanjutnya. Ketika kita bicara kepemimpinan dalam konteks masa depan bangsa sebagai sebuah kontinum, performa sebuah masa pemerintahan yang tak progresif merupakan hal yang harus dihindari.

Untuk menghindari luaran kebijakan publik yang tidak progresif, seorang pemimpin publik perlu juga untuk memiliki pandangan realisme. Pandangan ini, berkebalikan dengan pandangan romantisme, menempatkan kepemimpinan dengan basis situasi terkini menuju visi ideal. Beberapa ahli di Harvard Business Review menyebut kepemimpinan ini sebagai kepemimpinan idealis-realis. Kepemimpinan jenis ini mengajak orang-orang yang dipimpin untuk menerima kondisi saat ini dan bergerak melalui visi besar yang terukur.

Untuk memahami kepemimpinan idealis-realis, kita dapat belajar ke New York. Setelah tragedi World Trade Centre 11 September 2001 di Amerika Serikat, Rudy Giulliani sebagai Walikota New York merilis sebuah visi bahwa New York akan ia bawa menjadi kota teraman di dunia. Ia menerima situasi kota New York yang sedang terluka. Tanpa harus membuat retorika nostalgik, ia memimpin proses normalisasi kota, mengatasi trauma warga, dan menjamin keamanan kota. Banyak media saat itu mengapresiasi dan menganggap Giuliani sebagai Walikota Amerika Serikat. Majalah Time memberinya gelar Person of The Year, dan Ratu Elizabeth II memberinya gelar kehormatan.

Melalui semua paparan di atas, hendaknya kita dapat belajar bahwa tantangan terbesar seorang pemimpin publik sebenarnya adalah kemampuan untuk menciptakan kebijakan publik yang melampaui narasi-narasi nostalgik maupun kebijakan pragmatis. Ia ditantang bergerak dengan paradigma idealis-realis melalui keputusan strategis. Semoga ibukota kita terus bergerak melaju dengan progresif, tetap mengingat dan menghargai jejak sejarah, tanpa harus terjebak dengan narasi romantisme masa lalu.                                                           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×