kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belajar dari Batavia Hadapi Flu Spanyol


Selasa, 15 September 2020 / 12:33 WIB
Belajar dari Batavia Hadapi Flu Spanyol
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia kembali melakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar jilid 2 (PSBB 2). Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang masih belum mereda sampai pada September 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (10/9), menyatakan sikap untuk menarik rem darurat dalam penanganan pandemi Covid-19.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta secara tegas menghentikan status PSBB transisi dan mengembalikan status Ibukota kepada PSBB seperti yang berlaku di awal masa pandemi bahkan cenderung menjadi lebih ketat. Gubernur Anies menyatakan keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa kondisi pandemi Ibukota yang sudah berada pada tahap mengkhawatirkan sehingga dikhawatirkan akan membuat daya tampung rumah sakit tak tercukupi.

Senin, 14 September 2020, PSBB ketat diberlakukan kembali di seluruh Provinsi DKI Jakarta. Seluruh aktivitas di segala sektor, terkecuali 11 sektor penting dihentikan. Warga pun diminta tetap berada di rumah, kecuali untuk keperluan yang mendesak.

Kebijakan yang diambil Pemprov DKI Jakarta ini jelas menuai kritikan terlebih ditengah kelesuan ekonomi karena dampak PSBB. Banyak orang hari ini yang telah kehilangan pekerjaan, kehilangan kehidupan berjualan dan berbisnis karena adanya pembatasan sosial. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika keputusan Gubernur Anies yang mengembalikan status ibukota negara dari PSBB transisi ke PSBB ketat menjadi hal yang sangat dikhawatirkan banyak masyarakat, utamanya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari.

Sejak berlakunya masa new normal (kenormalan baru) yang diberlakukan secara nasional oleh Pemerintah Pusat dan PSBB transisi yang diberlakukan oleh Pemprov Jakarta, sejumlah pelaku usaha dan para pekerja kantor sebenarnya sudah mulai antusias menyambut upaya pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pembatasan sosial selama pandemi Covid-19. Pelaku ekonomi Indonesia yang mulai bersemangat untuk memulai aktivitas ekonominya terlebih sejak adanya bantuan uang tunai dari pemerintah pusat dalam bentuk stimulus untuk mengungkit daya beli masyarakat.

Adanya pengembalian status ibukota negara dari PSBB transisi ke PSBB ketat dinilai sama saja dengan menghentikan progres dari hasil pemberian stimulus itu. Pandangan ini beralasan karena pada kenyataannya pasar merespon negatif kebijakan baru untuk pengembalian status Jakarta pada kebijakan PSBB transisi.

Setelah kebijakan PSBB ketat diumumkan, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (10/9), langsung anjlok meski sempat kembali menguat sedikit. Sentimen negatif juga muncul dalam nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank. Kebijakan ini akan membuat perekonomian ibukota negara terguncang lagi.

Belajar dari sejarah

Tak hanya bayang bayang kekhawatiran resesi ekonomi tapi ancaman krisis berlangsung panjang akibat pandemi Covid-19. Apalagi jika melihat sejarah Hindia Belanda yang pernah collaps secara sosial saat wabah pandemi Flu Spanyol yang terjadi tahun 1918-1919.

Virus Flu Spanyol yang ketika itu sampai ke Nusantara lewat virus yang dibawa para pelancong dari Singapura. Pandemi Flu Spanyol meluluh-lantak dimensi sosial dan kesehatan Hindia Belanda.

Sejarah mencatat, bagaimana kota Batavia sebagai jantung ibukota Hindia Belanda mengalami goncangan sosial kesehatan yang hebat dan memberi efek ekor yang berarti terhadap menurunnya pemasukan keuangan karena maraknya kebijakan karantina wilayah. Beberapa daerah potensial di Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan kota kota Jawa Barat yang menjadi sentra pandemi Flu Spanyol. Padahal daerah daerah tersebut merupakan sentra ekonomi produktif dan penyumbang terbesar pemasukan kas pemerintah Hindia Belanda.

Meskipun dampak pandemi Flu Spanyol 1918-1919 sangat besar bagi kondisi sosial dan ekonomi Hindia Belanda, tapi keberadaan pandemi Flu Spanyol saat itu tak sampai menghasilkan angka pertumbuhan ekonomi negatif. Dari data yang disajikan koran kolonial Bataviaasch Nieuwsblad sampai tahun 1919 Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Hindia Belanda saat pandemi masih dapat tumbuh dalam kisaran angka 5%-6,6%.

Masih relevan dengan data yang disajikan oleh Bataviaasch Nieuwsblad, catatan empiris JS. Furnivall (1939) juga menunjukkan hubungan yang relatif sama dimana ekonomi Hindia Belanda pada tahun 1919 mengalami sedikit peningkatan dari produktivitas pangan yang berjalan dibanyak perdesaan.

Sektor pertanian dan perkebunan pada masa pandemi mengalami pertumbuhan signifikan dan relatif stabil. Berjalannya pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda ditengah pandemi karena dibangun oleh pola dinamis dari fokus kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mampu berpikir secara jernih untuk memisahkan urusan pengendalian virus dan penanganan kesehatan dengan konstelasi ekonomi.

Saat Hindia Belanda diserang oleh wabah pandemi Flu Spanyol yang sangat hebat, pemerintah kolonial tak langsung gagap mematikan semua akses ekonomi yang dijalankan oleh masyarakat kolonial. Ketatnya izin aturan masuk perdagangan dari banyak lintas lokal ke pelabuhan Batavia membuat Hindia Belanda terkonsolidasi untuk membentuk jaringan ketahanan ekonomi baru pada wilayah wilayah yang tak sepenuhnya diserang wabah pandemi.

Di saat kawasan utara menjadi gerbang masuknya komoditas dan transaksi ekonomi di tengah pandemi, beberapa wilayah di sekitar timur dan barat Batavia saat itu menjadi titik konsentrasi baru atas kehidupan yang dinetralkan dari interaksi pembawa wabah.

Dari catatan sejarah Hindia Belanda saat pandemi Flu Spanyol, dapat dilihat bahwa persoalan konstelasi menjadi kunci penting ditengah pembatasan sosial untuk pengendalian kesehatan dan mempertahankan kondusifitas ekonomi ibukota. Dalam tinjauan empiris ini dapat dipahami cara efektif pengendalian virus dan pengendalian pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi, tidak perlu mematikan semua akses dari kehidupan masyarakat.

Pemerintah DKI Jakarta semestinya mempertimbangkan secara matang kebijakannya terkait penanganan pandemi Covid-19 karena pandemi Covid-19 bukan semata mata soal pengendalian virus dan kesehatan tapi juga melahirkan multidimensi efek yang tak hanya berpotensi mematikan secara kesehatan tapi juga mematikan hak dari kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri.

Akhir kata, masyarakat sangat mengharapkan keseriusan pemerintah baik pusat dan daerah untuk berkonsolidasi dengan baik dalam penanganan pandemi Covid-19. Masyarakat berharap situasi kehidupan normal dapat segera kembali terwujud dan masyarakat dapat kembali pada rutinitas kehidupan sehari hari.

Penulis : Haris Zaky Mubarak

Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×